Ada 4 jenis masker yang dikenal publik. Masker N95, masker P95, masker bedah (surgical facemask), dan masker kain. Kecuali masker kain, yang tiga memenuhi standard medis, tapi acap tidak tepat indikasi pemakaiannya. Sedangkan masker kain tidak direkomendasikan medis (FDA), dan sejatinya tidak laik untuk dipakai kalau tujuannya melindungi pemakainya terhadap ancaman Covid-19.
Masker N95 yang paling mampu menyaring virus, baik yang keluar dari hidung-mulut pemakainya maupun yang berasal dari luar pemakai. Terlebih masker P95, selain bisa dipakai untuk durasi lebih lama dibandingkan masker N95, juga mampu menyaring polusi gas. Masker bedah (warna hijau muda/biru muda) sebetulnya hanya mampu menyaring droplet sampai microdroplet dari pemakainya terhadap orang lain, bukan melindungi dari luar diri pemakainya.
Tidak sembarang dalam membuat masker medis. Sekurangnya ada empat persyaratan. Perlu menempuh proses penilaian efisiensi kemampuan menyaring bibit penyakit, termasuk yang berukuran submicron, ketahanan terhadap tembusan sel darah, serta tingkat keterbakarannya. Ukuran kuman sendiri berkisar 0,6-0,8 micron. Ukuran virus jauh lebih renik. Untuk masker medis tenaga kesehatan, FDA mensyaratkan kemampuan masker menyaring sampai 0,1 micron.
Masker bedah dan masker kain yang sekarang banyak dipakai masyarakat, khususnya di Asia, sudah tepatkah di mata medis? Belum. Mengapa? Masker bedah berwana hijau atau biru yang lazim dipakai masyarakat luas, sebetulnya khusus dipakai tenaga medis selama melakukan kegiatan bedah. Tujuannya agar pasien bedah tidak tertular bibit penyakit dari operator bedahnya. Dan memang masker dirancang mampu menyaring droplet ukuran besar yang keluar dari pemakainya. Namun masker bedah tidak dirancang mampu menyaring partikel sangat halus yang keluar dari pembawa COVID-19 saat berbicara, batuk, bersin dan beredar di udara luar. Terlebih kita tahu, sebaran COVID-19 bukan hanya droplet yang menyembur 2 meter dari pembawa COVID-19 bila bicara, batuk, atau bersin, melainkan juga kedapatan bisa berupa microdroplet yang terbang lebih jauh dari 6 meteran. Jadi, selain droplet penularan COVID-19, juga menyerupai sebaran airborne. Ada aerosols, ada fine mist, yang bisa beterbangan mengangkut COVID-19 ke udara sekitar pembawanya.
Secara teoritis, masker bedah tidak mampu menyaring semburan microdroplet bila di sekitar ada pembawa COVID-19. Hanya masker N95 yang dipakai tenaga medis dalam praktik— selain masker P95— yang mampu. Bagaimana dengan masker kain? Terlebih lagi, karena masker kain dirancang sangat tidak ilmiah, tidak memenuhi standard bila tujuannya hendak menyaring COVID-19.
Masker bedah sendiri ada beberapa tipe, yakni untuk operator bedah, untuk mereka yang isolasi, dokter gigi, dan praktik prosedur medis. Tiongkok mengenal masker bedah untuk operator bedah dan masker bedah bukan untuk operator bedah. Masker non-surgical ini yang mungkin dimaksudkan untuk digunakan publik. Hanya tidak jelas apakah masker bukan bedah (non-surgical) buat masyarakat ini dirancang untuk memberikan proteksi bagi pemakainya terhadap COVID-19.
Masker bedah yang masyarakat Asia pakai—termasuk di Indonesia—sekali lagi, memberikan perlindungan bagi pasien, bagi orang di luar pemakainya, agar tidak tertular atau tercemar sekiranya operator yang memakainya sedang mengidap suatu bibit penyakit. Namun masker bedah tidak melindungi pemakainya dari penularan yang berasal dari luar diri pemakainya. Dan itu yang terjadi pada pemakai masker bedah kita selama ini. Sesungguhnya, pada awalnya masker hanya diindikasikan untuk dipakai oleh orang yang sudah sakit COVID-19, dan tidak untuk orang sehat. Namun entah mengapa muncul kebijakan semua masyarakat wajib memakainya, bagian dari protokol medis, tapi maskernya bukan masker yang memberikan perlindungan penuh terhadap COVID-19.
Namun, apakah dengan demikian masyarakat percuma memakai masker bedah sebagaimana digunakan sekarang ini? Tentu masih ada gunanya. Pertama, apabila masih tetap mempertahankan jaga jarak sosial dan jaga jarak fisik, kelemahan masker dalam melindungi, masih agak terbantu. Dengan masih bermasker, derajat penularan akan lebih kecil dibandingkan bila tanpa menjaga jarak sama sekali.
