alkitab

Membaca Alkitab dengan Hati

Belum ada komentar 883 Views

Selama ini orang menganggap khotbah sebagai “mahkota” ibadah. Dampaknya, yang kerap kemudian dilupakan dan diabaikan adalah pembacaan Alkitab. Padahal pembacaan Alkitab adalah dasar dari khotbah dan bukan sebaliknya. Pembacaan Alkitab yang menggunakan metode leksionari bertujuan menyadarkan jemaat, bahwa Alkitab adalah bagian yang terpenting dalam praktik liturgis kita.

Bermula dari Ibadah Yahudi

Kekristenan tidak bisa terlepas dari keyahudian. Unsur-unsur keyahudian mewarnai tidak hanya pada Kitab Suci kita tetapi juga pada aspek liturgis. Karena itu pengenalan akan liturgi dalam ibadah Yahudi menjadi penting dalam memahami posisi pembacaan Alkitab. Khususnya setelah masa pembuangan. Sebab di masa itu, berkembanglah ibadah Yahudi hingga mengenal apa yang kemudian disebut khotbah.

Di masa pembuangan, ibadah berlangsung di Sinagoge. Praktik berkumpul (beribadah) di tempat ini menjadi penting untuk menjaga identitas mereka. Ibadah dipakai sebagai sarana mengajar dan menyampaikan ingatan-ingatan (anamnesis) kepada persekutuan umat Israel yang dengannya Allah telah membuat perjanjian. Dengan demikian, sekalipun berada di pembuangan, identitas sebagai umat Allah tetap terpelihara.

Pada mulanya, Sinagoge bukanlah rumah yang khusus untuk beribadah, melainkan rumah tinggal biasa. Lama-kelamaan fungsi Sinagoge bertumbuh seturut kebutuhan. Setidaknya-di kemudian hari-terdapat 2 (dua) fungsi Sinagoge, yaitu sebagai tempat pengajaran (beth ha-midrasy, rumah pengajaran) dan sebagai tempat beribadah (beth ha-tefillah, rumah doa). Sulit untuk menentukan fungsi mana yang lebih primer dari keduanya. Dalam praktik, keduanya bergabung menjadi satu, sehingga terciptalah pola yang kemudian juga menjadi pelopor liturgi Kristen. Pola ibadah (ordo) Sinagoge pada awalnya (pola ini terus mengalami perkembangan juga) berlangsung sebagai berikut:

  1. Pendarasan Mazmur
  2. Pembacaan shema (dengarlah), yaitu pengakuan iman Israel sebagaimana yang tertulis dalam Ulangan 6:4-9; 11:13-21 dan Bilangan 15:37-41.
  3. Doa yang disebut syemoneh ‘ezreh (delapan belas ucapan berkat).
  4. P embacaan Taurat (sedarim) dengan mengikuti jadwal (siklus, lectio) tertentu. Setidaknya ada dua siklus: Siklus Babilonia yang membuat seluruh Taurat selesai dibaca dalam satu tahun, dan Siklus Palestina di mana seluruh Taurat selesai dibaca dalam tiga tahun.
  5. Pembacaan kitab Para Nabi (haptaroth) yang diikuti-sekalipun tidak mutlak-dengan penjelasan atasnya. Pemilihan kitab Para Nabi tidak ditentukan seperti jadwal pembacaan Kitab Taurat.
  6. Pengucapan berkat sebagai penutup ibadah.

Pembacaan kitab-kitab itu dilakukan secara bergantian oleh “awam”. Pada umumnya dilakukan oleh 10 orang laki-laki berusia 13 tahun ke atas yang disebut minyan. Sedangkan siapa yang menjelaskan kitab itu (seperti poin 5) tidak diatur dengan ketat. Kisah Para Rasul 13:15 mencatat:

Setelah selesai pembacaan dari hukum Taurat dan kitab nabi-nabi, pejabat-pejabat rumah ibadat menyuruh bertanya kepada mereka: “Saudara-saudara, jikalau saudara-saudara ada pesan untuk membangun dan menghibur umat ini, silakanlah!”

