Dosa, Celaka, Dan Pertobatan

sebuah upaya meluruskan pemahaaman penyebab datangnya hukuman & murka Allah

Belum ada komentar 155 Views

Membangun Terowongan Air

Pada masa pemerintahannya sebagai prefek (gubernur) atau wakil pemerintahan Romawi untuk wilayah Yudea, Pontius Pilatus menghadapi masalah pelik, yakni perihal pasokan air untuk Yerusalem yang dirasa kurang atau butuh penambahan. Karena itu ia membangun terowongan/saluran air (aquaduct) sepanjang 39 km dari kolam-kolam penampung di Al-Arroub (Arrub), di sebelah selatan, untuk menambah suplai air di kolam-kolam Salomo. Tindakan dan keputusan ini sangat benar dan tepat secara strategis dan menajemen pengelolaan sumber daya air, penampungan dan akhirnya kemampuan penyediaan bagi kebutuhan Yerusalem, terutama untuk Bait Suci.

Sebagai Wali Negeri, Pontius Pilatus berwenang menentukan mati hidup seseorang di wilayah kekuasannya, mengubah keputusan yang telah diambil oleh Sanhedrin, mengangkat para imam besar, serta mengawasi segala aktivitas di Bait Suci dan penggunaan dananya. Atas kewenangannya itu ia menetapkan bahwa pendanaan pembuatan aquaduct diambil dari dana perbendaharaan Bait Suci yang berasal dari pajak dan persembahan umat. Keputusan ini dianggap tidak pada tempatnya, sehingga proyek strategis dengan manajemen air yang benar dan tepat tadi jadi dibenci keberadaannya.

Kecelakaan dalam Pembangunan

Pendanaan yang menggunakan perbendaharaan Bait Suci ini menimbulkan protes dan kemarahan orang-orang Yahudi. Pada suatu hari raya agama Yahudi, ribuan orang Yahudi berdemonstrasi menentang Pilatus ketika ia muncul di Yerusalem. Namun Pilatus—yang agaknya telah mencium dan memperkirakan aksi ini—telah mengirim tentara elitnya secara rahasia ke tengah mereka untuk menertibkannya.

Para tentara itu mengenakan pakaian sipil dan jubah panjang yang menutupi pakaian perangnya. Mereka telah diperintahkan untuk tidak menggunakan senjata tajam (pedang atau tombak) dalam memberi pelajaran kepada orang-orang Yahudi itu, melainkan gada saja. Namun sepertinya tentara-tentara elit itu telah bertindak berlebihan, sehingga selain memukuli kerumunan yang sedang menyembelih korban-korban bakaran itu, mereka juga menggunakan pedang untuk menghantam mereka; akibatnya banyak orang Yahudi terbunuh.

Dugaan secara umum adalah bahwa demonstrasi ini dikobarkan oleh orang-orang Galilea (Lukas 13:1, 2), yang secara mudah terlibat dalam kekacauan politik. Selain mereka mudah naik darah, mereka memang paling getol melakukan perlawanan secara fisik kepada penjajahan Romawi. Dan peristiwa itu terjadi ketika orang-orang Galilea itu sedang mempersiapkan korban bakaran di Bait Allah yang kemudian dibantai oleh tentara suruhan Pilatus, sehingga darah mereka tertumpah dan bercampur dengan darah binatang yang akan dikorbankan kepada Tuhan. Itu sebabnya orang-orang yang menyesalkan kejadian itu mengisahkan bahwa “Pilatus mencampur darah mereka dengan darah korban.”

Dosa: Persepsi Orang Yahudi

Orang Yahudi kerap mengaitkan penderitaan seseorang dengan dosa dosa yang dilakukannya. Secara umum orang beranggapan bahwa sakit penyakit yang diderita seseorang atau kemalangan yang menimpanya adalah akibat dari dosa yang mendatangkan hukuman dan kutukan Tuhan atasnya. Orang-orang yang terkena penyakit, musibah, kemalangan, serta hal-hal yang dianggap sebagai suatu celaka senantiasa dikaitkan dengan anggapan bahwa mereka berdosa, sehingga sikap dan respons umum dalam menghadapi mereka adalah dengan meminta mereka bertobat. Ingat kisah Ayub yang dituduh Elihu dalam penderitaan yang menimpanya (Ayub 35:6), peristiwa orang yang buta sejak lahir (Yoh 9:2), dan kejadian Paulus digigit ular setelah selamat dari badai ganas yang membuatnya dibuang ke laut dari kapal (Kisah para Rasul 28:4). Mereka semua dikatakan telah/memiliki dosa sehingga tertimpa kemalangan kemalangan seperti itu.

