WOMEN ON FIRE

Belum ada komentar 160 Views

Perempuan Warga Kelas Dua

Sepertinya dari dulu perempuan cenderung ditempatkan sebagai warga kelas dua dalam status sosial. Hal ini bahkan banyak ditunjang oleh hukum-hukum agama yang memang bersifat partriarkal. Perempuan diperlakukan berbeda dengan laki-laki, baik dalam hak, kebebasan, maupun kesempatan.

Di banyak tempat, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi hanya merupakan impian bagi kaum perempuan. Sering adatlah yang mengekang dan menekan kebebasan mereka untuk tidak bersekolah tinggi, karena tempat mereka hanyalah di dapur. Itulah yang berlaku dan dijumpai di era Kartini (bahkan hingga saat ini). Film ‘Little House on the Prairi’ pun menggambarkan ayah yang bekerja di luar rumah, dan ibu yang mengurus keluarga, anak, dan rumah tangganya di rumah, di dapur. Itu dua gambaran perlakuan terhadap perempuan dalam dunia secara global, artinya tidak di Indonesia atau dunia timur saja.

Dalam dunia profesional pun terjadi banyak diskriminasi terhadap perempuan. Gaji atau kompensasi, jabatan, posisi, bahkan pekerjaan-pekerjaan tertentu dibedakan antara perempuan dan laki-laki. Demikian juga dalam organisasi sosial, dinas kemiliteran, bahkan rumah ibadah. Laki-laki memegang dominasi di segala aspek kehidupan sehingga seolah-olah dunia hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Ungkapan terkenal bahasa Jawa yang ditujukan bagi perempuan: “suwargo nunut, neroko katut” menunjukkan betapa peran perempuan dianggap tidak penting di bawah dominasi laki-laki. Bahkan kehidupan setelah mati pun tidak mereka tentukan sendiri, melainkan laki-laki/suami mereka. Kalau masuk ke surga, mereka (hanya) menumpang suami mereka, sedangkan bila suami masuk neraka, mereka harus ikut juga. See???

Keterbukaan di Zaman Milenial

Bagaimana dengan kondisi saat ini? Amat berbeda! Kesempatan terbuka seluas-luasnya bagi perempuan. Mau sekolah? Tinggal pilih mau sekolah apa, di mana, bahkan setinggi apa pun. Jabatan di perusahaan? Laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan untuk menempati jabatan-jabatan yang ada, bahkan beberapa perusahaan mempraktikkan equality principle untuk menjamin pelaksanaan konsep kesetaraan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan. Dunia politik pun tidak lagi merupakan eksklusivitas kaum laki-laki. Kesempatan terbuka seluas mungkin. Dan menurut riset, perempuan memiliki daya tahan, kepekaan, dan keluwesan yang lebih tinggi dari kaum laki-laki. Perempuan dianggap lebih menarik, menyenangkan, dan mampu membawa suasana segar. Hal-hal itu menambah terbukanya kesempatan bagi kaum perempuan untuk berkecimpung dan berkembang di segala aspek yang dulunya seolah-olah ‘haram’ bagi kaum Hawa.

Bayangkan, dari satu kondisi ruang gerak yang sangat terbatas dan menekan, tiba-tiba diperhadapkan pada dunia yang tidak terbatas, unlimited dan borderless. Tentunya menyuguhkan godaan yang sangat besar. Kesempatan ini merupakan angin segar bagi kaum perempuan untuk melambungkan eksistensi mereka. Mau apa dan jadi apa saja bisa. Jangankan hanya sekolah atau bekerja, menjadi Presiden pun bisa. Kesempatan yang mendatangkan kemudahan. Ingin belanja tinggal buka HP, gerakkan jari, siiuut….barang datang. Banyak perempuan dimanjakan dengan berbagai kemudahan. Hidup menjadi mudah, bahkan terlalu mudah, tinggal gesek kartu kredit apa pun bisa didapat.

