Kekuatan untuk Memaafkan

Kekuatan untuk Memaafkan

1 Komentar 2271 Views

Neh 9:17 Mereka menolak untuk patuh dan tidak mengingat perbuatan-perbuatan yang ajaib yang telah Kaubuat di antara mereka. Mereka bersitegang leher malah berkeras kepala untuk kembali ke perbudakan di Mesir. Tetapi Engkaulah Allah yang sudi mengampuni, yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya. Engkau tidak meninggalkan mereka.

Makin dalam luka yang dialami seseorang, makin sulit baginya untuk memaafkan. Mengapa memaafkan itu sangat sulit? Orang bisa mengatakan, “Aku sudah memaafkan” tetapi sebenarnya ia masih belum memaafkan. Karena memaafkan tidak sebatas kata-kata. Memaafkan hanya bisa terjadi apabila muncul dari seseorang dalam bentuk totalitas—pikiran, jiwa dan hati. Untuk bisa memaafkan, seseorang perlu melibatkan pengalihan paradigma atau paradigm shift (pikiran), kemandirian dan kemerdekaan perasaan alias independency and liberation of our souls (jiwa) dan kasih tanpa syarat alias agape love (roh). Seseorang tidak akan bisa memaafkan tanpa memadukan semua unsur tersebut. Kasih berperan sebagai landasan untuk memaafkan.

Karena kasih-Nya Tuhan memberikan pengampunan bagi kita, karena itu kita dipanggil untuk memaafkan sesama.

Efesus 4:32 Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.

Kolose 3:13 Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.

Ketika kesakitan di atas kayu Salib, Kristus berdoa, “Ya, Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Yesus mengampuni orang yang menyakiti-Nya. Yesus mengampuni orang yang membunuh-Nya. Mengampuni itu sangat krusial sebab Yesus menegaskan bahwa pengampunan terhadap kita juga ditentukan oleh pengampunan kita terhadap orang lain.

Lukas 6:37 “Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni.”

Mari kita bertanya, mengapa kita tidak mengampuni? Karena kita menuntut pembalasan! Kita merasa tidak adil tanpa adanya pembalasan. Ketika kita dipukul, reaksi kita adalah memukul kembali. Begitu juga ketika kita dihina, dicuekin, reaksi kita adalah menghina kembali dan mencuekin kembali. Para ahli setuju bahwa reaksi untuk membalas dendam meningkatkan stres, menurunkan kekebalan tubuh, dan merusak kesehatan. Singkat kata, tidak mengampuni akan sangat merusak diri kita sendiri. Konfusius pernah mengatakan, “Before you embark on a journey of revenge, dig two graves” (sebelum Anda melakukan perjalanan untuk membalas dendam, galilah dua kuburan terlebih dulu). Pembalasan itu milik Tuhan. Tertulis di dalam nas Alkitab, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan” (Roma 12:19). Jangan merampas hak Tuhan! Dia adalah Allah yang adil, biarlah Dia yang membalas.

Pengampunan hanya mungkin kita lakukan apabila kita “mengasihi”. Kasih dapat menyejukkan hati yang panas, mendinginkan amarah yang membara dan mencairkan dendam yang membeku. Kedekatan kita dengan Tuhan akan sangat berpengaruh pada kemampuan kita untuk memaafkan. Ada orang yang menyalahkan segala sesuatu yang dialaminya kepada Tuhan sehingga relasi dirinya dengan Tuhan dipenuhi dengan kepahitan. Secara otomatis dia juga akan membenci orang lain. Yusuf merupakan contoh terbaik dalam hal memaafkan. Ia memaafkan kakak-kakaknya yang mau membunuhnya (Kej, 37:20) tetapi kemudian menjualnya (Kej. 37:27). Luka yang diderita Yusuf pasti sangat dalam. Namun hubungannya dengan Tuhan mengubah sikapnya. Ia memahami bahwa apa yang dialaminya memang merupakan niat jahat dari kakak-kakaknya, namun Tuhan mengubah peristiwa itu menjadi kebaikan, bahkan buat kebaikan orang banyak (Kej. 50:20).

