meraih sukses tidak dengan menakhlukkan orang lain, …tapi menampilkan yang terbaik dari diri sendiri. Become Our Best Selves
Tujuan dan Target Belajar/Sekolah
Pada umumnya semua siswa tahu bahwa tujuan belajar atau bersekolah adalah untuk memperoleh pengetahuan yang belum dimiliki atau kalau pun sudah dimiliki, belum dipahami struktur dan filosofinya. Semua siswa tahu bahwa belajar atau bersekolah bertujuan untuk menambah bekal pengetahuan bagi diri mereka sendiri, yang berhubungan dan diperlukan dalam berinteraksi dengan orang lain. Belajar atau bersekolah lebih berkaitan dengan kebutuhan sendiri untuk menambah nilai diri.
Di sisi lain, ada yang memahami bahwa belajar atau bersekolah adalah untuk mencapai target menjadi juara, atau setidaknya masuk dalam sekian besar terbaik atau teratas dari sebuah kelompok atau kategori. Menjadi penting baginya untuk mengetahui siapa-siapa yang peringkatnya berada di atasnya, yang lebih baik darinya. Namun terutama untuk meyakinkan diri dan orang lain siapa-siapa yang berada di peringkat di bawahnya. Jadi belajar atau bersekolah sangat erat kaitannya dengan capaian prestasi orang-orang lain di sekelilingnya. Sukses didefinisikan sebagai menaklukkan orang lain. Lebih memprihatinkan lagi apabila pemahaman bahwa belajar atau bersekolah untuk mencapai target tertentu itu ditetapkan oleh orang lain dan dibebankan pada siswa. Inilah yang menjadi sumber demotivasi banyak siswa dalam belajar dan bersekolah, karena ukuran keseriusan, keberhasilan, dan kecemerlangan mereka dalam belajar dibandingkan dengan orang lain. Belajar atau bersekolah jadi dikaitkan dengan hasil atau prestasi orang lain.
Kedua pemahaman yang berbeda ini jadi mengaburkan tujuan belajar atau bersekolah, bahkan membingungkan para siswa dalam mengarungi proses belajar atau bersekolah tersebut. Ada yang sudah berusaha mati-matian menjalankan tugas dan tanggung jawab seoptimal mungkin, tapi pada akhirnya tidak mendapatkan apresiasi sama sekali karena tidak masuk dalam lima besar. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Temannya mungkin lebih cerdas dan punya kesempatan yang lebih baik, atau memiliki orangtua yang lebih mampu secara finansial. Salahkah anak-anak yang sudah berupaya sedemikian rupa tapi kurang berprestasi? Jelas tidak! Semua anak punya kekuatan dan kekurangan masing-masing. Yang salah adalah orangtua yang menetapkan target-target tertentu kepada anaknya tanpa mengetahui kondisi anak-anak lain di sekeliling anak tersebut. Lebih salah lagi kalau hal itu dilakukan sebagai kompensasi atas ketidakmampuannya dulu dalam meraih prestasi, sehingga harapan tersebut kini ditumpukkan di bahu anaknya.
Menjadi Pemenang Sejati
Derek Redmond, pemegang rekor lari 400 meter dari Inggris, adalah juga pemegang medali emas lari 4×400 meter kejuaraan dunia, kejuaraan Eropa dan kejuaraan negara-negara Commonwealth. Pada tahun 1992, ia adalah kandidat juara lari 400 meter di Olympiade Barcelona. Ketika lomba baru berlangsung dan 3 pelari terdepan—termasuk Derek—mencapai jarak 150 meter, tiba-tiba Derek menjerit kesakitan karena otot hamstring-nya cedera/sobek. Ia terkapar di lapangan. Namun ia bertekad untuk menyelesaikan perlombaan itu. Akhirnya ia berdiri dan dengan terpincang-pincang menahan sakit ia melanjutkan larinya menuju finis. Ia berjingkat-jingkat sambil tak kuasa menahan tangisnya dan terus berusaha maju. Tak lama kemudian masuklah seseorang ke dalam lapangan untuk mendampinginya, yang tak lain adalah Jack Redmond, ayah Derek. Jack membujuk anaknya untuk berhenti dan tidak meneruskan larinya, namun Derek menolak. Akhirnya Jack mendukung tekad anaknya. Derek menyelesaikan targetnya dengan baik meskipun tidak menjadi pemenang. Namun ia menjadi pemenang di hati sekitar 65.000 penonton yang memberikan standing applaus bagi perjuangannya.