Perempuan Merespons Keterbukaan

Namun ada ekses yang timbul dari kondisi keterbukaan dan kebebasan itu. Di tengah gampangnya mendapat informasi dari segala penjuru, kaum perempuan cenderung mengidentikkan diri dengan apa yang mereka lihat dan temukan. Mereka sering menganggap bahwa apa yang ada di film, iklan, show, atau gemerlapnya kehidupan kaum selebriti adalah kebenaran sehari-hari atau standar kehidupan yang wajar dan kekinian. Mereka sulit membedakan gemerlapnya sebuah pertunjukan dengan kehidupan nyata. Hal ini menimbulkan ilusi dan halusinasi tentang siapa diri mereka yang sebenarnya. Keinginan untuk dipuji, menjadi populer, menjadi favorit, terkenal, dipandang, dsb. diberi tempat utama dan dilambungkan setinggi-tingginya, baik dalam keluarga, pekerjaan, dan bahkan gereja, pokoknya dalam semua komunitas di mana mereka terhisab di dalamnya. Di tengah kondisi global yang mengantar kaum perempuan untuk berpikir, terobsesi, dan mabuk dalam mimpi indah itu, mereka menjadi mudah iri dan cemburu terhadap kelebihan perempuan lain. Budaya yang menarik fokus mereka pada popularitas adalah budaya yang sangat komsumtif, kalkulatif dan kompetitif. Budaya ini kemudian mengajak mereka untuk saling mengalahkan satu sama lain, ingin lebih dari yang lain. Mereka berlomba menghias diri dengan berpakaian menarik, dandanan menawan, aroma wangi, perhiasan yang bergelantungan dan banyak hal lain, supaya dipandang wah, dikenal dan kalau bisa jadi terkenal.

Mereka menghamburkan uang untuk mengikuti berbagai macam program dan memenuhi keinginan untuk menjadi kurus, punya lesung pipit, punya hidung mancung, mata indah, serta bibir seksi. Mau cantik menjadi sangat gampang, tinggal operasi plastik. Ketika semua menjadi sangat gampang, kegilaan untuk memanjakan nafsu memiliki juga makin tak terkendali, meski harus meninggalkan moral etis. Pada akhirnya semua itu menuju pada satu titik obsesi, yakni pujian dan popularitas. Inilah sisi sebaliknya dari keterbukaan dan kesempatan yang bisa menjadi jebakan bagi perempuan.

Women On Fire

Keinginan bisa diibaratkan seperti api. Api memang bermanfaat sepanjang masih berada dalam kontrol. Ia bisa digunakan untuk memasak, menghangatkan tubuh, menerangi sekitar, mengusir binatang buas, membakar sampah, dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi manusia. Namun bila tidak mampu mengendalikannya, ia bisa menimbulkan malapetaka yang mencelakakan. Kebakaran rumah, pasar, hutan, dan gunung adalah malapetaka yang ditimbulkan oleh api yang tak terkendali. Kekuatannya mampu menghanguskan apa saja.

Mengedepankan hawa nafsu dan ambisi yang tidak terkendali sehingga tidak mampu merespons serta mengelola kesempatan yang disodorkan secara bijak, jelas akan dapat mendatangkan malapetaka. Menghanguskan bukan saja diri mereka sendiri tetapi juga orang-orang di sekitar mereka, orang-orang yang mereka sayangi. Seperti api yang melalap apa pun di sekelilingnya, keinginan dan nafsu yang tidak terkendali akan merembet ke seluruh aspek kehidupan dan merusak kesadaran serta akal sehat yang ada. Nafsu yang tak terkendali membuat kaum perempuan hangus dalam keinginan mereka.

Mereka akan mudah menukar prioritas dalam kehidupan mereka dengan uang, jabatan, atau popularitas sesaat. Ketika natur sebagai penolong, pemberi rasa nyaman, penjaga damai, dan pencipta suasana cinta dalam rumah tangga dilupakan, maka predikat sebagai perempuan Allah, perempuan yang takut dan menjadi tanda kehadiran Allah, tidak lagi pantas mereka sandang. Sikap itu mencederai mandat dari Allah dan mengorbankan orang-orang terdekat mereka.

