Kehidupan ini bisa terasa begitu melelahkan, sehingga seseorang berkata, “tired, then buried”, alias lelah dan kemudian dikuburkan. Salomo berkata, “Mata tidak kenyang melihat” (Pkh. 1:8). Dengan menganut nilai INGIN LEBIH, kita menginginkan lebih banyak makanan lezat, lebih banyak kafein, lebih banyak aplikasi, lebih banyak apa saja… Jean Baudrillard berkata, “Materialism has become the new, dominant system of meaning” (materialisme telah menjadi sistem makna yang dominan).
Yesus menjelaskan bahwa KELETIHAN dan KEHAUSAN kita tidak akan terpuaskan jika kita tidak MENGENAL TUHAN. Undangan Kristus yang berbunyi, “Barang siapa HAUS, baiklah ia datang kepada-Ku dan MINUM!” (Yoh. 7:37), disampaikan dalam keadaan para pemimpin agama berusaha membunuh-Nya (Yoh. 7:1), “adik adik-Nya tidak percaya kepada-Nya” (Yoh. 7:5), ada yang berkata, “Ia orang baik” dan yang lain berkata, “Tidak, Ia menyesatkan rakyat” (7:12). Begitu juga dengan undangan-Nya yang berbunyi, “Marilah kepada-Ku, semua yang LETIH LESU dan berbeban berat” (Mat. 11:28) disampaikan atas dasar “Tidak seorang pun MENGENAL Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun MENGENAL Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya” (Mat. 11:27). Tidak mengenal Tuhan merupakan penyebab “LAPAR, HAUS dan LETIH” dalam diri manusia. Seperti yang kita ketahui, MENGENAL TUHAN dalam Alkitab mengandung arti berhubungan dekat dengan-Nya.
Bahasa iklan berseru: “You will definitely need this. Buy this. Do this. Eat this. Drink this. Have this. Watch this. Keep this. And you will be Happy, Great, Wonderful and Successful.” Kita ketahui bahwa iklan bukan sekadar menjual produk, melainkan juga menjual KEINGINAN untuk menjadi LEBIH BAIK, PENTING, BERNILAI, BERHASIL… Jika kamu berpenampilan seperti ini… Jika kamu dapat jalan jalan ke tempat ini… Jika kamu mempunyai tas ini… Jika kamu mempunyai sepatu ini… Karena kita percaya bahwa siapa kita ditentukan oleh apa yang ada pada kita, kita menganut konsep, “I am what I wear, I am what I carry, I am what I drive.” Iblis juga menggunakan formula yang sama, bukan? Iblis berkata kepada Yesus, “Jika Engkau Anak Allah…” (Mat. 4:3).
Mengenal Tuhan merupakan fondasi untuk memahami adanya ketegangan dalam diri kita. Diri manusia merupakan kombinasi kekekalan dan keterbatasan, yakni gambar Allah (Kej. 1:27) dan debu tanah (Kej. 3:19); kekekalan (Pkh. 3:11) dan kefanaan (Roma 6:23) berpadu di dalam diri kita.
Besarnya keinginan di dalam diri kita juga mendorong kita untuk membandingkan apa yang dimiliki orang lain dengan apa yang tidak kita miliki. Sering kali kita tidak bahagia karena membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Kita meyakinkan diri kita sendiri bahwa apabila kita mempunyai LEBIH, maka kita lebih berhasil daripada orang lain. Sebenarnya, lebih baik mencintai apa yang ada pada kita daripada apa yang kita inginkan. Instead of loving what you want, love what you have!
Ketika kita membaca bahwa TUHAN BERHENTI (Sabat), kita mungkin bertanya-tanya, mengapa Dia perlu berhenti? Mengapa Tuhan perlu beristirahat? Apakah Dia lelah? Mengapa Dia perlu cuti, libur alias off day? Seriously? Yang cukup menarik, dalam 10 Hukum, Sabat termasuk hukum yang paling panjang, yakni dipaparkan dalam 4 ayat disertai dengan kata “INGATLAH!”! (Kel. 20:8). Pernahkah Anda begitu sibuknya hingga lupa makan dan lupa minum? Tampaknya, MENGINGAT di sini mempunyai peran yang sungguh amat penting. We must REMEMBER when to stop! We need to REMEMBER when to stop caffein, when to stop shopping, when to stop checking our mobile phones. Just watch the rain. Look at the clouds. Look at the trees, the leaves.
Apa jawaban yang Anda terima ketika bertanya “Apa kabar?” Umumnya, kita menerima jawaban, “Baik, hanya agak sibuk.” Kesibukan telah menjadi sebuah nilai yang disanjung, bahkan dianggap sebagai sebuah standar untuk mengukur kesuksesan. Dan yang menarik buat saya adalah kata “KUDUSKANLAH!” Dengan kata lain, “Istirahat” itu bersifat KUDUS. Menarik, bukan?