Tanggapan Yesus

Inilah latar belakang kabar duka yang disampaikan kepada Yesus bahwa ada sejumlah orang Galilea yang berziarah ke Bait Allah di Yerusalem, tetapi dibunuh oleh Pilatus lalu darah mereka dicampur dengan darah korban persembahan. Yesus tahu dalam keprihatinan yang disampaikan kepada-Nya, bahwa anggapan tersebut telah dikuasai asumsi bahwa kemalangan dahsyat yang mencelakakan orang-orang itu tentulah karena dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Dan besar kemungkinan para penanya itu ingin meminta penjelasan kepada Yesus kira-kira dosa-dosa apa yang telah diperbuat orang-orang tersebut sehingga mereka harus mengalami bencana dahsyat yang amat mengerikan itu.

Namun Yesus—yang tidak pernah setuju dengan anggapan dan pandangan itu—menentangnya. Ia mengatakan bahwa anggapan itu—yang sering diikuti dengan pengucilan seseorang dari komunitas dan kehidupan sosialnya—sama artinya dengan menghilangkan hak kemanusiaan seseorang, pembunuhan karakter. Yesus ingin memperbaiki anggapan dan tindakan salah dalam merespons sisi kelabu kehidupan ini. Karena itu Ia menegaskan bahwa orang-orang Galilea yang bernasib malang itu tidak lebih berdosa daripada orang-orang Galilea lainnya. Bahkan Ia mengatakan bahwa jika para penanya yang datang kepada-Nya itu—yang pasti juga penuh dengan dosa—tidak bertobat dari dosa dan kesalahan-kesalahan mereka, mereka juga bisa mengalami kematian yang bahkan lebih tragis dari orang-orang yang terbunuh tadi.

Kebiasaan untuk bersikap entitled, merasa lebih (bahkan paling) benar ketimbang orang lain, memang sering meninabobokan orang dari kesalahan, dosa dan ketidak-kudusan dirinya sendiri. Di hadapan Yesus, semua ditelanjangi, disingkapkan hingga sampai sudut tergelapnya, sehingga mereka memperoleh pengertian melalui cara yang keras dan kadang kadang mengganggu nurani: cara Yesus. Yesus mengingatkan agar jangan merasa sok suci dengan memandang diri sendiri lebih baik daripada orang lain lalu mencibir kemalangan yang menimpanya. Karena itu Ia mengatakan bahwa mereka juga bisa mengalami kemalangan dalam bentuk yang lain jika mereka tidak bertobat dari dosa-dosa mereka.

Dosa karena merasa tidak berdosa justru lebih besar tanggungannya daripada mereka yang dituduh ber dosa, karena yang merasa tidak ber dosa tidak merasa memerlukan per tobatan. Yesus mengingatkan mereka untuk bertobat dari dosa-dosa itu.

Yesus memberi contoh lagi bahwa delapan belas orang yang tertimpa menara di kolam Siloam itu juga tidak lebih berdosa daripada semua orang yang tinggal di Yerusalem dan yang kondisinya baik-baik saja. Kecelakaan yang menimpa mereka tidak bisa langsung dihubungkan sebagai akibat dosa mereka, sehingga mereka harus mendapatkan azab dari Allah dengan cara demikian. Kecelakaan— selain bisa disebabkan oleh suatu kesengajaan yang dirancang manusia (entah melalui sebuah kecurangan atau pun niat jahat tertentu)—juga bisa terjadi begitu saja, dan menimpa siapa saja.