Belajar dari Sifra dan Pua

Sifra dan Pua, yang kita baca bersama dalam kitab Keluaran 1:15-21, adalah dua bidan yang menolong persalinan perempuan Ibrani. Mereka mendapat perintah khusus dari Raja untuk menjalankan misi memperlemah bangsa Israel dengan membunuh setiap bayi laki-laki yang dilahirkan. Sungguh merupakan sebuah keistimewaan untuk dikenal, diberi tugas khusus, dan dilibatkan dalam misi Raja. Ini merupakan kesempatan emas untuk kaya, populer, mendapat jabatan penting, serta penghargaan dari Raja. Nama mereka akan diperhitungkan. Keamanan mereka dijamin. Kepatuhan mereka akan sangat dihargai. Kesejahteraan hidup mereka sudah pasti, karena mereka mematuhi perintah Raja yang tidak sulit dengan risiko yang hampir tidak ada.

Namun ternyata Sifra dan Pua lebih memilih bekerja dengan hati dan tidak membeda-bedakan pelayanan. Mereka tidak saja bekerja dengan tubuh atau fisik, tapi juga secara holistik, melibatkan emosi dan spiritualitas, melewati batas-batas budaya, suku, maupun status sosial orang-orang yang mereka layani. Mereka tidak setuju dengan Raja. Dalam merespons perintah Raja, mereka bersikap menurut keyakinan mereka dengan melindungi semua orang yang terlibat. Mereka menggunakan dalih yang menggambarkan kualitas dan kekuatan perempuan-perempuan Israel sehingga mereka tidak sempat mengeksekusi bayi-bayi yang baru dilahirkan tersebut. Dengan demikian mereka tidak saja menyelamatkan bayi-bayi tersebut, tetapi juga satu bangsa. Mereka menjadi bagian dari perwujudan janji Allah yang diberikan pada Abraham, Ishak, Yakub, bahwa Allah senantiasa hadir di tengah mereka.

Sifra dan Pua tidak mengambil kesempatan ini untuk menjadi kaya, populer, maupun mendapat jabatan penting. Mereka berdua memiliki kualitas diri yang jauh melebihi apa yang tidak dipahami Raja, ‘mereka hidup dalam takut akan Tuhan’ (ayat 17). Ketaatan dan takut mereka akan Tuhan melebihi ketakutan mereka pada Raja yang bisa dengan mudah menghilangkan nyawa mereka. Dua perempuan pemberani ini mempertaruhkan hidup mereka ketika memilih untuk tidak mematuhi Raja, dan mereka sangat memahami konsekuensinya. Mereka berpegang teguh pada kesucian hidup, sikap, dan perbuatan yang harus mereka lakukan di mata Tuhan.

Tantangan bagi Kaum Perempuan

Bagaimana kaum perempuan menyikapi kesempatan yang terbuka lebar di depan mata mereka? Apakah akan meniru Sifra dan Pua untuk mempertimbangkan setiap kesempatan dalam takut akan Allah ataukah justru membakar kehidupan dalam keinginan, hasrat, dan ambisi yang tak terkendali, yang akan menghanguskan mereka? Mungkin ada yang bertanya: bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi pada saya yang baik, beriman, dan rajin ke gereja? Di saat kaum perempuan lupa pada natur mereka sebagai ‘perempuan Allah’, lupa pada peran mereka sebagai istri, ibu, manusia yang memiliki kehormatan dan peran dalam komunitas sebagai anak Tuhan. Ketika kaum perempuan memilih hidup tanpa integritas. Tidak peduli pada kesucian dan kehormatan. Manakala kaum perempuan tidak menyertakan Tuhan dalam keputusan-keputusan mereka. Itulah saat kaum perempuan membakar diri dalam api hasrat tak terkendali yang akan menghanguskan mereka.