Itulah sebabnya, dapat disebutkan ibadah Sinagoge adalah tipe ibadah “awam.” Sebab dalam ibadah itu, jemaat tidak hanya pasif mendengarkan pembacaan kitab, melainkan diberi kesempatan untuk turut serta menyampaikan pemahamannya atas teks yang dibaca tersebut (seperti PA). Yang perlu dicatat, penjelasan itu pada awalnya bukanlah unsur mutlak dalam ibadah Sinagoge.

Namun, penjelasan atas Kitab Suci, semakin hari semakin dirasa perlu. Khususnya ketika generasi muda tidak lagi mampu memahami bahasa Ibrani dengan baik. Kebutuhan itu dimulai semenjak Israel berulangkali menjadi bangsa buangan. Yang paling terasa adalah saat Israel berada di bawah pemerintahan Persia, di mana bahasa Aram dipaksakan menjadi bahasa ibu mereka. Akibatnya teks Kitab Suci yang tertulis dalam bahasa Ibrani tidak dapat dimengerti kecuali jika teks itu diterjemahkan (atau dijelaskan kembali) ke dalam bahasa Aram. Itulah yang dilakukan oleh para pemimpin agama Israel. Mereka melakukan penerjemahan teks Kitab Suci dalam bahasa Aram, dengan tujuan agar Kitab itu tetap bisa dipahami oleh pendengarnya (bandingkan Nehemia 8:8-9). Hasil terjemahan itu disebut Targum. Dalam perkembangannya, terjemahan itu ditambahkan dengan berbagai penjelasan, yang kerap kali mengubah makna teks asli, sesuai dengan keinginan pemberi penjelasan. Tak jarang, penjelasannya menjadi jauh lebih panjang dari teks itu sendiri. Mulailah penjelasan itu ditambah dengan penekanan yang berisi ajaran-ajaran moral, sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan. Pada bagian inilah khotbah mulai mendapatkan bentuknya.

Perubahan Praktik Khotbah Dalam Kehidupan Gereja

Praktik ibadah gereja kemudian melanjutkan pola ibadah Yahudi dengan penyesuaian-penyesuaian. Pembacaan Alkitab sebagai dasar ibadah terus dilanjutkan dengan perubahan susunan. Susunan yang mulai baku dalam ibadah Yahudi diubah menjadi seperti berikut:

Leksionari Gereja Leksionari Yahudi
1. Perjanjian Lama 1. Sedarim (Taurat)
2. Surat Rasuli  
3. Mazmur 2. Mazmur
4. Injil 3. Haphtaroth (Kitab Para Nabi)

Pola semacam ini menempatkan Injil sebagai bacaan yang termulia. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan perbedaannya dengan ibadah Yahudi. Pembacaan lainnya disusun sedemikian rupa sehingga menopang, memerkuat, memerlengkapi, bahkan bergantung pada Injil yang dibacakan (itulah sebabnya Injil dibacakan oleh klerus).

Pada abad ke V, gereja Konstantinopel (Timur) mulai mengurangi jumlah pembacaan Alkitab menjadi dua (Perjanjian Lama tidak lagi dibaca), yang diikuti oleh Gereja Roma (Barat) pada abad ke VI. Pengurangan ini makin mendapat tempat setelah retorika berkembang dengan pesat, sehingga khotbah mendapat posisi yang lebih penting. Akibatnya, pembacaan Alkitab dengan pola tertentu mulai ditinggalkan, khususnya dalam ibadah nonformal.