Pemahaman atas Dosa

Apa sih definisi dosa yang dibahas oleh orang-orang itu? Adakah mereka punya pengertian lain tentang dosa kecuali bahwa berdosa adalah melanggar Perintah Allah (mitzvot)? Orang Yahudi merinci 10 Perintah Allah (The Ten Commandments) menjadi 613 mitzvot yang terdiri atas 365 ‘perintah positif’, yakni perintah yang harus dilakukan (mitzvot aseh), dan 248 ‘perintah negatif’, yakni perintah yang dilarang dilakukan (mitzvot lo taaseh). Mereka hanya berusaha keras dan mati-matian menjalankan mitzvot aseh secara detail dan teliti, dan benar-benar menjauhi atau menjaga agar tidak melakukan mitzvot lo taaseh. Namun kepekaan mereka sering kali tidak terasah dalam memahami hubungan-hubungan filosofis yang lebih penting maknanya daripada sekadar ketepatan menjalankan hukum-hukum tadi. Mereka merasa bahwa kehidupan mereka baik-baik saja bila ukurannya adalah ketaatan terhadap mitzvot tadi. Mereka sering tidak paham bahwa ada tuntutan moral dan tanggungjawab yang lebih besar bila diperhadapkan pada kehidupan relasi dengan sesama, maupun relasi dengan Allah.

Perumpamaan Pohon Ara

Untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam kepada mereka tentang apa itu berdosa dan siapa yang dikatakan berdosa, Yesus kemudian menceritakan perumpamaan tentang pohon ara yang hidup di kebun anggur tetapi tidak menghasilkan buah. Tuannya—yang telah menunggu buahnya selama 3 tahun—merasa pun dihasilkannya, sehingga ia memerintahkan pegawainya untuk menebang pohon ara yang tidak berguna itu.

Pohon ara seharusnya tidak terlalu memerlukan tanah terbaik yang terolah sempurna dan diberi pupuk melimpah, seperti kebun anggur, karena ia bisa mengatasi kondisi tanah yang kurang baik bagi kecewa karena tak satu buah pertumbuhannya. Ia tidak memerlukan perawatan khusus dan sudah bisa menghasilkan buah sejak berusia 6 bulan. Seiring dengan pertambahan usianya, ia akan menghasilkan lebih banyak buah sepanjang tahunnya.

Keistimewaan yang Sia-sia

Bagaiman tuannya tidak kecewa? Pohon ara yang sudah ditaruh di tanah terbaik untuk tumbuh, ternyata—meskipun sudah 3 tahun usianya— tidak menghasilkan satu buah pun, sehingga sepatutnyalah ia ditebang. Ia sudah mendapatkan rahmat serta pemeliharaan terbaik dari Tuhan, tetapi malah tidak ‘berbuah’. Ia tidak menghasilkan karya yang memberi manfaat bagi sesama dan memuliakan Tuhan. Ketika dalam kondisi biasa saja sebatang pohon ara bisa menghasilkan buah yang baik, tetapi pohon ara ini dalam segala keistimewaan yang diperolehnya tidak menghasilkan buah sama sekali. Sungguh sebuah keistimewan yang sia-sia, lebih tepatnya disia-siakan. Jadi sangat bisa dipahami dan amat pantas bila ia dipangkas dan ditiadakan. Demikian juga dengan orang-orang Yahudi itu. Jika dalam kondisi biasa, orang-orang yang tidak mengenal Allah mampu berbuat baik dan menghasilkan kebaikan, tetapi mereka sebagai bangsa pilihan yang diistimewakan Allah justru tidak membawa kebaikan apa pun, bahkan hidup dalam dosa karena menganggap diri lebih daripada yang lain. Menyombongkan diri di hadapan Allah. Merasa diri paling suci dan tidak membutuhkan pertobatan.

Dosa = Hanya Mengambil

Melalui perumpamaan itu Yesus mengingatkan kita semua bahwa seseorang tidak saja bisa mengambil keuntungan atau kebaikan dari kehidupan, tetapi juga harus menghasilkan (berkontribusi) kebaikan bagi kehidupan ini. Tidak ada satu pun dalam kehidupan ini yang akan bertahan bila hanya mengisap/ mengambil daya hidup. Pohon ara yang terus mengisap daya hidup dari tanah yang baik, tetapi tidak menghasilkan buah—hanya mengambil tetapi tidak memberi—tidaklah berguna. Dan semua yang tidak berguna pantas dibuang, bukan?

