Percaya Saja Banyak orang Kristen yang hanya berhenti pada percaya bahwa Yesus adalah Juru Selamat mereka lalu menganggap tugas mereka dalam kehidupan selanjutnya telah selesai. Dengan mengakuinya, mereka telah beroleh keselamatan dan hidup abadi bersama Allah. Salahkah pola pemikiran itu? Bukankah terkesan amat meremehkan arti keselamatan itu sendiri? Jika demikian, enak sekali menjadi orang Kristen. Tidak perlu melakukan upaya apa-apa dalam hidup, bahkan sepertinya bisa bebas berperilaku semaunya. Sepanjang sudah mengaku percaya bahwa Yesus adalah Juru Selamat, maka kehidupan selanjutnya—bahkan sesudah mati— akan terjamin. Memang enak benar kalau hanya begitu.
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Ayat ini menjadi dasar banyak orang Kristen berpikir seperti di atas. Lihatlah, betapa dengan percaya saja (seolah-olah) orang beroleh selamat dan hidup abadi.
Petunjuk Lain
Jarang orang yang melanjutkannya dengan membaca banyak petunjuk pelengkap lainnya, seperti misalnya Matius 5:20 ini: Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Ada keharusan untuk menjalani kehidupan percaya dengan perilaku, pemahaman, respons, dan praktik yang benar. Bahkan harus lebih benar dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang adalah para penghafal kitab dan guru-guru agama. Menyamai mereka saja sukar, apalagi hidup lebih benar. Betapa lebih sukar lagi. Ternyata menjalani hidup sebagai orang Kristen dalam memperoleh keselamatan dan hidup abadi itu tidak semudah dan sesederhana yang dibayangkan, bukan?
Perhatikan kembali kedua ayat berikut yang saling menjelaskan: yang pertama tentang keheranan Yesus pada orang-orang yang merasa cukup sekadar percaya: “Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?” (Lukas 6:46). Ternyata bagi Yesus, bukan mereka yang sekadar mengaku percaya yang akan masuk Kerajaan Surga: Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di Surga.” (Matius 7:21)
Anugerah dan Kesempatan
Lho jadi apa artinya janji Tuhan pada Yohanes 3:16 tadi? Orang percaya beroleh anugerah untuk mengetahui, mengenal, memahami dan menaati tuntunan hidup yang seturut dengan kehendak Allah. Bukan sembarang anugerah, melainkan anugerah yang agung. Meskipun disediakan bagi setiap orang—tidak semua orang menerimanya, bahkan banyak yang menolaknya. Kenapa orang percaya mendapat anugerah? Sebab bukan karena kehendak sendiri ia percaya dan memilih jalan selamat, melainkan karena Tuhan memperkenankannya, seperti yang dikatakan Tuhan: Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. (Yohanes 15:16a). Jika demikian, bagaimana hal itu tidak dikatakan sebagai sebuah anugerah agung?
simul iustus et peccator
Martin Luther mengatakan: ‘simul iustus et peccator’ – sudah dibenarkan tetapi sekaligus tetap berdosa. “Iman kita kepada Kristus tidak membebaskan kita dari perbuatan, yaitu praanggapan yang sembrono bahwa pembenaran diperoleh melalui perbuatan.” Ia menegaskan kebenaran yang disampaikan dalam Efesus 2:8: Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah.
Jadi jangan ada yang memegahkan diri dengan mengatakan: “Semuanya telah tuntas dan aku telah bebas. Bebas melakukan apa pun dalam hidupku tanpa konsekuensi yang membatalkan keselamatanku.”
Meskipun kita telah mendapat pengampunan dari Allah, keadaan kita masih tetap belum murni, alias masih tetap berdosa. Status dibenarkan oleh Kristus tidak meniadakan realitas dosa yang terus menghampiri kehidupan manusia. Dibenarkan tidak menghilangkan konsekuensi konsekuensi dosa. Realitas dosa itu bermuara dari perbuatan dan kebebasan hidup dalam iman. Karenanya, kita tetap perlu menata hidup ini sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah. Kita perlu taat dan tunduk pada tuntunan-Nya untuk lebih memurnikan perilaku kita yang telah tertebus itu. Kita perlu mengejawantahkan keselamatan, agar kita makin layak dan berkenan di hadapan Tuhan. Proses pemberian pengampunan itu sendiri jelas menunjukkan suatu anugerah yang sebenarnya unfair (bagi Tuhan). Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa (Roma 5:8). Bila keadaan suci dan tidak berdosa adalah syarat Allah untuk mengasihi dan menyelamatkan manusia, maka hampir dipastikan bahwa Dia tidak akan menemukan siapa-siapa di antara manusia yang naturnya adalah berdosa ini.
