kesaksian

Kesaksian Iman

Belum ada komentar 2401 Views

Dalam nama Kristus, kutulis kesaksian imanku dengan sejujur-jujurnya.

Aku dilahirkan, dibesarkan dan dididik dalam keluarga yang tidak percaya kepada Kristus, dengan pendidikan agama yang sangat ketat. Semua aturan agama yang diimani dan dikerjakan oleh orangtuaku harus kujalani dengan taat dan disertai rasa takut kepada mereka. Hal itu kujalani sampai akhir pendidikanku di SMA.

Lulus dari SMA aku melanjutkan pendidikanku di Perguruan Tinggi. Saat itulah aku mulai tidak taat kepada ajaran agamaku dan secara sembunyi-sembunyi aku juga tidak taat kepada kedua orangtuaku. Di dalam hati nuraniku ada keinginan untuk berpindah pada ajaran agama yang lain, yaitu Nasrani. Tidak ada seorang pun yang mengajak atau memengaruhiku. Aku sendiri juga tidak tahu mengapa tiba-tiba ada rasa tertarik itu. Mulailah aku tidak lagi mengerjakan segala aturan dan ajaran yang pernah kupercayai, tetapi aku tetap sembunyi-sembunyi-sembunyi, karena takut dimarahi oleh orangtua dan saudara-saudaraku semua.

Sampailah saatnya aku menikah dengan dosenku yang juga seiman. Beliau adalah mantan sekretaris suatu organisasi besar kemahasiswaan yang bernapaskan keagamaan yang anti kepada ajaran Nasrani. Begitu banyak masalah kehidupan keluarga yang kami hadapi. Selama dalam pergumulan keluarga sampai dengan usia pernikahan kami delapan tahun, aku tidak pernah mengalami adanya jalan keluar, hidup terasa terus gelap. Akhirnya aku putus asa dan ingin mengakhiri hidup dengan pemikiran bahwa aku akan terlepas dari derita yang terasa berkepanjangan dan seakan-akan tiada akhir. Waktu itu aku sudah dikaruniai 3 anak: 2 laki-laki dan yang bungsu perempuan, usia mereka 7, 5 dan 3 tahun.

Suatu tengah malam, tanpa pamit kepada suami, kutinggalkan rumah dengan naik sepeda motor tanpa tujuan yang pasti. Tiba-tiba di dekat suatu perempatan jalan besar kulihat sebuah truk dengan nyala lampu yang sangat terang dan saat itu pikiranku rupanya sudah dirasuki kuasa gelap. Aku ingin mengakhiri hidupku, aku tidak lagi ingat pada suami dan ketiga anakku di rumah, kuserahkan motorku untuk menabrak truk itu. Aku sungguh-sungguh sudah kehilangan akal sehatku. Apa yang terjadi? Pada saat itu, ketika sudah dalam posisi hampir tabrakan, kudengar teriakan keras dari pengemudi truk itu yang mengata-ngatai aku dengan kata-kata yang sangat kotor. Saat itu seperti ada kekuatan yang membuatku sadar, dan truk itu terus melaju meninggalkanku.

Aku sadar bahwa rencanaku nekat dan gila, dan aku termenung di tengah jalan. Di tengah malam itu jalanan sepi, tidak ada seorang pun yang lewat, tak ada kendaraan yang lewat kecuali truk yang sudah berlalu. Waktu aku merenung itu, kuingat betul bahwa ketika aku akan menubruk truk itu, ada seseorang yang menghalangiku. Aku tidak bisa mengenali wajahnya karena pikiranku masih kacau, tetapi ketika aku tersadar, aku tidak melihatnya lagi. Aku menoleh sana sini mencarinya untuk berterima kasih kepadanya, tetapi ia sudah lenyap. Tiba-tiba, ketika aku masih memikir-mikir siapakah orang itu, ke mana dia pergi, dan mengapa aku ditinggalkan begitu saja, datanglah seorang laki-laki mengayuh becak mendatangiku dengan pertanyaan: “Ada apa, Mbak? Ayo pulang, kuantarkan.” Orang itu berbicara dengan nada halus, sangat sopan, dan dia benar-benar mengantarku pulang sampai di rumah dengan selamat. Jalanan sangat sepi ke arah rumahku karena itu tahun 1977, kendaraan belum banyak dan jalanan belum seramai sekarang.

