Dunia sekarang bukan lagi mengejar kekayaan dan menumpukkan devisa. Hanya beberapa negara yang masih berorientasi treadmill hedonisme, terus mengejar kekayaan tanpa henti. Sebaliknya, lebih banyak negara yang mulai mengejar kebahagiaan. Karena itu, indeks kebahagiaan tinggi bukan terdapat pada negara kaya raya dan adikuasa, melainkan negara kecil yang tidak kaya, bahkan sederhana. Ini bukti lain bahwa kekayaan tidak bisa menebus kebahagiaan. Finlandia dan beberapa negara Skandinavia, misalnya, adalah negara negara dengan indeks kebahagiaan tertinggi di dunia sekarang ini.
Kesalahan yang disadari sekarang, bermula dari sikap negara kapitalis yang mendidik anak bangsanya berorientasi mencetak uang semata. Universitas hanya menciptakan insan pencetak uang. Semua dinilai dengan bahasa uang, sehingga produksi barang barang branded—yang merupakan salah satu penandanya—menggejala di dunia. Orang dinilai dari merek baju dan tas yang dipakainya, merek mobilnya, dan seberapa banyak rumah besar atau mansion yang dimilikinya. Lalu, yang hebat dan perlu dihargai itu siapa? Apakah penilaian itu berdasarkan kekayaannya, atau karena tata nilai kehidupan yang dimilikinya? Tata nilai di dunia menjadi rancu.
Tentu ada perbedaan antara keberhasilan yang ditempuh dengan jerih payah (achievement state) dan yang diterima sebagai warisan (ascribed state). Kepuasan yang diterima pun berbeda. Spirit yang dibangkitkan dari keduanya tidak sama. Kebahagiaan yang dipetik juga tidak sama wanginya.
Karena itu, cara pendidikan dunia yang menjadikan anak orang kaya, melahirkan penyesalan. Anak yang dididik menjadi orang kaya kelak melihat segala sesuatu sebagai harga, bukan nilai. Ya itu tadi, orang dihargai karena apa yang dimilikinya, bukan karena siapa dirinya. Dan sikap seperti ini tidak menyehatkan. Anak-anak yang dididik untuk menjadi orang kaya akan malu kalau kendaraannya yang cuma mobil Kijang parkir di sebelah mobil temannya yang BMW. Kelak anak dengan hasil didikan begini belum tentu bahagia.
Untuk meraih kebahagiaan tertinggi, konon orang harus bisa berhenti mengejar kepuasan, oleh karena kepuasan tidak punya batas tertinggi. Rakyat di negara yang tidak berhenti mengejar devisa, tidak berada pada happiness indeks tinggi. Sebut saja rakyat Singapura, Amerika, Tiongkok, yang tidak sebahagia rakyat Denmark atau Finlandia. Demikian juga selayaknya kita.
Kita belajar untuk mampu berhenti mengejar kepuasan hidup. Berani bilang pada hidup kita sendiri untuk berhenti mengejar harta duniawi terus-menerus, apalagi sampai ngoyo dan mengorbankan hal-hal yang lebih bernilai. Orang yang terus mengejar harta duniawi akan menyesal, seperti para konglomerat yang bekerja keras sewaktu muda sehingga mengorbankan kesehatan mereka, sehingga sebagian rusak. Tragisnya, uang yang sudah dikejar dan dikumpulkan setelah tua, ternyata tidak mampu menebus kesehatan yang sudah rusak itu. Demikian pula dengan nilai-nilai yang hilang selama pengejaran yang tak habis habisnya itu, seperti nilai pergaulan, persahabatan, kenikmatan hidup, dan hidup keluarga. Ini pembelajaran mahal bagi kita yang belum terlanjur tiba di sana.
Untuk memperoleh kebahagiaan hidup, eloknya sejak muda hidup sudah dirancang. Keuangan direncanakan sampai kapan pun kita memerlukannya, agar hari tua terjamin tidak kelaparan, karena kita tentu perlu uang. Kita sendiri yang merancang kapan akan berhenti, sehingga hari tua tidak dirongrong oleh masalah tidak punya, atau kekurangan uang.