Kemurahan Allah
Secara kualitatif, Luther melihat bahwa orang Kristen dibenarkan, sekaligus berdosa, dalam pengertian bahwa kualitas pembenaran menghasilkan suatu kebebasan dalam iman. Ia juga secara tegas menyatakan bahwa orang Kristen tetaplah orang berdosa dan membutuhkan kemurahan pembenaran Allah setiap waktu. Dan kemurahan Allah itulah yang akan tetap menjadi daya hidupnya. Orang benar hidup dalam dua realisme sekaligus, yaitu realisme dibenarkan dan berdosa. Dalam segala tindakan moral terbaiknya, manusia tetap dalam realisme berdosa. Dalam segala tindakan yang dianggapnya baik, sesungguhnya secara definitif selalu terdapat kemungkinan terjatuh dalam dosa. Secara implisit disampaikan bahwa pengampunan termasuk dalam realitas. Karena iman dalam pembenaran itulah manusia dapat berbuat dengan bebas dan berani, meskipun dalam perbuatan apa pun ia tidak pernah luput dari kegelisahan bahwa selalu mungkin terjadi dosa dalam tindakan itu, karenanya diperlukan kemurahan dan pengampunan Allah yang terus berlangsung tanpa henti. Inilah yang menunjukkan kualitas manusia di hadapan tuntutan Allah. Quality gap antara perbuatan Allah dan perbuatan iman sangat jauh berbeda. Karena itu, Calvin—yang memperteguh pandangan ini—menekankan perlunya penundukan diri secara total di hadapan Allah.
Lebih Berani Percaya
Ketika Luther dengan lantang mengatakan: “Beranilah berdosa, tetapi lebih beranilah percaya,” hal ini bukanlah sebuah anjuran romantis terhadap dosa—yaitu bebas meneruskan perbuatan dosa yang menjadi kesukaan manusia— melainkan justru merupakan teguran terhadap kesadaran Kristen untuk tetap berjuang bahwa hidup pun melibatkan dosa. Dan bahwa manusia sungguh-sungguh sadar akan dirinya yang tidak bisa lari dari dosa. Paulus sendiri mengakui dengan jujur bahwa dirinya pun belum mencapai ‘kemurnian’ yang sempurna, dan mungkin juga tidak akan pernah demikian. Ia bersaksi bahwa dalam dirinya ada dua tarikan yang saling berkutat berusaha menariknya. Yang satu adalah tarikan kuasa Roh Kudus, sedangkan yang lain adalah kuasa kedagingannya. Lalu apa yang terjadi? Kuasa Roh Kudus dari hidupnya yang baru, membuat Paulus tahu, ingin, dan berusaha melakukan yang baik. Tragisnya, di luar daya kontrolnya, nafsu kedagingan dari hidupnya yang lama juga menariknya, sehingga ia justru melakukan yang jahat, yang tidak diinginkannya. Karenanya, setiap orang Kristen harus memahami dan berupaya mencapai standar Allah, yang mungkin tidak akan pernah tercapai hingga akhir hayatnya. Namun setidaknya, makin mendekat kesempurnaan itu. Ajakan untuk terus berjuang disuratkan dalam Ibrani 12: 1: …. marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.
Tindakan Iman yang Terbebaskan
‘simul iustus et peccator’ sesungguhnya adalah sebuah pencerahan tentang suatu tindakan iman yang bebas, maksudnya aplikasi iman atau perannya dalam kehidupan ini sungguh-sungguh berlangsung bebas. Hal ini merupakan sebuah nasihat berharga bagi orang Kristen yang begitu takut terhadap dosa sehingga menolak untuk bertindak atau berperan secara aktif. Atau yang lebih mengenaskan lagi, menjadi takut menyembah Allah karena keterikatannya pada ritual, sarana sarana, serta syarat-syarat tertentu dalam setiap peristiwa kehidupan. ‘simul iustus et peccator’ menjadikan orang benar-benar berani bertindak, karena sumber dayanya bukanlah suatu keadaan tanpa dosa (oleh pembenaran), melainkan kemurahan Allah (hal ini turut membenarkan dan menopang pandangan eskatologis pula, yaitu dalam kekurangan kekurangan hidup, Kristus menjadi titik tolak penggenapan dan penyempurnaan kehidupan nanti).
Berjuang Menuju Kemurnian
Akhirnya, seperti pernyataan J. Dillenberger dan C. Welch, “keyakinan dan kekuatan inilah yang membebaskan. Melalui penerimaan Allah yang tanpa syarat terhadap manusia, manusia dibebaskan dari perhitungan dan ketakutan agar bekerja dengan penuh tanggung jawab di dalam dunia.” Ia senantiasa diampuni dan tidak mengandalkan apa pun lainnya, dengan kehidupan duniawi sebagai orang kudus dan orang berdosa. Inilah hakikat natural orang Kristen. Ia berjuang tanpa ketakutan dan berusaha menampilkan yang terbaik dari dirinya berdasarkan karunia yang diberikan oleh Allah. Tuntunan telah diberikan. Dasar dan landasan telah disiapkan. Masing-masing orang terpanggil untuk membangun di atas dasar itu. Baik untuk diingat apa yang tertulis dalam 1Korintus:12-15 – Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan tampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan tampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.•
| SUJARWO
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.