Itulah dosa yang sejati, menurut Yesus. Dosa berarti mengambil (lebih) banyak keuntungan, tetapi memberi jauh lebih sedikit daripadanya, atau bahkan tidak membagikan apa-apa kepada kehidupan. Dosa karena tidak berguna akan membawa malapetaka. Seluruh proses evolusi di dunia ini adalah untuk menghasilkan hal hal yang bermanfaat, dan apa yang berguna akan terus berlangsung dan menghasilkan kekuatan-kekuatan lain yang lebih besar, sedangkan yang tidak bermanfaat akan dibinasakan. Pertanyaan yang sangat menggelitik dalam hubungan ini adalah: “Apa manfaat Anda hidup di dunia ini??”

‘Kesempatan Kedua’

Para pegawainya memohon kepada Tuan itu untuk diberi kesempatan sekali lagi merawat dan mengupayakan pemenuhan kebutuhan yang lebih baik, supaya pohon ara itu mau berbuah. Namun jika ternyata tahun depan ia masih tidak berbuah, maka mereka sepakat dengan Tuan itu untuk menebangnya.

Allah yang penuh kasih adalah Allah yang senantiasa menyediakan ‘kesempatan kedua’ bagi umat-Nya untuk memperbaiki diri. Meskipun pada kenyataannya ‘kesempatan kedua’ sering kali berulang—dan bukan sekali—dimohonkan oleh umat-Nya. Belajar dari sejarah umat Israel, berapa kali mereka telah menerima ‘kesempatan kedua’ dari Tuhan? Seburuk apa pun kondisi yang dihadapi, dilakukan, dan dialami oleh umat-Nya dalam berelasi dengan-Nya, hampir selalu ada ‘kesempatan kedua’ yang diberikan Allah.

‘Kesempatan Terakhir’?

Meskipun senantiasa ada kesempatan untuk bertobat dari sisi manusia, tetapi pertobatan bukanlah barang murahan yang bisa dibuat seenaknya dengan anggapan toh besok bisa diulang lagi. Apabila kita terus menerus menolak kesempatan yang diberikan Allah, maka akan tiba saatnya kesempatan itu hilang. Bukan Tuhan yang menutupnya, melainkan kita sendiri. Kesempatan yang Allah berikan sebenarnya adalah upaya-Nya untuk menolong kita dari keadaan seperti itu. Jika setelah ‘tiga tahun’ tidak menghasilkan buah dan telah diberi ‘kesempatan kedua’ —tetapi tidak kunjung berbuah juga— maka bisa jadi itu merupakan ‘kesempatan terakhir’ yang pernah didapatnya. Pertanyaan refleksi: “Bagaimana dengan pertobatan-pertobatan kita? Akankah membuat kita diampuni atau malah dibuang??”

|Sujarwo

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Bible Talks
  • Pelayanan yang Panjang
    Kisah Para Rasul 19:1-41
    Kisah Para Rasul merupakan buku kedua yang dituliskan oleh Lukas kepada Teofilus, dengan tujuan mencatat apa yang dilakukan oleh...
  • KASIH PERSAHABATAN
    Kasih adalah salah satu tema terpenling di da/am kekristenan. Di dalam 1 Korinlus 13:13, Paulus menegaskan bahwa dari seluruh...
  • WHAT WENT WRONG?
    Yosua 7-8
    Seandainya Anda mengalami kegagalan, akankah Anda berdiam diri dan bertanya, “Apa yang salah?” Setelah kemenangan di Yerikho dengan sangat...
  • Menghidupkan Semangat Dan Hati
    Yesaya 57:15
    Seseorang gadis berusia 18 tahun dan berpenampilan menarik berjalan masuk ke dalam ruang konseling. Dia sering menjuarai berbagai kompetisi...