orangtua belajar

Kuadran Hati Orangtua

Belum ada komentar 40 Views

kepada anak-anak kita
ada yang suka memberi waktu
ada yang suka memberi sangu
keduanya mereka butuh

Dalam proses pembelajaran di sekolah kehidupan, saya pernah memulung semacam sajak yang luar biasa indah karya Dorothy Law Nolte. Ia menuturkan tentang bagaimana anak-anak belajar dari kehidupan mereka. Coba baca dan resapi kutipannya berikut ini.

Jika anak dibesarkan dengan celaan
Ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan
Ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan
Ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan
Ia belajar menyesali
Jika anak dibesarkan dengan toleransi
Ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian
Ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan dorongan
Ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman
Ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan
Ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak dibesarkan dengan perlakuan yang baik
Ia belajar keadilan.

Paparan semacam itu membuat saya bersyukur bahwa saya tidak dibesarkan dengan celaan, permusuhan, cemoohan, ataupun penghinaan dari orangtua saya. Di samping itu, saya juga bertekad kuat untuk tidak membesarkan anak-anak saya dengan virus-virus perusak jiwa berupa kata-kata negatif semacam itu.

Masalahnya, sekalipun orangtua tidak memberikan celaan, permusuhan, cemoohan, dan penghinaan, bukan berarti anak-anak mereka akan bebas dari hal-hal semacam itu. Sebab, celaan dan sebagainya itu bisa—dan justru seringkali—datang dari lingkungan hidup sekitar, entah itu pembantu atau pengasuh bayi, pergaulan dengan tetangga, sekolah atau tempat kursus, juga dari tayangan televisi yang menyerang keluarga di rumahnya masing-masing. Dan orangtua tidak mungkin mampu menyaring segala bentuk informasi dan perlakuan yang menimpa anak-anak mereka.

Saringan yang demikian bukan saja tidak mungkin dilakukan, tetapi juga tidak perlu dilakukan. Sebab dari berbagai perlakuan dan ungkapan negatif, anak-anak kita juga perlu belajar bagaimana cara menyikapinya agar mereka tetap mampu memberi respon yang baik sesuai nilai-nilai dan keyakinannya sendiri (baca: menjadi proaktif). Bagaimanapun mereka hidup dalam dunia yang bertabur celaan, banjir cemoohan, karib dengan nuansa permusuhan, dan penuh hinaan di sana-sini.

Jadi, anak-anak bukan cuma perlu pujian, dorongan, dukungan, rasa aman, kasih sayang, dan hak-hak positif yang diungkapkan Nolte. Anak-anak juga memerlukan pendampingan dari orangtuanya untuk menyikapi segala macam bentuk perlakuan dan perkataan yang ditujukan kepada mereka.

Dalam pengamatan saya yang terbatas, ada empat kelompok orangtua di dunia ini.

Pertama, kelompok yang tidak mampu memberikan uang sangu (miskin harta), dan tidak mampu meluangkan waktu untuk bersama-sama (miskin waktu). Inilah orangtua yang miskin secara ekonomi, dan harus meninggalkan anak-anaknya dititipkan kepada tetangga, orangtua/mertua, ketika mencari nafkah. Pasangan pembantu dan supir angkot yang menitipkan anak mereka di kampung adalah contoh kelompok ini.

Kedua, kelompok yang mampu—sebagian sangat mampu—memberikan sangu (kaya harta), tapi tak bersedia memberikan waktu (miskin waktu). Inilah kelompok orangtua yang kaya secara ekonomi, sibuk dengan berbagai agendanya sendiri, dan menyerahkan anak-anak mereka dibesarkan oleh orang-orang bayaran (pengasuh, pembantu, supir, tukang kebon, juru masak, dsb). Bagi mereka ada semacam persepsi dasar bahwa membesarkan anak berarti sekadar ”membayar”. Makin banyak yang mereka bayar, mereka merasa makin tuntas memainkan perannya sebagai orangtua. Amat boleh jadi mereka sendiri dibesarkan dengan cara yang mirip, sehingga ini cuma soal proses duplikasi/peniruan saja. Orangtua jenis ini menempatkan posisi anak-anak di dompet mereka. Anak-anak mereka menikmati fasilitas yang paling lengkap, mainan tak pernah habis, pakaian bagus tak pernah hilang dari lemari, sekolah-sekolah terbaik mereka masuki, kursus-kursus terbaik mereka nikmati, hanya orangtuanya yang jarang bersama mereka.