Sesampai di rumah, aku tidak ditanyai apa pun oleh suamiku. Aku langsung masuk ke kamar. Keesokan harinya, aku sakit selama 3 hari. Tidak kutahu kekuatan dari mana, keesokan hari setelah kesehatanku pulih, tiba-tiba aku teringat kata-kata anakku yang sulung sewaktu dia berusia 4 tahun: “Mama, nanti kalau sudah besar (maksudnya mungkin kalau sudah tua), harus ikut Tuhan Yesus.” Aku terkejut dan heran dari mana dia mengenal Yesus? Anakku belum sekolah dan di dalam keluarga kecilku tidak ada satu pun benda atau gambar tentang Yesus, dan tidak ada saudara atau teman dekatku yang Nasrani. Seketika itu pikiranku kacau, bingung, gundah, pokoknya tak menentu dan aku jatuh sakit lagi. Dua malam aku tidak bisa tidur, tidak ada ketenangan dan saat itu juga hatiku seperti digerakkan untuk berbicara kepada suamiku. Kudatangi dia di ruang kerjanya (dia terbiasa bekerja sampai larut pagi hari). Kukatakan kepadanya: “Mas, aku mau bilang terus terang bahwa aku tidak pernah merasakan kedamaian dalam rumah tangga kita. Agama yang kuanut tidak pernah memberi jalan terang. Mas izinkan atau tidak, aku mau ikut Yesus sesegera mungkin. Anak kita beberapa tahun lalu mengatakan bahwa aku harus ikut Yesus.” Suamiku terkejut dan terheran-heran, lalu ia merespons pernyataanku: “Aku tidak menyuruh dan juga tidak melarangmu pindah keyakinan, tetapi aku tidak mau kamu mempermainkan keyakinan. Kalau memang mau pindah keyakinan harus dengan kesadaran dan nantinya harus benar-benar melakukan dengan benar keyakinan itu.” Respons yang sungguh di luar dugaanku. Aku pikir bahwa ia akan melarang, tapi ternyata ia malah membebaskanku menentukan pilihan untuk kehidupanku. Aku bertanya apa aku boleh segera mencari pembimbing untuk masuk menjadi orang Nasrani. Ia mengizinkan, dan segera kulakukan.

Sehari kemudian kutemui tetangga belakang rumahku yang menganut ajaran Katolik. Beliau sekeluarga sangat taat pada ajaran agamanya. Aku juga tidak tahu mengapa beliau yang kutemui. Beberapa hari kemudian aku sudah mengikuti katekisasi di gereja Katolik, di bawah bimbingan seorang pastor. Hanya 6 bulan mengikuti katekisasi, aku diperkenankan untuk dibaptis. Maka pada tanggal 8 April 1977 aku dibaptis di Gereja Katolik Vincentius A Paulo di Malang. Ibuku dan suamiku hadir dalam baptisan itu, bahkan aku terheran-heran ketika ternyata suamiku diam-diam, tanpa sepengetahuanku, sudah menyiapkan acara syukuran di rumah dengan mengundang teman-temannya yang Katolik dan Kristen Protestan. Betapa bahagianya diriku. Kulihat suamiku juga berbahagia.