Namun sering kali terjadi, setelah hari tua itu tiba, hal itu baru terpikirkan. Oleh karena belum siap, maka masih perlu terus mencari uang, terus memikirkan uang ketika seharusnya sudah mengaso. Karena itu catatan bagi yang masih muda, persiapkanlah hari tua dengan baik, karena kita juga perlu punya waktu untuk menua dengan indah, untuk jeda, untuk menikmati indahnya berkat Tuhan yang masih mengirimkan sesuatu buat sisa hidup kita. Kita juga ingin mati dengan indah.
Hanya apabila kita merancangnya sejak muda, kita memperoleh hal yang di luar urusan uang itu setelah mencapai hari tua. Hari tua yang tinggal memetik hasilnya. Dan kita semua tentu ingin hari tua yang mandiri, yang tidak harus menyusahkan anak-cucu, yang masih bermartabat di mata semua orang, merasa merdeka dengan diri sendiri, dan tetap merasa masih hidup, tanpa harus kesepian.
Masalah yang terjadi di mana-mana di dunia, adalah bahwa para senior menghadapi hidup yang kesepian. Maaf, saya bicara tentang mereka yang sudah mapan hidupnya, yang sudah cukup dan tidak perlu cari uang lagi, tinggal di rumah mewah, rumah besar, mansion, tapi terimpit oleh perasaan kesepian. Anak-anak sibuk sendiri mengejar karier, sehingga jarang bisa datang menjenguk. Teman-teman seangkatan sudah entah ke mana, sebagian sudah pergi mendahului. Kerabat juga hanya bertemu saat ada undangan atau melayat, selebihnya punya kesibukan sendiri.
Demikian kondisi rata-rata kaum senior di dunia. Hidup hampa dan kehilangan komunitas. Bersyukur mereka yang masih memiliki komunitas kecil, masih memungkinkan tinggal guyub bersama anak-cucu, tapi tidak semua pasangan senior bisa begitu. Padahal hari tua seharusnya masa yang perlu indah supaya enak saatnya mulai memetik hasilnya. Merasakan buah dari jerih payah, apa yang dikumpulkan bisa dinikmati, hidup menjadi tidak sia-sia, dan masih terasa bermakna.
Meningkatkan Hormon kebahagiaan
Menjadi bahagia itu memang diniati, karena kebahagiaan datang dari dalam. Untuk berbahagia, kita tidak perlu menunggu. Tidak perlu mengetuk pintu dulu, karena kebahagiaan sudah ada di dalam. Bagaimana kita menyikapi hidup, apakah memang kita hendak memetiknya, tergantung pada kita. Kebahagiaan itu begitu sederhana, berbeda pada setiap orang. Orang dari desa merasa bahagia bisa menikmati kota besar. Orang kota merasa bahagia bisa menikmati keindahan desa. Namun bagaimana kebahagiaan memberi kenikmatan, adalah juga karena kebahagiaan adalah soal badaniah, soal fisik kita.
Ada sekurang-kurangnya empat hormon yang bekerja untuk memberi kita rasa bahagia. Hormon inilah bagian dari neurotransmitter di otak kita, dan semua orang memilikinya. Hanya pada orang yang rasa kebahagiaannya tinggi, hormon ini membanjir dalam darahnya. Neurotransmitter kimiawi yang menyalurkan listrik otak pada bagian tertentu untuk memberi kita rasa sejahtera dan nikmat adalah hormon dopamine, oxytocin, serotonin, dan endorphin. Itu sebabnya apabila kita ingin meningkatkan rasa bahagia kita, keempat hormon ini perlu dibuat membanjir dalam darah. Caranya?
Hormon dopamine meninggi dalam darah apabila kita merasa diterima. Betapa hampanya kehidupan hari tua apabila kita merasa sudah tidak berarti, tidak lagi diterima, tidak lagi diwongke kata orang Jawa, diacuhkan. Kita butuh rasa diterima, rasa kita masih hadir dan bermartabat.