Ketiga, kelompok yang tak seberapa mampu memberikan sangu (miskin harta), tetapi berusaha keras memberikan waktu (kaya waktu). Inilah kelompok orangtua yang rajin mengantar anak-anaknya ke sekolah, kursus, ikut berenang bersama, liburan bersama, makan malam bersama, membaca/belajar bersama, menemani tidur. Orangtua jenis ini menempatkan anak-anak di hati mereka. Mereka melihat apa atau siapa yang bisa membuat anak-anaknya tertawa terpingkal-pingkal. Mereka juga tahu apa atau siapa yang membuat buah cinta mereka menangis tersedu-sedu. Anak-anak memiliki banyak kenangan bersama dengan orangtua jenis ini. Perhatian yang melimpah dari orangtuanya membuat mereka lebih berkembang kecerdasan emosinya.

Keempat, kelompok yang mampu memberikan sangu (kaya harta) dan juga bersedia memberikan waktu untuk bersama anak-anak dalam banyak kesempatan (kaya waktu). Ini merupakan jenis orangtua ideal. Mereka memberikan bukan cuma fasilitas, melainkan juga perhatian yang melimpah. Sungguh amat beruntung anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua jenis ini. Dan karena ini bersifat ideal, jumlahnya mungkin amatlah langka.

Ketika saya mencoba menguraikan keempat kelompok orangtua di atas—yang bisa digambarkan dalam bentuk kuadran—saya bertanya-tanya pada diri sendiri orangtua macam apakah saya ini. Dan pertanyaan reflektif itu membawa saya pada penggalan syair yang ditulis penyair terkemuka dari Lebanon, Khalil Gibran, sebagai berikut:

Anakmu bukanlah anakmu
Mereka adalah putera
kerinduan diri Sang Hidup
Melaluimu mereka ada,
namun bukan darimu
Meskipun bersamamu,
mereka bukan milikmu
Berikan kasih sayangmu,
tetapi jangan paksakan
pikiranmu
Sebab mereka berbekal
alam pikiran sendiri
Berikan rumah untuk raganya,
tetapi bukan jiwanya
Sebab jiwa mereka adalah
penghuni masa depan
Yang tiada dapat kau gapai
sekalipun dalam impian

Syair di atas makin menggedor hati saya: orangtua macam apakah saya ini? Cukup pedulikah saya terhadap anak-anak saya, pada saat saya mampu maupun pada saat saya tak mampu secara finansial? Apakah saya tipe orangtua pemberi harta tanpa cinta? Atau saya tipe yang memberi cinta, tanpa harta? Dan sejumlah pertanyaan lain mulai terasa mendera. Karena itu lebih baik saya sudahi saja sampai di sini. Bagaimana dengan Anda, pembaca?

Tabik Mahardika!

Andrias Harefa, Penulis buku terlaris Menjadi Manusia Pembelajar [Kompas, 2000] dan fasilitator www.pembelajar.com

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Edukasi
  • THE ART OF LISTENING
    Menjadi pendengar yang baik? Ah, semua juga bisa! Tapi apakah sekadar mendengar bisa disamakan dengan menjadi pendengar yang baik?...
  • To infinity and beyond!
    Saya salah satu penggemar petualangan seru dan epik dari Buzz Lightyear dan Woody, sahabatnya (Film: Toy Story 1995). Buzz...
  • Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Selamat pagi, siang, sore, dan malam. Menjalani setiap hari dengan rutinitas yang sama, sampai tiba saatnya Natal dan Tahun...
  • WOMEN ON FIRE
    Perempuan Warga Kelas Dua Sepertinya dari dulu perempuan cenderung ditempatkan sebagai warga kelas dua dalam status sosial. Hal ini...
  • Doketisme
    Doketisme
    doktrin keilahian yang kebablasan
    Fanatisme Spiritualitas Fanatisme sebuah spiritualitas yang secara berlebihan menekankan hal-hal tertentu dan kurang menganggap penting hal-hal lain, sering kali...