Ada seorang teman yang hadir bertanya kepada suamiku, kapan dia akan menyusul aku. Sungguh tak terduga, suamiku menjawab: “Tentang diri saya, hanya tinggal soal waktu. Mohon doanya. Suatu saat, harapan saya bahwa kami akan bisa dalam satu perahu yang sama, terkabul.” Aku hanya menangis dan mengucap syukur kepada Tuhan Yesus. Sejak itu, selama lima tahun aku terus berdoa dan pergi misa kudus di gereja setiap pagi pk. 5.30. Aku memohon kepada Tuhan Yesus agar keinginan suamiku terkabul dan ia segera menjadi pengikut Kristus. Doaku dikabulkan-Nya. Suamiku mengikuti katekisasi agama Katolik selama 6 bulan dan dibaptis pada tanggal 8 April 1982, tepat lima tahun setelah aku dibaptis, juga di gereja yang sama. Tidak sia-sia aku berdoa lima tahun lamanya. Tanpa kuduga, sebulan setelah suamiku dibaptis, ia memberi izin kepadaku agar ketiga anakku juga dibaptis. Pada tanggal 21 September 1982, ketiga anakku dibaptis di Gereja Katedral di jalan Besar Ijen, Malang.

Sejak itu suamiku tekun sekali beribadah dan memimpin banyak organisasi Katolik hingga akhir hidupnya. Suamiku meninggal dunia mendadak karena serangan jantung pada tanggal 28 Juli 2006, sepulang dari mengikuti ibadah ekumene di luar kota. Wajahnya tenang, penuh kebahagiaan.

Sepeninggal suamiku, hingga saat kutulis kesaksian ini, aku tetap tekun dan aktif dalam kegiatan gereja, bahkan aku masih melatih paduan suara di gerejaku. Anak-anak, menantu dan cucu-cucu yang sudah dewasa juga semua aktif di gereja Katolik sampai hari ini. Sungguh luar biasa kuasa Tuhan Yesus, tak terselami oleh akal budi manusia. Kami sekeluarga bersyukur dianugerahi iman kepada Kristus. Dia yang memilih kami sekeluarga.

Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. (Yohanes 15:16)

Kuingat firman Tuhan itu yang menuntunku bertemu dan menjadi milik-Nya, beberapa saat menjelang aku dibaptis.

“Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu.” (Kisah Para Rasul 16:31)

Kedua firman Tuhan Yesus itu digenapi-Nya dan kami sekeluarga sangat berbahagia sampai hari ini.

Benarlah firman-Nya yang mengatakan:
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)

Kemuliaan kepada Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dahulu, sekarang, dan sampai selama-lamanya.

>>Anna Maria Susilowati

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Sudut Hidup
  • Aku mencari wajah-mu, Tuhan…
    Kesaksian Dapot Parulian Pandjaitan
    Berharga di mata Tuhan (kematian) semua orang yang dikasihi-Nya (Mazmur 116:15) Oops… Kematian? Suatu kata yang sering dihindari orang...
  • Kasih-Nya Mengalir
    Namanya Helen Jayanti, biasa dipanggil Helen. Saat ini sedang menjalani Praktek Jemaat 1 di GKI Pondok Indah. Lulusan dari...
  • Jalan Pagi Lagi di Antara Jiwa-Jiwa
    perjumpaan dengan inspirasi kehidupan lain yang juga mendatangkan syukur
    Upaya Menjaga Kebugaran Sungguh tak mudah memulai kembali sebuah rutinitas, terutama yang menyangkut fisik, apalagi kalau memang pada dasarnya...
  • Jalan Pagi di Antara Jiwa-Jiwa
    Perjumpaan-perjumpaan yang menginspirasi kehidupan dan mendatangkan syukur.
    Jalan Pagi Untuk menjaga kondisi dan kesehatan jasmani di masa yang menekan ini sehingga tidak banyak aktivitas yang bisa...
  • In-Memoriam: Pdt. (Em.) Timotius Setiawan Iskandar
    Bapak bagi banyak anak yang membutuhkan kasih: yang kukenal dan kukenang
    Mencari Tempat Kos Setelah memutuskan untuk mengambil kuliah Magister Manajemen pada kelas Eksekutif (kuliah pada hari Sabtu-Minggu) di Universitas...