Banyak peran lain dalam hidup yang dipercayakan Tuhan kepada kaum perempuan melebihi sekadar menjadi cantik, kaya, popular, dan eksis. Berkarya di ladang Tuhan melalui peran keperempuanan sebagai istri, ibu, pendidik, pemberdaya, saluran berkat dan kasih bagi sesama, sebagai ungkapan syukur atas pemeliharaan serta curahan kesempatan yang sudah diberikan Tuhan, merupakan tugas-tugas mulia bagi kaum perempuan yang tidak akan tergantikan perannya. Belajar dari Sifra dan Pua sebagai perempuan yang taat dan takut akan Tuhan. Perempuan yang mengenal dan mampu menempatkan diri mereka di hadapan Allah. Perempuan yang mampu mengendalikan keinginan mereka serta melihat kesempatan dari sudut pandang Allah. Perempuan yang memiliki integritas tinggi. Perempuan yang mengendalikan api dalam diri mereka dan mengalirkan kehangatan api tersebut untuk memberikan harapan hidup kepada orang lain.

Tugas dan Panggilan Kaum Perempuan

Pada akhirnya tantangan terberat sesungguhnya adalah diri sendiri. “Siapa saya dan apa yang saya kehendaki?” Mampukah kaum perempuan mengenali dan mengendalikan keinginan-keinginan mereka agar tidak sampai berbalik membakar dan menghanguskan mereka? Zaman now memang adalah zaman keemasan bagi kaum perempuan. Tantangan mereka adalah: Apakah dengan merespons dan mengolah kesempatan yang ada tetap mampu menjadi perempuan yang berkenan di hadapan Allah sehingga pada akhirnya dapat mengucapkan pengakuan seperti Maria, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lukas 1:38).

Dengan takut akan Tuhan, Sifra dan Pua dapat mengendalikan ‘api’ dalam diri mereka dan mengubahnya menjadi berkat bagi satu bangsa. Kaum perempuan terpanggil untuk meneladani Sifra dan Pua mengendalikan ‘api’ dalam diri mereka dan mengubahnya menjadi berkat bagi pasangan, anak-anak yang Tuhan titipkan pada mereka, serta orang-orang yang Tuhan bawa kepada mereka, termasuk anak buah dan rekan-rekan kerja mereka, bahkan siapa pun sesama yang mereka temui.

Tuhan memberkati kaum perempuan yang menempatkan diri mereka di bawah otoritas Allah dan memilih untuk tetap setia pada tugas dan panggilan mereka dibandingkan hanya menjadi cantik, popular, dan eksis.

>> Linda Elyisabeth

  • Dituliskan kembali dari materi khotbah dengan judul yang sama pada Ibadah Perempuan Bethel Indonesia, GBI Kebon Jeruk, 16 Januari 2019

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Edukasi
  • THE ART OF LISTENING
    Menjadi pendengar yang baik? Ah, semua juga bisa! Tapi apakah sekadar mendengar bisa disamakan dengan menjadi pendengar yang baik?...
  • To infinity and beyond!
    Saya salah satu penggemar petualangan seru dan epik dari Buzz Lightyear dan Woody, sahabatnya (Film: Toy Story 1995). Buzz...
  • Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Selamat pagi, siang, sore, dan malam. Menjalani setiap hari dengan rutinitas yang sama, sampai tiba saatnya Natal dan Tahun...
  • Doketisme
    Doketisme
    doktrin keilahian yang kebablasan
    Fanatisme Spiritualitas Fanatisme sebuah spiritualitas yang secara berlebihan menekankan hal-hal tertentu dan kurang menganggap penting hal-hal lain, sering kali...
  • Become Our Best Selves
    meraih sukses tidak dengan menakhlukkan orang lain, …tapi menampilkan yang terbaik dari diri sendiri. Become Our Best Selves Tujuan...