Belajar dari kasus Derek dan juga pengalaman hidup yang lebih luas lainnya, sebenarnya tugas kita dalam belajar, bersekolah, bekerja, bahkan melakukan tugas kehidupan bukanlah untuk menjadi sukses atau menjadi juara. Jika tujuannya itu, berapa juta atau berapa miliar manusia yang merasa hidup mereka sia-sia dan gagal karena tidak berhasil (menurut terminologi tertentu) mencapai puncak?
Jadi kalau begitu, apa dong tugas kehidupan, karya, sekolah, dan belajar kita? Tugas kita adalah menampilkan yang terbaik dari diri kita. Tugas kita adalah membentuk dan membekali diri sebaik-baiknya dan menampilkannya dalam kehidupan, untuk memberi kontribusi yang baik bagi kehidupan. Jika dengan mampu menampilkan yang terbaik, lalu kita disebut sukses atau juara, maka itu sekadar bonus dari upaya-upaya kita melatih, memenuhi, dan membekali diri dengan bekal yang memadai.
Bukan Fokus Pada Orang Lain Tapi Pada Diri Sendiri
Agnez Monica, salah seorang diva di blantika musik Indonesia, adalah penampil yang jarang ditemukan bandingnya. Namun apabila terpaksa dibandingkan dengan Mariah Carey, Beyonce, Lady Gaga, Raisha, Syahrini, Kris Dayanti, dsb. tentunya akan ada penilaian yang beragam tentang hal itu. Seandainya Agnez Mo dikatakan tidak sesukses Mariah Carey dan ia berusaha mati-matian mengejar ketertinggalannya, maka ia akan sama seperti Mariah Carey saja. Karakter Agnez Mo-nya akan hilang dan dia tidak akan dikenal sebagai diva yang orisinal lagi. Pada kenyataannya, Agnez Mo tidak pernah peduli bahwa Mariah Carey atau siapapun dinilai orang lebih sukses dan lebih terkenal dari dirinya, karena memang bukan hal itu yang dipahaminya sebagai kesuksesan. Ia terus berusaha membekali diri tanpa membandingkannya dengan siapa pun, kecuali sebatas sumber inspirasi untuk bisa menampilkan yang terbaik dari dirinya. Maka itulah Agnez Mo yang kita kenal sebagai diva saat ini. Tidak merasa perlu mengejar atau membandingkan diri dengan siapapun tapi terus berupaya menampilkan yang terbaik dari dirinya … become her best self.
Kahlil Gibran, seorang pujangga dari Libanon, pernah mengatakan: “Nilai lebih seseorang tidak terletak pada apa yang sudah dicapainya, tapi lebih pada apa yang ingin diraihnya.” Maka karsa atau kehendak untuk ‘cukup seadanya’ pastilah tidak termasuk dalam nilai yang dibicarakan Kahlil Gibran. Cukup seadanya, berarti tidak berhasrat, bahkan pesimis untuk mencapai lebih, dan akhirnya apatis menerima keberadaannya—meskipun sebenarnya tidak puas, tapi tidak berupaya mengatasi dan memenuhi ketidakpuasannya—menyerah pada keadaan, terima kalah/nasib. Hal ini kemudian bisa diperparah dengan tidak melakukan apa-apa dan hanya diam. Jika hendak menilai sebuah kesuksesan atau kegagalan, maka itulah kegagalan yang sempurna. Perwujudan dari idiom: “pesimis adalah separuh kegagalan, dan berdiam diri akan menyempurnakannya.”
‘Cukup seadanya’ jelas tidak sama dengan menjadi diri ‘apa adanya’. Menjadi diri apa adanya adalah merasa cukup menampilkan keberadaan diri sendiri tanpa meniru atau menjadi seperti orang lain. Tidak menampilkan diri dalam balutan aksesori yang berlebihan, sehingga aksesori itu yang lebih dikenal daripada diri kita sendiri. Contoh konkret yang dapat kita amati terdapat dalam pribadi Presiden Jokowi. Presiden Jokowi jelas bukan orang yang bermental ‘cukup seadanya’. Jika itu yang terjadi, sudah hampir bisa dipastikan bahwa beliau tidak akan berada di kursi kepresidenan Repubilk Indonesia. Di Solo, beliau adalah pengusaha mebel yang sukses. Tidak ada kesuksesan yang dibangun tanpa sebuah perencanaan untuk lebih maju dan lebih mampu. Beliau terus membekali diri untuk bisa menampilkan yang terbaik dari dirinya sehingga akhirnya memperoleh kesempatan untuk menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan Presiden Republik Indonesia. Keinginan untuk terus menampilkan yang terbaik dari dirinya itulah yang mengantar beliau kepada tugas dan tanggung jawab yang diembannya saat ini. Kendati demikian, Presiden Jokowi—yang menghayati kesederhanaan penampilan tapi disertai kualitas kerja yang baik—tidak berubah setelah memangku jabatan ini. Beliau tetap konsisten tampil sederhana. Dengan menampilkan yang terbaik dari dirinya, ia memberi teladan yang sangat berarti bagi keluarga, lingkungan dan rakyat. Sebaliknya, orang yang bermental cukup seadanya tapi membalut diri dengan aksesori mewah karena merasa mampu membelinya—apalagi jika mendapatkannya dari fasilitas orangtua yang kebetulan kaya—tidak mampu berbuat atau berkontribusi banyak bagi masyarakat.