Hormon kedua, oxytocin. Hormon ini membanjir apabila kita merasakan kehangatan, merasa dibutuhkan, merasa ada pelukan dan bisa memeluk. Hormon ketiga, serotonin, meningkat apabila ada rasa kenikmatan dalam memberi. Bahwa sikap memberi dan melayani itu membahagiakan. Melakukan sesuatu untuk kepentingan orang lain, selain menurut agama patut dilakukan, secara fisik juga melimpahkan rasa nikmat, bukan saja menjadi berkat. Lalu hormon terakhir adalah hormon endorphin. Hormon ini berlimpah apabila kita banyak tertawa. Bukan sembarang tertawa, melainkan tertawa sampai terbahak-bahak, tertawa lepas, selain rutin bergerak badan apa saja, dan masih rutin melakukan seks.
Beryukurlah apabila pada saat hari tua dan memasuki usia senior, Anda masih menemukan atau merasakan keempat hormon kebahagiaan itu membanjir di tubuh Anda. Itulah harapannya. Hari tua yang indah, nyaman, menyenangkan, dan masih bermakna.
Namun saya membaca dan mendengar, bahwa banyak senior tidak memperoleh semua itu di hari tua mereka. Alih-alih berbahagia, tinggal di rumah mewah, dan serba kecukupan, hidup mereka terimpit kesepian. Di tengah hiruk pikuk kehidupan kota, mereka tetap merasa betapa sepinya hidup ini. Kondisi itulah yang perlu ditinggalkan. Selain bikin hari tua terasa membosankan, hidup pun terasa hambar. Yang bernasib begini butuh komunitas.
Mimpi Pribadi Membangun Dream Home
Sudah semenjak masih aktif bekerja, saya membayangkan hari tua yang seperti itu. Selain saya mencoba merancang kapan saya memutuskan untuk berhenti beraktivitas lalu “menepi” dari semua kegiatan rutin yang membuat saya letih, saya membangun sebuah mimpi hari tua yang indah. Kepingin menua dengan indah. Untuk itu saya memilih tempat berdomisili bukan di kota besar, melainkan di wilayah yang cocok dengan kondisi usia senior, yaitu Bali.
Bali cocok untuk kaum senior karena selain nyaman, indah, aman, juga satu-satunya provinsi yang berjiwa internasional. Namun faktor aman juga lebih dibutuhkan kaum senior.
Bersama teman-teman pensiunan, saya memiliki lahan, sebuah bukit yang sengaja dipilih di Bali utara, dengan pemandangan laut membentang 180 derajat. Di sana dibangun resort dengan fasilitas lengkap bagi kaum senior, berisi 123 cottages. Dengan dibangunnya resort lebih dari 123 keluarga, berarti terbangun sebuah komunitas baru dari kaum seangkatan, dengan level yang lebih kurang sama, dari latar belakang yang berbeda-beda. Bukankah ini surga buat kaum senior yang kalau tetap hidup sendiri terancam kesepian. Di sini tempat untuk tertawa bersama, menari bersama, bernyanyi bersama, dan semua aktivitas harian yang membuat hidup lebih bergairah karena dilakukan bersama-sama.
Resort itu kini mulai dibangun. Teman teman dan saya berharap bisa hidup lebih sehat, lebih bergairah, karena punya komunitas bersama. Berdansa, berkaraoke, bermusik, berdiskusi, berenang, spa, duduk bersama, mengobrol bersama, piknik bersama, semua dilakukan bersama-sama, sehingga menambah suasana semarak hari tua yang menggairahkan, everyday is a holiday.
Dengan demikian diharapkan bahwa hidup ini bukan saja lebih menyehatkan, melainkan juga umur kita Tuhan panjangkan. Saya tahu banyak kaum senior yang punya mimpi begini tapi belum tahu ke mana alamatnya. Saya sedang membangun mimpi itu untuk saya dan teman teman seimpian saya, dan siapa tahu ini juga untuk Anda. Cita-cita kami agar menikmati hari tua yang bahagia. Menua dengan indah.•
|DR HANDRAWAN NADESUL
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.