Kegigihan dan Keteguhan  Anak Penjual Kue

Kegigihan dan Keteguhan Anak Penjual Kue

Belum ada komentar 20 Views

Seusai berlibur dari kampung, saya harus kembali ke kota. Mengingat jalan tol yang juga padat, saya menyusuri jalan lama. Terasa mengantuk, saya singgah di sebuah restoran. Begitu memesan makanan, seorang anak lelaki berusia lebih kurang 12 tahun muncul di depan.

“Abang mau beli kue?” katanya sambil tersenyum. Tangannya segera menyingkap daun pisang yang menjadi penutup kue jajanannya. “Tidak Dik, Abang sudah pesan makanan,” jawab saya ringkas, dan ia berlalu.

Begitu pesanan tiba, saya langsung menikmatinya. Lebih kurang 20 menit kemudian saya melihat anak tadi menghampiri pelanggan lain, sepasang suami-istri, sepertinya. Mereka juga menolak, dan ia berlalu meninggalkan mereka.

“Abang sudah makan, tak mau beli kue saya?” tanyanya tenang ketika menghampiri meja saya.

“Abang baru selesai makan Dik, masih kenyang nih,” kata saya sambil menepuk-nepuk perut. Ia pergi, tapi cuma di sekitar restoran. Di sebuah sudut dekat pintu keluar ia meletakkan bakulnya yang masih penuh. Setiap ada yang lewat, ia menawarkan, “Tak mau beli kue saya Bang, Pak… Kakak atau Ibu.”

Molek budi bahasanya. Pemilik restoran itupun tak melarangnya keluar-masuk restoran menemui pelanggan. Sambil memperhatikan, terbersit rasa kagum dan kasihan di hati saya melihat betapa gigihnya ia berusaha. Tidak nampak keluh kesah atau tanda-tanda putus asa dalam dirinya, sekalipun orang yang ditemuinya enggan membeli kuenya.

Setelah membayar harga makanan dan minuman, saya terus pergi ke mobil. Anak itu saya lihat berada agak jauh di deretan kedai yang sama. Saya buka pintu, membetulkan duduk dan menutup pintu. Belum sempat saya menghidupkan mesin, anak tadi berdiri di tepi mobil. Dia menghadiahkan sebuah senyuman. Saya turunkan kaca jendela. Membalas senyumannya. “Abang sudah kenyang, tapi mungkin Abang perlukan kue saya untuk adik-adik, ibu atau ayah Abang,” katanya sopan sekali sambil tersenyum. Sekali lagi ia memamerkan kue dalam bakul dengan menyelak daun pisang penutupnya.

Saya tatap wajahnya, bersih dan bersahaja. Terpantul perasaan kasihan di hati. Lantas saya buka dompet, dan mengulurkan selembar uang Rp20.000,- kepadanya. “Ambil ini Dik! Abang sedekahkan …, tak usah Abang beli kue itu.” Saya berkata ikhlas karena perasaan kasihan saya mendadak meningkat. Anak itu menerima uang tersebut, lantas mengucapkan terima kasih dan berjalan kembali ke kaki lima deretan kedai. Saya gembira dapat membantunya. Setelah mobil saya hidupkan, saya memundurkannya.

Alangkah terperanjatnya saya melihat anak itu mengulurkan Rp 20.000,- pemberian saya itu kepada seorang pengemis yang buta kedua matanya. Saya terkejut, saya hentikan mobil dan memanggil anak itu. “Kenapa Bang, mau beli kue lagikah?” tanyanya. “Kenapa Adik berikan duit Abang tadi pada pengemis itu? Duit itu Abang berikan kepada Adik!” kata saya tanpa menjawab pertanyaannya. “Bang, saya tak bisa ambil duit itu. Emak marah kalau ia tahu saya mengemis. Kata Emak, kita mesti bekerja mencari nafkah karena Allah. Kalau ia tahu saya bawa duit sebanyak itu pulang, sedangkan jualan masih banyak, Mak pasti marah. Kata Mak, mengemis itu kerja orang yang tak berupaya. Saya masih kuat Bang!!” katanya begitu lancar.

Saya heran sekaligus kagum dengan pegangan hidup anak itu. Tanpa banyak soal saya terus bertanya berapa harga semua kue dalam bakul itu. “Abang mau beli semuanyakah?” tanyanya dan saya cuma mengangguk.

Lidah saya kelu untuk berbicara. “Rp 25.000,- saja, Bang….” Selepas ia memasukkan satu persatu kuenya ke dalam plastik, saya ulurkan Rp 25.000,-. Ia mengucapkan terima kasih dan terus pergi. Saya memperhatikannya hingga hilang dari pandangan.

Dalam perjalanan, baru saya terpikir untuk bertanya statusnya. Anak yatimkah? Siapakah wanita berhati mulia yang melahirkan dan mendidiknya? Terus terang saya katakan, saya beli kuenya bukan lagi atas dasar kasihan, tetapi rasa kagum atas sikapnya yang dapat menjadikan kerjanya suatu kehormatan. Sesungguhnya saya kagum dengan sikap anak itu. Ia menyadarkan saya, siapa kita sebenarnya.

Nia Gatugapan (sumber: milis tetangga)

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Edukasi
  • THE ART OF LISTENING
    Menjadi pendengar yang baik? Ah, semua juga bisa! Tapi apakah sekadar mendengar bisa disamakan dengan menjadi pendengar yang baik?...
  • To infinity and beyond!
    Saya salah satu penggemar petualangan seru dan epik dari Buzz Lightyear dan Woody, sahabatnya (Film: Toy Story 1995). Buzz...
  • Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Selamat pagi, siang, sore, dan malam. Menjalani setiap hari dengan rutinitas yang sama, sampai tiba saatnya Natal dan Tahun...
  • WOMEN ON FIRE
    Perempuan Warga Kelas Dua Sepertinya dari dulu perempuan cenderung ditempatkan sebagai warga kelas dua dalam status sosial. Hal ini...
  • Doketisme
    Doketisme
    doktrin keilahian yang kebablasan
    Fanatisme Spiritualitas Fanatisme sebuah spiritualitas yang secara berlebihan menekankan hal-hal tertentu dan kurang menganggap penting hal-hal lain, sering kali...