Ming dan Ikan Emas Koki

Ming dan Ikan Emas Koki

Belum ada komentar 16 Views

Seusai mandi dan makan malam, ketika saya bermaksud untuk bersantai membaca-baca atau menonton film di televisi, telepon berdering.

“Halo… Pungky… Ah, untung kamu di rumah…”
“Hai Cu… Kenapa kok ‘untung aku ada di rumah?'”
“Biasa… si Ming lagi. Ada-ada saja dia itu!” jawab Cu dengan nada kesal bercampur geli.

Cu adalah seorang ibu muda yang harus sendirian membesarkan Ming, putra tunggalnya, sejak perceraiannya ketika Ming baru berumur sekitar 3 tahun. Ia dan mantan suaminya adalah teman baik kami sekeluarga. Kami kerapkali bertukar pikiran tentang banyak hal, termasuk yang menyangkut masalah di sekitar membesarkan dan mendidik anak.

“Kenapa lagi dia?” tanya saya sambil membayangkan Ming yang berumur hampir 5 tahun dengan perawakan kecil, dengan wajah yang serius dan pandang mata yang polos.
“Dia sedang sedih sekali… Si Ben mati…”
“Hah? Ben…? Mati…?”
“Iya… Ben, ikan mas koki yang di ruang tamu itu lho. Ming memberinya nama Ben…”
“Oooh… kupikir siapa…”
“Tapi si Ming sedih sekali. Dia merenung memandangi si Ben terus sejak pulang sekolah. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku juga tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang si Ben…”
“Pertanyaan yang bagaimana?” tanya saya sambil kembali membayangkan Ming yang duduk merenungi ikannya yang mati.
“Misalnya, apakah Ben masuk sorga… Apakah dia kembali kepada Tuhan…”
“Wah, itu memang tidak gampang…”
“Itu masih belum apa-apa…?”
“Oh… apa lagi?”
“Dia minta kamu datang dan mengadakan kebaktian pelepasan untuk Ben…!”
“Ah! Yang benar dong…”
“Iya….!” Tukas Cu sambil menahan tawa. “Coba kamu bayangkan sendiri… Pendeta Purboyo memimpin kebaktian pelepasan dan pemakaman seekor ikan mas koki… Ha ha ha…”

Saya menghela nafas dan memikirkan hal ini dengan sungguh-sungguh. Saya mencoba memahami bagaimana perasaan Ming saat itu. Pengalaman kehilangan sesuatu yang amat disayanginya adalah pengalaman yang baru baginya. Dan bagaimana ia memroses kehilangan saat itu, akan menentukan bagaimana ia memroses hal serupa di masa depan.

“Oke… 15 menit lagi saya datang.” Kata saya dengan penuh keyakinan.
“Hah? Kamu serius? Saya menelepon kamu sebenarnya cuma mau berbagi saja tentang kekonyolan Ming…”
“Aku serius Cu…” ujar saya. Kemudian saya menjelaskan pemahaman saya atas pengalaman Ming yang bisa krusial itu.
“Oh begitu… Baiklah. Ming pasti senang sekali kamu mau datang…”

Sekitar 15 menit kemudian saya menekan bel pintu rumah mereka. Ming yang membukakan pintu sambil memandangi saya dengan matanya yang bening.

“Hai Ming…!” sapa saya sambil membelai kepalanya.
“Oom… Oom mau kan berdoa untuk Ben?” tanya Ming dengan penuh harap.
“Tentu Ming… Tetapi sebenarnya kita tidak perlu mendoakan orang yang sudah mati, karena ia sudah kembali kepada Tuhan. Apalagi seekor ikan… ikan emas koki..”

Ming menatap saya dengan pandangannya yang polos. Dari wajahnya saya menyimpulkan bahwa ia tidak memahami penjelasan saya. Namun ia tidak menyerah, dan sekali lagi bertanya:

“Oom mau kan berdoa untuk Ben…?”

Saya tersenyum. Ming membalas senyuman saya dengan ragu. Dan kamipun beranjak menuju ke kamar tidur Ming. Ben dibaringkan Ming di atas selembar serbet kertas pada meja tulisnya. Cu menyusul kami memeluk Ming dan menciumnya.

“Akan kita kuburkah si Ben…?” tanya saya.
“Atau kita larung di dalam kloset…? Soalnya sekarang kan sudah gelap…?” sambung Cu dengan cepat.
“Tapi nanti dia… ke mana…?” tanya Ming sambil memandang ibunya.
“Sama saja dengan dikubur, Ming… tubuhnya akan hancur dan menyatu dengan tanah… Ya toh Pungky?” kata Cu sambil menatap saya meminta dukungan.
“Ya benar….” sahut saya.
“Oh… tetapi Ben sendiri kan masuk sorga… toh Oom?” tanya Ming kepada saya dengan wajah bersungguh-sungguh. Cu mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
“Bila begitu, sorganya lain dengan sorga kita, Ming…” kata Cu dengan nada setengah putus asa.
“Sorga ikan-ikan…?” tanya Ming.
“Kira-kira begitu…” jawab saya.

Ming mengangguk-angguk sambil tersenyum renyah. Kemudian tanpa berkata apa-apa Ming mengangkat Ben di tangannya dan menuju ke kamar mandi. Ketika Cu dan saya masih terheran-heran melihatnya, Ming memberi tanda kepada kami untuk mengikutinya.

Di depan kloset Ming berdiri dengan khidmat. Ben dipegangnya pada kedua tangannya.

“Oom Pungky berdoa…” katanya lirih.

Saya pun berdoa. Berdoa bagi Ming. Memohon penghiburan Tuhan serta berterima kasih atas Ben yang sekian lama menemani Ming. Setelah selesai saya berdoa Ming menjatuhkan Ben ke dalam kloset. Lalu memandang saya dengan mata berkaca-kaca.

“Oom… Oom saja yang menyiramnya…” pintanya.

Saya pun menekan tombol penyiram. Dalam sekejap tubuh Ben menghilang di pusaran air dalam kloset. Lalu kamipun menuju ke ruang tamu. Ming menonton televisi sementara saya dan ibunya minum kopi. Seperempat jam kemudian saya mohon diri.

“Ming, Oom Pungky pulang.”
“Oke Oom…”
“Hayo… kamu bilang apa Ming… Oom Pungky malam-malam harus ke sini…”
“Terima kasih Oom…”

Cu mengantar saya ke pintu.

“Terima kasih ya. Kelihatannya suasana hatinya sudah lebih baik.”
“Aku rasa begitu. Setiap anak harus belajar mengalami kehilangan sesuatu yang paling dianggapnya berarti. Dan tempat yang paling baik untuk mengalaminya adalah di tengah keluarganya….”
“Yah… tetapi sayang keluarganya tidak lengkap…” kata Cu sambil menghela nafas.
“Secara kuantitatif ya…. tetapi secara kualitatif tidak ada yang kurang pada kalian…”
“Terima kasih…” jawab Cu tersenyum.

Lima hari kemudian saya bertemu Ming dan ibunya di supermarket. Ming berlari-lari mendapatkan saya sambil mengacungkan sebuah kantong plastik. Di dalamnya terdapat seekor ikan emas koki, mirip sekali warnanya dengan Ben.

“Ben….?” tanya saya ragu-ragu.
“Bukan… Fred…!”

Di belakangnya Cu mengacungkan kedua ibujarinya.

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya



Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...