Tujuh bulan setelah kematian suaminya, Julie Metz baru mengetahui bahwa suaminya mempunyai wanita simpanan. Ini merupakan penderitaan yang sangat rumit baginya sebab ia pasti berpikir, “Mengapa kamu lakukan hal ini padaku? Apa lagi yang tidak kuketahui?” Apa perasaan seseorang yang suaminya jatuh cinta pada sekretarisnya, atau yang istrinya pergi dengan guru yoganya? Pertanyaan yang umumnya muncul adalah “apa yang kurang dengan diriku?” Perasaan tidak berharga pun menghantui, atau dalam bahasa Anneli Rufus “dapat digantikan” (replaceable/ interchangeable). Bagaimana mengampuni orang yang tidak merasa bersalah, orang yang sudah meninggal, atau orang yang sakit jiwa? Pengampunan dimulai dengan pemulihan diri. Dalam kasus Metz, ia kemudian menemukan dari psikolog suaminya bahwa ternyata suaminya menderita narcissistic personality disorder. Orang yang menderita penyakit demikian bisa tampil percaya diri, tetapi sebenarnya sangat tidak percaya diri (have a strong sense of insecurity). Penderita NPD termasuk orang yang sangat menderita secara internal. Orang seperti ini bisa melakukan hal-hal yang berbahaya untuk menguji orang-orang yang mereka cintai. Penderita NPD tidak percaya siapa pun kecuali dirinya sendiri.

Pemahaman akan mengubah perspektif kita terhadap orang-orang yang melukai kita. Orang yang melukai kita mungkin mengalami luka batin, gejolak jiwa, ketidakseimbangan hormon, atau menderita masalah kejiwaan, karena penderita sakit jiwa memiliki realita yang berbeda sehingga tidak mungkin bagi dirinya untuk melakukan introspeksi diri. Penderita sakit jiwa hidup di dalam realita imajiner. Ilusi merupakan realita baginya. Misalnya, seorang penderita narcissistic personality disorder, sasaran hidupnya adalah mengejar kebesaran. Ia tidak bisa bekerja di dalam tim, apalagi bersikap kolektif-kolegial karena ia mengingini dirinya selalu menjadi sorotan. Di dalam pemikirannya, dirinyalah yang paling benar dan semua orang yang lain salah. Ia hanya bisa menghargai karya dan prestasi orang lain selagi tidak mengancam kebesaran dirinya (grandiosity). Ia akan selalu tampil penuh percaya diri tetapi sebenarnya di dalam dirinya yang terdalam, ia sangat tidak percaya diri. Ia sangat takut tersaingi. Ia akan sangat marah apabila dirinya tidak dipuji atau tidak dihargai. Apa yang dikerjakannya adalah yang terbaik dan apa yang dikerjakan oleh orang lain itu tidak ada artinya baginya. Perasaan lebih berhasil dari orang lain didorong oleh rasa tidak aman yang sangat kuat. Ia akan cemburu apabila orang lain dipuji atau orang lain lebih baik darinya sehingga ia akan menyerang orang tersebut. Ia tidak mampu memahami kompleksitas emosi orang lain. Karena sangat egosentris, ia tidak peduli pada orang lain, apakah tindakan dirinya mempersulit dan/atau menyusahkan orang lain. Yang terpenting adalah bahwa ia memperoleh hormat, keistimewaan dan penghargaan orang lain.

Ia sangat suka pamer. Ia tidak akan tahan apabila tidak memamerkan barang baru yang dikenakannya maupun prestasi yang diraihnya. Kesuksesan pribadi merupakan fantasi dan euforia baginya. Ia suka memancing pujian. Namun ia juga akan sangat berhati-hati, yakni menghindari perasaan bahwa dirinya sedang pamer. Yang pasti, ia juga hipersensitif, sangat mudah tersinggung. Ia akan berjuang untuk mengesankan orang lain dengan berbagai cara. Tidak heran, pencitraan diri menjadi sangat dominan dalam hidupnya. Ia juga bersikap dominan dan manipulatif dalam berelasi, karena dirinya merupakan pusat dari segala sesuatu. Ia pintar menggunakan alasan-alasan rasional untuk menyembunyikan keegosentrisan dan motivasi yang tersembunyi. Dan yang terpenting, ia tidak akan pernah mengaku salah. Seluruh dunia boleh salah, kecuali dirinya sendiri. Di dalam Alkitab juga ada gambaran tentang orang seperti demikian…

Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak memedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu daripada menuruti Allah. Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakikatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu! (2 Tim 3:1-5)

Apabila NPD berpadu dengan paranoia, maka hal ini akan menghasilkan masalah kejiwaan yang akut. Orang yang paranoid selalu mencurigai orang lain. Karena itu ia akan selalu curiga bahwa orang lain tidak menghargai, tidak menghormati dan tidak mengistimewakannya. Otomatis ia akan menjadi marah dan menjadi sangat reaktif. Ia akan merasa dirinya sedang dianiaya sehingga ia menganggap dirinya harus menganiayai kembali. Ia akan menikmati kesenangan dan kepuasan dalam menghina orang lain. Menghina, meremehkan dan menjelekkan orang lain memberikan kepuasan yang luar biasa bagi dirinya.

Ada juga orang yang suka mendominasi dan mengeksploitasi orang dalam setiap relasi yang dijalinnya. Ia memperlakukan orang sebagai “barang” atau “alat” bagi keuntungan dirinya. Kenikmatannya adalah apabila ia dapat menguasai dan menjinakkan orang lain. Bagi orang yang tidak mampu didominasinya atau dijinakkannya, ia akan memusuhinya dan menjaga jarak dengan orang tersebut. Orang dengan kelainan jiwa seperti ini akan cenderung melukai orang yang berelasi dengannya.

Nah, bagaimana jika Anda secara terus-menerus disakiti orang yang menderita sakit jiwa seperti ini? Ampunilah dia sebab apa yang dilakukannya, tidak ia ketahui! Setelah memperoleh pemahaman yang benar tentang orang yang melukai kita (paradigm shift) kita perlu memerhatikan kondisi jiwa kita. Apakah jiwa kita juga terpengaruhi? Merespons orang yang sakit jiwa dengan sikap yang sakit jiwa akan menyebabkan diri kita mengalami kelainan kejiwaan juga. Untuk itu, kita perlu menjaga kesehatan jiwa kita. Jiwa kita perlu dicek dan direvitalisasi secara berkala. Kita perlu bertanya pada jiwa kita sendiri, peristiwa-peristiwa apa saja yang telah melukai kita. Kemudian kita merevitalisasi jiwa kita dengan relasi kita bersama Tuhan yang berlandaskan kasih. Kita memahami bahwa peristiwa-peristiwa yang sangat menyakitkan kita dapat diubah untuk membangun kita. Hal-hal yang sangat merugikan kita dapat diubah menjadi hal-hal yang memerdekakan dan mendewasakan kita. Inilah kekuatan untuk memaafkan. Kekuatan kasih ilahi yang memerdekakan kita.

Johan Newton Crystal

References:
Rufus, Anneli. 2013. http://www.psychologytoday.com/articles/201009/in-loathing-memory (accessed July 22, 2014)

1 Comment

  1. Ani

    Ini sangat membantu saya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Bible Talks
  • Pelayanan yang Panjang
    Kisah Para Rasul 19:1-41
    Kisah Para Rasul merupakan buku kedua yang dituliskan oleh Lukas kepada Teofilus, dengan tujuan mencatat apa yang dilakukan oleh...
  • KASIH PERSAHABATAN
    Kasih adalah salah satu tema terpenling di da/am kekristenan. Di dalam 1 Korinlus 13:13, Paulus menegaskan bahwa dari seluruh...
  • WHAT WENT WRONG?
    Yosua 7-8
    Seandainya Anda mengalami kegagalan, akankah Anda berdiam diri dan bertanya, “Apa yang salah?” Setelah kemenangan di Yerikho dengan sangat...
  • Menghidupkan Semangat Dan Hati
    Yesaya 57:15
    Seseorang gadis berusia 18 tahun dan berpenampilan menarik berjalan masuk ke dalam ruang konseling. Dia sering menjuarai berbagai kompetisi...