Ada yang berkata, “The Devil never takes a day off, so don’t we!” (Iblis tidak pernah beristirahat, oleh sebab itu kita jangan beristirahat). Memang Alkitab menggambarkan Iblis yang tidak beristirahat. Dia SIBUK MENJELAJAHI bumi (Ayub 1:7), selalu MENYERANG sehingga kita harus selalu mengenakan perlengkapan perang (Efesus 6:10-11), SIBUK mencari kesempatan untuk menerkam (1 Pet. 5:8). Jangan-jangan ia cemburu kepada manusia, sebab manusia dikarunia istirahat di dalam Tuhan, sedangkan ia tidak. Corrie ten Boom berkata, “If the devil can’t make you sin, he’ll make you busy.” Ingatlah bahwa istirahat tanpa bekerja adalah kemalasan, bekerja tanpa istirahat adalah perbudakan.
Saya membayangkan diri saya sebagai Adam dan Hawa. Setelah diciptakan, saya mungkin akan menjumpai Tuhan sambil berkata, “Tuhan, kapan saya bisa memulai mengerjakan tugas saya?” Berhubung Tuhan menciptakan manusia pada hari ke-6 dan berhenti pada hari ke-7, hal ini berarti bahwa sehari setelah saya diciptakan, saya memasuki hari istirahat. Menarik, bukan? Alkitab tidak mengatakan, “Jadilah pagi, dan jadilah petang”, tetapi malah, “Jadilah petang, dan jadilah pagi.” Dengan kata lain, Hari yang baru tidak dimulai pada waktu pagi, tetapi justru pada waktu petang, pada saat matahari terbenam. Menakjubkan, bukan? Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa Life begins with Rest.
Saya cukup kaget ketika membaca, ternyata sebelum penemuan bola lampu oleh Thomas Edison pada tahun 1879, orang-orang tidur selama 10 jam per malam (New York Times). Ada banyak hal yang berpotensi mengalihkan perhatian kita sehingga kita salah fokus. Hal ini bagaikan bangsa Israel yang merayakan Hari Raya Pondok Daun (Ul. 16:16) dengan bereuforia, tetapi tidak mengenal Sang Sumber Kepuasan.
Pada puncak perayaan Pondok Daun (Yoh. 7:37), Yesus melakukan sesuatu yang mungkin dianggap gila oleh banyak orang, yakni Dia berdiri dan berseru (dengan suara yang sangat nyaring), “BARANG SIAPA HAUS, baiklah ia DATANG kepada-Ku dan MINUM! Barang siapa PERCAYA kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup” (Yoh. 7:38). Yesus tidak berkata bahwa hati kita “menampung” air hidup—yang lebih sesuai dengan budaya konsumerisme—tetapi justru “mengalirkan” air hidup.
Dalam film Percy Jackson and the The Olympians: The Lightning Thief, terdapat sebuah tempat di mana setiap orang yang datang ditawari bunga lotus. Orang yang memakannya akan kehilangan fokus sehingga tetap berada di sana, bahkan hingga bertahun tahun. Dalam bahasa Mandarin, kata “sibuk” (忙) mengandung makna hati yang hilang, hati yang melarikan diri, atau hati yang mati. Terhadap Marta yang kehilangan fokus, Yesus berkata, “Marta, Marta, engkau khawatir (merimnao) dan menyusahkan diri (turbazo) dengan banyak perkara” (Luk. 10:41). Kehilangan fokus dan turbulensi batin menjadi gejala jiwa yang sibuk.
Ketika menonton Wonder Woman, saya tertarik dengan dialog berikut ini:
Steve Trevor : [holding his watch] It’s still tickin’. (Masih berdetak, sambil memegang jam tangan)
Diana Prince : What for? (Apa fungsi benda ini?)
Steve Trevor : Because it tells the time. When to eat, sleep, wake up, work. (Karena memberitahu tentang waktu. Kapan makan, tidur, bangun dan bekerja)
Diana Prince : You let this little thing tell you what to do? (Kalian membiarkan benda kecil ini menentukan apa yang harus kalian lakukan?)
Steve Trevor : Yeah.
Pertanyaan Diana semestinya membuat kita berefleksi, “You let this little thing tell you what to do?” Kita mengetahui bahwa jam sungguh menolong kita dalam mengatur penggunaan waktu kita. Namun, jam juga menyebabkan kita hidup bagaikan mesin dan bahkan juga memperbudak kita.
Ada waktunya kita perlu memper lambat kecepatan kita. There is time to slow down. Walter Adam (mentor C. S. Lewis) berkata, “To walk with Jesus is to walk with a slow, unhurried pace. Hurry is the death of prayer and only impedes and spoils our work. It never advances it.” Kosuke Koyama berkata, “God walks slowly because He is love.” Kita mesti memperlambat langkah kita karena cinta.•
| Pdt. Lan Yong Xing
______________________
Referensi: Comer, John Mark. The Ruthless Elimination of Hurry: How to stay emotionally healthy and spiritually alive in the chaos of the modern world. Houder & Stoughton. 2019
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.