Nasib Kita Di Hadapan COVID

Belum ada komentar 5 Views

Sekarang ini makin banyak orang gelisah, galau, khawatir, takut, dan fobia di tengah ingar bingar informasi yang “mis” maupun yang “dis” ihwal COVID-19. Kita terus-menerus dibanjiri oleh misinfodemic. Informasi COVID yang menyesatkan.

Informasi COVID-19 belum seluruhnya jelas, belum tentu sepenuhnya sahih, karena COVID-19 masih sangat baru. Informasi yang direcoki oleh kebohongan pihak yang berniat buruk telah menambah kepanikan masyarakat. Apalagi disebarkan oleh pihak yang bukan berkompetensi bicara secara medis.

Ribuan riset dan studi di dunia, dengan kerja keras ratusan saintis dunia, nyatanya belum seluruhnya bisa selesai mengatasi pandemi COVID-19. Semua studi dan riset masih serba baru. Juga soal obat dan vaksin. Persoalan lain yang menambah orang jadi risau adalah, mungkinkah COVID berakhir?

Ketakutan dan emosi negatif, di mata medis, dipercaya menurunkan kekebalan tubuh, sistem imun kita, walaupun kita sadar bahwa memendam rasa sejenis itu tidak menyehatkan. Rasa takut terkena dan rasa takut mati itu tetap saja belum bisa ditanggalkan dari hidup keseharian kita. Belum sepenuhnya bisa ditekan, dan masih saja menghantui, sehingga membuat hidup tidak lagi nyaman.

Jangankan orang awam, pihak medis pun berkutat di tengah emosi kengerian itu. Kita sedang menghadapi musuh yang tidak kelihatan. Sifat-tabiat virus yang sering tidak terduga itu belum sepenuhnya diketahui, Ketika sudah muncul adik kandung virus mutan, varian baru. Fakta di depan mata menunjukkan makin banyaknya korban yang bergelimpangan, tewas terlantar, dan luput tertolong. Ini fakta miris lain di lapangan yang bikin siapa pun menjadi gamang. Juga kalangan medis sendiri.

Hanya satu yang masih mungkin bikin kita tegar. Bahwa sebagian besar kasus COVID-19, sesungguhnya masih bisa sembuh sendiri. Hanya sebagian kecil kasus—katakanlah sekitar sepersepuluhnya—bermasalah, berat, atau kritis. Itu lantaran sejatinya bukan benar-benar virusnya yang bikin susah, melainkan akibat yang ditimbulkan oleh kehadiran virus tersebut di dalam tubuh. Terlebih kasus komorbid, di mana tubuh penderita sudah mengidap penyakit lama.

Agar kita termasuk golongan yang sebagian besar sembuh sendiri, kita perlu berusaha memperkuat badan. Kekebalan harus tangguh. Untuk itu kita perlu melakoni gaya hidup sehat, menu harian bernutrisi, bergerak badan memadai, cukup jeda dan waktu tidur, dan patuh pada prokes.

Setelah memasuki tubuh, virus COVID-19 memicu darah kita menjadi kacau. Virus ini memunculkan reaksi peradangan di dalam tubuh, sehingga mengacaukan kerja organ paru-paru, jantung, otak, atau usus. Virus ini juga memungkinkan darah menggumpal dan menyumbat pembuluh darah, sehingga berakibat serangan jantung, stroke, gagal ginjal, atau penyebab fatal lainnya yang mematikan, bahkan setelah penyakitnya reda dan sembuh. Gumpalan bekuan darah bisa menyumbat pembuluh darah di bagian tubuh mana saja.

Virus COVID-19 juga lebih mengacaukan lagi bila tubuh komorbid. Orang-orang dengan kanker limfe, berbadan gemuk, penderita diabetes atau penyakit jantung, bernasib lebih buruk dibandingkan mereka yang tidak memiliki penyakit ikutan itu apabila dirundung COVID.

Nasib kita di hadapan COVID-19 pun belum tentu sama. Nasib itu sebetulnya ada di tangan kita sendiri. Setelah COVID memasuki tubuh kita, tidak ada yang bisa menolong. Terkena COVID sangat bisa jadi karena sebelumnya kita cuek, lalai, lengah, atau sengaja menantang kebenaran ihwal COVID-19. Atau kita kurang tahu sepenuhnya hal-ihwal COVID. Misalnya, jika sejenak saja kita melepaskan masker ketika di ruang publik, ada peluang virus memasuki hidung kita. Atau hanya sebab pilihan masker kita di bawah standar, atau cara kita memakai dan melepas masker yang tidak tepat di mata medis.

Di hadapan COVID-19, kita bukan lagi siapa-siapa. Juga kalau kita tidak mau mendengar apa yang secara sains terbukti benar tentang cara virus memasuki tubuh. Virus COVID-19 varian baru jauh lebih gesit. Tanpa mengindahkan semua ihwal COVID-19, nasib hidup kita tergantung pada sikap kita, keputusan kita, dan saya pikir, juga akal sehat kita, bukan karena sudah suratan tangan kita.

Kalau kita menolak divaksin, menolak berobat, menolak pakai masker, lalu kita positif COVID-19 atau mati sebab COVID, secara statistik sains medis itulah nasib bagai menggali kubur sendiri, pilihan kita sendiri. Mengapa?