Kesadaran pembacaan Alkitab secara utuh diawali dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Keputusan kembali membaca Alkitab dalam “pola lama” berdasarkan pemahaman: “harta Kitab Suci harus dibuka lebih luas” (Sacrosantum Concilium [SC] 51, 1963). Lebih lanjut pentingnya kitab suci dijelaskan sebagai berikut:

“Kitab-kitab ilahi seperti juga tubuh Tuhan sendiri selalu dihormati oleh Gereja, yang-terutama dalam Liturgi Suci-tiada hentinya menyambut roti kehidupan dari meja sabda Allah maupun tubuh Kristus, dan menyajikannya kepada umat beriman. Kitab-kitab itu bersama dengan Tradisi Suci selalu telah dipandang dan tetap dipandang sebagai norma imannya yang tertinggi. Sebab kitab-kitab itu diilhami oleh Allah dan sekali untuk selamanya telah dituliskan, serta tanpa perubahan mana pun menyampaikan sabda Allah sendiri, lagi pula memerdengarkan suara Roh Kudus dalam sabda para Nabi dan para Rasul, Jadi semua pewartaan dalam Gereja seperti juga agama Kristiani sendiri harus dipupuk dan diatur oleh Kitab Suci. Sebab dalam kitab-kitab Suci, Bapa yang ada di surga penuh cinta kasih menjumpai para putra-Nya, dan berwawancara dengan mereka” (SC 35).

Kesadaran itu pada gilirannya dirasakan oleh gereja-gereja. Hingga sejak pertengahan dasawarsa 1960-an, sebuah badan ekumenis Katolik dan Protestan yang bernama “Konsultasi Teks-Teks Bersama” (Consultation on Common Text-CCT) menghasilkan apa yang hingga kini dikenal dengan sebutan “Leksionari Bersama yang Diperbarui” (Common Revised Lectionary). Lewat itu, peran Kitab Suci pun kembali menjadi pusat ibadah. Bahkan lewat itu pula ditegaskan, Kitab Suci sendirilah yang menyapa dan menguatkan jemaat.

Pembacaan Leksionaris di GKI

Persidangan XIV Majelis Sinode GKI pada bulan November 2005 memutuskan bacaan leksionari menjadi pola ibadah kita. Beragam tanggapan terlontar. Salah satunya adalah, dengan pembacaan panjang ibadah menjadi lebih lama. Juga ada anggapan mengapa GKI menjadi atau menyerupai Katolik.

Anggapan itu tidak sepenuhnya salah. Pola lama yang menempatkan khotbah sebagai sentral memang menjadi “keruwetan” tersendiri. Sehingga khotbah yang berupaya merangkum seluruh teks, menjadi panjang dan tidak jelas. Padahal khotbah leksionaris tidaklah memaksakan seluruh teks dikhotbahkan. Sebab bacaan leksionaris memang dibuat berdasarkan dua hal: kesamaan tema (yang berarti seluruh teks bisa dikhotbahkan) dan urutan Kitab Suci yang mengabaikan tema yang sama (yang berarti tidak serta merta bisa dikhotbahkan semua). Dengan demikian, khotbah leksionaris hanya memberikan penekanan pada bagian yang relevan dengan pergumulan jemaat.

Anggapan keserupaan dengan Katolik pun rasanya perlu direvisi. Sebab pola pembacaan ini telah muncul bahkan jauh sebelum hadirnya gereja.
Pilihan pembacaan leksionaris tidak seharusnya sekedar mengikuti keputusan PMS saja. Pilihan itu pun harus dilandaskan pada sebuah keyakinan, kebutuhan jemaat adalah mendengarkan firman Tuhan dengan baik. Alkitab adalah bacaan ilahi (lectio divina) yang memberikan kekuatan dan pertumbuhan iman jemaat. Seperti yang dituturkan nabi Yesaya:

“Sebab seperti hujan dan salju turun dari langit dan tidak kembali ke situ, melainkan mengairi bumi, membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan benih kepada penabur dan roti kepada orang yang mau makan, demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya” (Yes 55:10-11).

Pemahaman itu memberikan keyakinan buat kita, bahwa sabda Allah yang ditaburkan itu terus bekerja dalam diri kita, entah kita sadar atau tidak, suka atau tidak.

Tugas Sebagai Lektor: Membaca Dengan Hati

Lektor atau pembaca ialah petugas ibadah yang bertugas membacakan Alkitab. Di kalangan gereja Katolik, Injil hanya boleh dibacakan oleh orang yang secara khusus diteguhkan/ditahbis (klerus). Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa Injil adalah bacaan terpenting dari semua bacaan yang ada. Paham ini berbeda dengan paham Protestan yang menganggap semua bagian Alkitab sama pentingnya (sola scriptura), sehingga bacaan Injil (dan Surat Rasuli) tidak harus dibacakan oleh klerus.