Kalau derajat penularannya kecil, pajanan droplet dan microdroplet terhadap pemakai masker juga lebih minimal. Kalau pajanan lebih minimal, jumlah virus yang mungkin menembus masuk masker, juga akan lebih sedikit. Kalau jumlah COVID-19 yang masuk lebih sedikit, lebih kecil kemungkinan orang yang terpajan akan jatuh sakit. Atau kalau sampai jatuh sakit pun, sakitnya kemungkinan akan menyembuh sendiri, atau mungkin penyakitnya batal muncul kalau ketahanan tubuhnya tangguh.
Ingat apa yang pernah saya ungkapkan bahwa orang yang dimasuki COVID-19 bisa sakit ringan, sakit sedang, sakit berat sampai kritis, atau tidak jadi sakit. Hal itu ditentukan oleh seberapa banyak COVID-19 yang masuk tubuh, seberapa ganas (virulensi)-nya, dan seberapa tinggi tingkat kekebalan tubuh orang. Makin banyak dan makin ganas COVID-19 yang masuk—padahal tingkat kekebalan tubuhnya lemah— maka orang akan jatuh sakit. Orang batal sakit apabila tingkat kekebalan tubuhnya tangguh. Atau tingkat kekebalannya biasa-biasa saja, tapi selama jumlah COVID-19 yang masuk sedikit dan tidak ganas, mungkin tidak jadi sakit, atau sakitnya hanya ringan. Hal ini yang akan terjadi apabila masih bermasker bedah dan tetap mempertahankan jaga jarak.
Demikianlah halnya nasib mereka yang masih memakai masker bedah. Kendati efisiensi kemampuan menyaringnya kecil saja terhadap pemakainya, tapi mungkin jumlah atau dosis COVID-19 yang masuk tubuh jadi lebih minimal, apalagi dengan tetap mempertahankan jaga jarak. Memakai masker dan jaga jarak bisa meminimalkan asupan COVID-19 ke dalam tubuh.
Bagaimana dengan masker kain? Masker kain awalnya hanya digunakan oleh masyarakat Asia. Kendati sejarahnya dari Eropa, tapi pemakaian masker kain menjadi lumrah di masyarakat Asia. Apa yang salah dengan masker kain? Yang pasti masker kain bukan perangkat pelindung COVID-19 yang ampuh (personal protective equipment) dan termasuk yang direkomendasikan, bahkan cenderung beorientasi fashion. Mengapa? Oleh karena masker kain tidak dibuat mengikuti standard pembuatan masker medis (nonwoven fabrics dan melt blowing process), maka efisiensi kemampuan menyaring COVID-19-nya sangat rendah. Beberapa uji coba klinik yang pernah dilakukan untuk masker kain hanya mampu menyaring partikel yang lebih besar dari COVID-19, bukan microdroplet yang lebih halus.
Itu sebab sebetulnya tidak ada satu jenis masker kain yang bisa diterima oleh FDA (Badan pengawasan obat dan makanan Amerika Serikat yang menjadi sumber acuan dunia). Di Inggris ada uji coba masker kain, tergantung jenis kainnya, yang berarti kekerapan anyaman tenunannya. Makin kerap tenunannya, makin besar kemampuan menyaringnya, tapi makin berat udara napas menembusnya. Makin jarang tenunannya, makin longgar kemampuan menyaringnya. Masker kain juga menyimpan bahaya bagi kesehatan lantaran kandungan bahan kimia dalam pembuatan kain, khususnya formaldehyde, yang bila dihirup untuk waktu lama tidak menyehatkan. Demikian pula kandungan kimiawi pewarna tekstilnya.
Disimpulkan, apabila pemakaian masker untuk kepentingan melindungi diri dari pajanan dunia luar atau penularan dari orang serumah yang sudah terkonfirmasi positif COVID-19, masker bedah dan masker kain tidak memberikan perlindungan. Namun untuk pemakaian masyarakat luas selama berada di tempat publik, masih lebih baik daripada tidak memakainya sama sekali.
Jadi letak salah kaprahnya memakai masker ialah, mengandalkan masker yang kita pakai dengan mengharapkan seratus persen diri terlindung dari risiko tertular itu. Padahal, masker bedah—apalagi masker kain—tidak memberikan perlindungan penuh menyaring COVID-19. Namun apabila pemakaian masker ini dibantu dengan mempertahankan jaga jarak dan cara perlindungan diri lainnya—termasuk mencuci tangan, membersihkan pakaian, kulit, rambut, alas kaki setiap pulang dari luar rumah—kita berharap bisa meminimalkan semua risiko dan probabilitas tertular COVID-19 dari luar rumah. Termasuk juga kegiatan melakukan disinfektan terhadap semua permukaan di tempat kita beraktivitas sehari-hari, dan belajar beradaptasi bila nanti kita memasuki kondisi normal baru.•
| DR HANDRAWAN NADESUL
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.