Oleh karena berbeda nasibnya dengan mereka yang percaya dan tulus melakoni apa yang dikatakan sains demi tidak terkena COVID. Agar tidak perlu sakit, dan tidak usah sampai tewas karenanya. Inilah nalar medisnya.

Mau berdoa sekhusyuk apapun, kalau secara sains kita menantang COVID, nekat tanpa masker di tengah kerumunan, menolak vaksinasi, tidak mau berobat, sebesar apapun uang dan harta simpanan, seberapa pun hebat kekuasaan kita, seberapa pun kuatnya tubuh kita, kita pasti akan tumbang juga. Tidak tersedia kesempatan kedua untuk mengulang dan tidak berbuat perkeliruan. Ini berarti kita sedang mencobai Yang Maha Welas Asih.

Makin kita rentan terkena—karena sudah uzur, atau tergolong komorbid— makin perlu kita tahu diri. Perlu makin berpikir rasional, dan bukan waktunya emosional. Berpikir nalar seturut bukti saintis bagaimana COVID bisa dicegah, dan tulus melakoninya. Tahu bahwa apabila virus COVID-19 terlanjur memasuki tubuh yang lebih lemah ini, risiko sukar tertolong lebih besar.

Hidup bertekun dengan sikap tetap di rumah. Tetap melakoni prokes. Waspada terhadap semua orang yang keluar masuk rumah. Jangan sungkan menolak tamu. Tunda keluar rumah untuk semua yang tidak urgen. Bahkan terhadap anak-mantu-cucu yang masih memiliki mobilitas tinggi di luar rumah, jangan sampai membawa virus pulang ke rumah. Maka tegakan hati untuk tidak membiarkan mereka berkunjung, atau keluar masuk rumah kita dulu.

Nasib baik kita, kesehatan kita, dan umur kita di musim pandemi COVID19, di mata statistik sains medis hanya berpihak kepada mereka yang patuh melakoni hidup normal baru di tengah hiruk-pikuk pandemi. Mereka yang percaya bahwa COVID-19 hadir, yang percaya pada kekuatan vaksin, yang yakin pada cara terapi medis, dan yang mematuhi semua prokes sajalah yang masih mungkin terlindung dari risiko dan probabilitas terkena COVID-19.

Kalau masih melakoni hidup tanpa percaya, tanpa patuh kepada semua yang sains sudah temukan dan buktikan benar, jangan salahkan siapa-siapa kalau Anda harus sampai kehilangan nyawa. Pikirlah ulang karena nyawa Anda tidak lebih dari satu. COVID-19 tidak pilih bulu, seberapa hebat pun Anda.

Jalan kita masih panjang. Biarkan peluang mengulur umur itu masih ada untuk kita. Peluang, sumbangsih, dan buah karya besar para saintis dunia untuk mengulur umur lebih terentang panjang lewat temuan stem-cell dan terkuaknya Proyek Genom, membuat orang di dunia masih bisa menua dengan indah, juga lewat banyak temuan mutakhir tentang telomere, unsur gen agar tidak lekas memendek, sehingga umur tidak lekas putus.

Kita juga mensyukuri saintis medis dunia yang sampai hari ini menemukan kemampuan menahan COVID-19 supaya kita tidak harus bernasib konyol. Setelah keberhasilan vaksinasi, ada harapan ditemukan obat baru paling andal untuk menumpas virus COVID-19, yakni golongan molnupiravir yang mampu menekan pembiakan virus COVID-19. Ada beberapa obat off-label seperti golongan ruxolitinib obat kanker darah dan tocilizunab (Actemra) obat antiradang yang masih diuji coba. Sesungguhnyalah kita tidak harus mati muda (premature death) akibat COVID-19, karena sebetulnya sains medis sudah mampu menolak, mencegah dan menghindari agar kita tidak tumbang. Isi kepala diberi kemampuan untuk beradaptasi, betapapun perubahan dunia terjadi dan pandemi mengancam. Masih ada nalar keilmuan yang kita miliki.

Sejawat Dr Erlina, Spesialis Paru paru dari RS Persahabatan, saat diwawancara sebuah stasiun TV, sampai pada kesimpulan bahwa ketika banyak pasien tak tertampung RS, seolah-olah pihak medis sudah menjadi Tuhan, yang memutuskan secara acak siapa yang punya harapan tertolong sehingga tidak menjadi korban COVID, dan siapa yang terpaksa terlantar karena terbatasnya tempat tidur, sehingga tanpa disengaja luput tertolong. Jadi sebetulnya Who is playing God, seturut nalar medis, dan nalar awam juga.•

DR HANDRAWAN NADESUL

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Kesehatan
  • MINDFUL EATING
    Alasan terutama untuk menjadi mindful adalah dengan menyadari bahwa tubuh ini adalah bait Allah yang perlu kita syukuri dan...
  • Demam Berdarah Bisa Dicegah
    Demam berdarah dengue (DBD) diberitakan berjangkit di sejumlah daerah sekarang ini. Penyakit ini buat kita dianggap jamak. Apakah memang...
  • Menunda Proses Menua
    Menua itu pasti, tetapi ilmu dan teknologi medis bisa menundanya. Berumur panjang itu pilihan, bukan menerima keadaan, melainkan memilih...