Melihat pentingnya bacaan Alkitab, seorang lektor harus memersiapkan diri dengan baik. Tak hanya kemampuan membacanya saja yang harus dipersiapkan. Penampilannya pun perlu dipikirkan terkait dengan perannya yang tidak kecil. Seorang lektor harus mengimani, melalui diri dan mulutnya Allah sendiri berbicara dan menyapa umat-Nya.

Agustinus, Bapa Gereja, membagi sakramen dalam dua hal: sacramentum audible (sakramen yang dapat terdengar) dan sacramentum verbum visibile (sabda yang dapat terlihat). Hal yang kedua menyangkut perjamuan kudus. Hal pertama menyangkut pembacaan Alkitab. Jadi pembaca Alkitab adalah juga pelaksana sakramen kudus!

Dengan demikian, diperlukan cara khusus untuk membaca teks Alkitab. Berikut ini metode pembacaan Alkitab yang disadur dari pemikiran Darmawijaya, seorang ahli biblis dari gereja Katolik:

  1. pembacaan biasa, pembacaan yang berangkat dari keinginan untuk tahu atau untuk belajar.
  2. pembacaan merenung, pembacaan yang berangkat dari pengertian, bacaan telah didalami dan diamini.
  3. pembacaan berdoa, pembacaan bertujuan menyapa, menggerakkan, membahagiakan, menarik hati para pendengarnya.
  4. pembacaan cinta, membaca dengan gairah cinta kasih (passion).

Seorang lektor memerlukan tahap pembacaan cinta, dengan hasrat kuat untuk menikmati keindahan bersama dengan Tuhan.
Metode ini memang bukanlah hal praktis, namun lebih menyangkut pada motivasi. Motivasi yang sedemikian memberikan dorongan membaca firman Tuhan yang berdaya guna, siap mengubah hati para pendengarnya.

– Addi S. Patriabara –

Sumber-sumber:

  • Darmawijaya, St., “Membaca Injil (2)” dalam Banawiratma, JB., Membaca Kitab Suci, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1987.
  • Harshbarger, Luther H., dan Mourant, John A., Judaism and Christianity: Perspectives and Traditions, Allyn and Bacon Inc., Boston, 1968.
  • Martasudjita, E, Sabda Allah penuh Daya: Memahami Perayaan Sabda secara Kontekstual, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1999.
  • Martasudjita, E, Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1999.
  • Old, Hughes Oliphant, Worship Reformed according to Scripture, Westminster John Knox Press, London, 2002.
  • Olst van, E.H., Alkitab dan Liturgi, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001.
  • Rachman, Rasid, Hari Raya Liturgi: Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003.
  • Rowley, H.H., Ibadah Israel Kuna, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1983
  • White, James. F., Pengantar Ibadah Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2002.
  • Willimon, William H., dan Lischer Richard (eds), Concise Encyclopedia of Preaching, Westminster Jhon Knox Press, Kentucky, 1995.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Bible Talks
  • Pelayanan yang Panjang
    Kisah Para Rasul 19:1-41
    Kisah Para Rasul merupakan buku kedua yang dituliskan oleh Lukas kepada Teofilus, dengan tujuan mencatat apa yang dilakukan oleh...
  • KASIH PERSAHABATAN
    Kasih adalah salah satu tema terpenling di da/am kekristenan. Di dalam 1 Korinlus 13:13, Paulus menegaskan bahwa dari seluruh...
  • WHAT WENT WRONG?
    Yosua 7-8
    Seandainya Anda mengalami kegagalan, akankah Anda berdiam diri dan bertanya, “Apa yang salah?” Setelah kemenangan di Yerikho dengan sangat...
  • Menghidupkan Semangat Dan Hati
    Yesaya 57:15
    Seseorang gadis berusia 18 tahun dan berpenampilan menarik berjalan masuk ke dalam ruang konseling. Dia sering menjuarai berbagai kompetisi...