Hiu Kecil

Hiu Kecil

Belum ada komentar 24 Views

Orang Jepang sejak lama menyukai ikan segar, tetapi tidak banyak ikan yang tersedia di perairan yang berdekatan dengan negeri mereka. Jadi untuk memenuhi kebutuhan ikan, kapal-kapal penangkap ikan bertambah besar dari sebelumnya. Semakin jauh para nelayan pergi, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk membawa hasil tangkapan itu ke daratan. Jika perjalanan pulang mencapai beberapa hari, ikan tersebut tidak segar lagi. Ikan jenis ini kurang diminati orang Jepang, karena mereka tidak menyukai ikan yang tidak segar.

Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan perikanan memasang freezer di kapal mereka. Jika mereka berhasil menangkap ikan, maka mereka langsung membekukannya di laut. Freezer memungkinkan kapal-kapal nelayan untuk pergi semakin jauh dan lama. Namun, orang Jepang dapat merasakan perbedaan rasa antara ikan segar dan beku, dan mereka tidak menyukai ikan beku. Ikan beku harganya lebih murah dibandingkan ikan segar, sehingga kemudian perusahaan perikanan memasang tangki-tangki penyimpan ikan di kapal mereka. Para nelayan akan menangkap ikan dan langsung menjejalkannya ke dalam tangki hingga berdempet-dempetan. Setelah selama beberapa saat saling bertabrakan, ikan-ikan tersebut berhenti bergerak. Mereka kelelahan dan lemas, walau tetap hidup. Walaupun masih hidup, karena ikan ini tidak bergerak selama berhari-hari, mereka kehilangan rasa ikan segarnya. Orang Jepang menghendaki rasa ikan segar yang lincah, bukan ikan yang lemas.

Bagaimana perusahaan perikanan Jepang mengatasi masalah ini? Bagaimana mereka membawa ikan segar yang lincah ke Jepang?

Untuk menjaga agar ikan tersebut tetap segar, mereka tetap menyimpan ikan di dalam tangki. Tetapi kini mereka memasukkan seekor ikan hiu kecil ke dalam masing-masing tangki. Untuk menghindari serangan hiu kecil, ikan-ikan ini terus bergerak dengan lincahnya. Memang hiu kecil itu berhasil memakan ikan, tetapi dalam jumlah kecil, sedangkan sebagian besar ikan sampai ke daratan dalam kondisi hidup dan sangat segar.

Demikian juga kita. Tak pelak lagi, sebagai manusia kita akan selalu berhadapan dengan berbagai penderitaan dan kesulitan hidup (saya lebih suka menyebutnya tantangan). Hadapilah tantangan itu, kerahkanlah semua daya upaya yang kita miliki. Setelah semua daya kita kerahkan, setelah segenap tenaga dan pikiran kita keluarkan, setelah peluh terakhir menetes, hasilnya kita serahkan kepada kehendak Tuhan, karena Dia tahu apa yang terbaik bagi kita.

Kejaran tantangan ‘hiu-hiu kecil’ yang terus mengancam membuat kita terus berinisiatif untuk bertahan. Jika tantangan hidup berkurang, maka kita akan hidup santai di dalam ‘zona nyaman’ kita, dan membuat hidup kita kurang bergairah. Seperti masalah ikan di Jepang tadi, solusi yang terbaik sebetulnya sederhana. Hal ini diamati oleh L. Ron Hubbard di awal 1950-an. “Orang berkembang, anehnya, hanya dalam kondisi lingkungan yang menantang.”
Oleh karena itu Rasul Paulus menasihati jemaat di Roma: “Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan” (Roma 5:3-5a).

Jangan menghindari tantangan, tapi melompatlah ke dalamnya dan taklukkanlah. Nikmatilah permainannya. Jika tantangan Anda terlalu besar atau terlalu banyak, jangan menyerah. Kegagalan jangan membuat Anda lelah, sebaliknya, atur kembali strategi. Temukanlah lebih banyak keteguhan, pengetahuan, dan bantuan. Jika Anda telah mencapai tujuan Anda, rencanakanlah tujuan yang lebih besar lagi. Begitu kebutuhan pribadi atau keluarga Anda terpenuhi, berpindahlah ke tujuan untuk kelompok Anda, masyarakat, bahkan umat manusia. Jangan ciptakan kesuksesan dan tidur di dalamnya. Anda memiliki sumber daya, keahlian, dan kemampuan untuk membuat perubahan.

Jadi, masukkanlah seekor ikan hiu di tangki Anda dan lihat seberapa jauh yang dapat Anda lakukan dan capai!

Selamat menghadapi tantangan!

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...