Be Yourself, but Better Everyday
‘Be Yourself’ adalah pesan yang sangat relevan untuk menjadikan diri apa adanya. Punya prinsip, sikap, pandangan, dan keputusan sendiri. Tidak berusaha menjadi imitasi orang lain. Untuk itu diperlukan bekal yang mumpuni agar menjadi diri sendiri yang berisi, berbobot, berkualitas, dan berintegritas. Oleh karenanya tidak cukup ‘be yourself’ saja, tapi juga ‘better every day’. Inilah yang akan meningkatkan kesadaran kita untuk terus memacu dan membekali diri agar mampu menampilkan yang terbaik dari diri sendiri. Jadi jadilah diri sendiri yang terus menjadi lebih baik.
Bagaimana mencapainya? Belajar! Teruslah belajar, mengisi diri dengan pengetahuan dan pengalaman, dan terus memahami dan mempraktikkan nilai-nilai yang baik dan benar. Meyakini bahwa usaha yang baik akan mendatangkan hasil yang baik. Kita terlahir sebagai pemenang. Dalam proses pembuahan, sel sperma yang berhasil membuahi sel telur harus bersaing dengan 500 juta sel sperma lainnya. Begitu satu sel sperma berhasil masul ke sel telur, maka secara otomatis semua akses tertutup untuk 500 juta sel sperma lainnya yang tertolak, mati, dan terbuang. Butuh perjuangan yang luar biasa untuk bisa menjadi pemenang dalam kompetisi dengan 500 juta kompetitor, dan kitalah hasil kemenangan itu. Jadi proses kelahiran kita adalah hasil perjuangan dari sebuah sel sperma pemenang. Seyogyanya semangat, jiwa, dan mental pemenang itulah yang menempel dan memengaruhi kita serta membangun semangat kita dalam berjuang. Jadi pemenang adalah karakteristik dasar kita.
Unik dan sesuai Passion-nya
Albert Eintein mengatakan bahwa: “Semua orang pada dasarnya jenius, tapi bila kita menilai kehebatan ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka ikan akan merasa bodoh seumur hidupnya.” Itu sebabnya, kita tidak bisa menilai dan menyamaratakan ukuran kemampuan, kehebatan, dan kesuksesan semua orang. Pada saatnya, orang akan memilih untuk menggeluti sebuah profesi atau kompetensi tertentu sebagai upaya menghidupi passion yang dirasakan dan ditemukannya dalam kehidupan ini.
Pesan ini lebih ditujukan kepada para guru dalam mengasah, mengasuh, dan mengasihi para siswa. Setiap siswa memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak bisa disamaratakan dengan yang lain. Jika seorang siswa tidak pandai matematika, bukan berarti dia pasti akan gagal dalam hidupnya. Bagi yang punya passion menari, mungkin matematika tidak akan menjadi fokus dan kompetensi yang diandalkan. Sebaliknya, keterampilan menarinya yang harus difokuskan dan diberi perhatian, melebihi tunttutan bidang pelajaran lainnya. Intinya, semua pilihan profesi bisa mengantar anak pada kesuksesan masing-masing, dan semuanya baik bagi yang menekuninya.
Kepada para siswa yang saat ini harus menerima sedemikian banyak jenis mata pelajaran di luar bidang minat mereka, tetaplah berusaha memahami dan menguasai ilmu sambil menguatkan bidang minat yang menjadi passion masing-masing, karena sistem pendidikan yang dianut dan disepakati Pemerintah Indonesia masihlah model yang demikian. Semua pendidikan tinggi di mana para siswa akan melanjutkan jenjang pendidikan mereka nanti juga masih menuntut penguasaan pengetahuan dasar menengah ini. Jadi para siswa tetap harus menuntaskan kewajiban dan target dengan belajar giat secara cerdas.
>> sujarwo
Dituliskan kembali dari materi workshop berjudul: ‘Become Our Best Selves’ yang disampaikan pada Character Day SMAK Tirta Marta – BPK Penabur, Pondok Indah, 11 Januari 2018
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.