pola

Beda Pola

Belum ada komentar 26 Views

Belum lama ini seorang kawan tiba-tiba mengirimkan sandek (pesan pendek alias sms) berikut:

“Aku kemarin ulang tahun, tapi sudah dua hari ini aku tak berhenti menangis. Aku kecewa berat karena belasan tahun menikah suamiku tidak pernah memberiku sebuah gaun atau kado apa pun. Sehari sebelum ultah, ia ke Gramedia, dan diam-diam aku berharap ia membelikan apalah sebagai kado. Pagi hari ia tak memberikan apa-apa. Sore sepulang dari kantor, aku melihat ia membawa tas plastik, dan aku berharap ia membelikanku sebungkus mie goreng. Ternyata isinya jas hujan. Aku sedih sekali. Aku punya penghasilan puluhan sampai ratusan juta tiap bulannya, dan aku memiliki harta benda yang cukup melimpah dalam jumlah yang miliaran. Tapi bertahun-tahun aku menanti-nanti kalau-kalau suatu sore suamiku memberikan aku uang, meski hanya satu juta rupiah. Aku akan sangat berterima kasih. Tapi itu masih menjadi harapan semata. Aku berharap, setelah bisa cerita pada seseorang seperti ini, aku bisa berhenti menangis. Sorry merepotkan kamu ya.”

Dalam kesempatan berikutnya ia menjelaskan,

“Aku memang dibesarkan dalam keluarga yang hangat. Minimal selalu ada kado di waktu Natal, ulang tahun, dan naik kelas. Setelah menikah, dari suamiku aku tidak belum pernah menerima kado. Dan waktu hal ini aku bicarakan, dia selalu bilang bahwa ia tak punya budaya merayakan ulang tahun di keluarganya. Bahkan dia juga bilang apakah nilai diriku seharga barang yang dikadokan tersebut? Aku balik tanya, apa artinya cinta tanpa pernah memberikan apa-apa? Ia cuma diam. Yang tidak masuk akal, aku terus saja menunggu suatu saat suamiku memberikan sesuatu untuk aku, meski pun nilainya kecil. Dan aku sendiri ingin menjadi kado bagi suamiku. Aku ingin mendengar ia mengucapkan terima kasih karena aku sudah menjadi tulang punggung keluarga. Aku sudah menanggung semuanya, tetapi aku merasa tidak mendapatkan penghargaan. Sementara suamiku sering merasa terganggu dan terusik dengan hal-hal yang kuharapkan. Jadi, aku berserah pada Tuhan sajalah.”

Sebagai sebuah sandek, pesan yang bermunculan di layar ponsel saya itu jelas sudah tidak pendek lagi. Namun bukan hanya pesannya yang tidak pendek. Isi pesan itu juga mencoba meringkas kisah yang sesungguhnya cukup panjang, yang terjalin dalam hitungan puluhan dan mungkin juga ratusan tahun, bergantung pada seberapa jauh kita ingin mempelajarinya. Ia bertutur tentang perbedaan pola asuh yang dialami dua anak manusia dalam dua keluarga yang berbeda. Dua anak manusia ini juga mengarungi kehidupan yang berbeda selama sekian puluh tahun, sampai kemudian mereka disatukan dalam pernikahan.

Perbedaan pola asuh, pengalaman, dan proses pembelajaran kedua anak manusia itu kemudian menimbulkan masalah dalam kehidupan keluarga karena mereka telah memiliki pola pikirnya masing-masing. Perbedaan pola pikir ini dapat diibaratkan seperti perbedaan bahasa ibu. Yang satu dibesarkan dengan menggunakan bahasa Jerman, sementara yang satunya lagi hanya mengerti bahasa Jawa. Dengan demikian ada masalah serius dalam setiap proses komunikasi di antara keduanya. Inilah konsekuensi dari perbedaan yang besar dalam soal pola pikir.

Pola pikir ini kemudian menentukan apa yang oleh Gary Chapman disebut sebagai bahasa kasih (love language), yakni cara seseorang mengungkapkan cinta kasihnya. Sama persis seperti perbedaan bahasa pada umumnya-misalnya bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Inggris, atau dengan bahasa India, atau bahasa Italia, atau bahasa Arab-demikianlah orang dengan bahasa kasih yang berbeda akan mengalami kesulitan besar untuk saling memahami. Ada keharusan belajar secara berdisiplin agar pihak yang satu mampu memahami bahasa kasih pihak yang lain dan sebaliknya. Kegagalan dalam soal yang satu ini dapat berakibat hancurnya mahligai rumah tangga yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Sebaliknya, keberhasilan dalam soal yang satu ini dapat memulihkan hubungan keluarga secara ajaib dan melampaui akal sehat.

Menurut Chapman, di dunia ini ada lima bahasa kasih. Kata-kata pendukung (words of encouragement), hadiah-hadiah (receiving gifts), sentuhan fisik (physical touch), tindak pelayanan (acts of service), dan waktu berkualitas (quality time). Masing-masing bahasa kasih itu berbeda satu sama lain, sama seperti perb1edaan antara bahasa Indonesia, Inggris, India, Italia, dan Arab. Tata bahasa, susunan kalimat, kosa kata, dan cara membacanya berbeda-beda, sehingga mereka yang berbahasa Indonesia harus belajar dulu agar bisa berbahasa India atau Arab. Begitu juga sebaliknya, mereka yang pandai berbahasa Inggris perlu belajar dulu agar mampu berbahasa Indonesia. Perbedaan bahasa ini merupakan salah satu wujud konkret dari perbedaan pola pikir, sebab pola pikir selalu terkait dengan kebudayaan yang membentuk pola pikir suatu kelompok masyarakat tertentu.

Dalam kasus kawan saya itu, bahasa kasihnya adalah apa yang disebut Chapman hadiah-hadiah. Ia memahami bahwa cinta kasih itu identik dengan pemberian hadiah. Ia tidak mampu memahami ada bentuk lain dari ungkapan cinta, seperti katakanlah sentuhan fisik atau tindak pelayanan. Baginya nilai sebuah hadiah bukanlah pada hadiah itu sendiri (nilai intrinsik), melainkan bahwa hadiah itu merupakan pertanda adanya cinta kasih yang sesungguhnya. Ia mungkin akan sangat senang mengutip ungkapan bijak seperti ini: orang bisa memberi (hadiah) tanpa cinta, tetapi orang tidak mungkin mencintai tanpa pernah memberi (hadiah). Ia memiliki argumentasi yang sahih untuk mendukung bahasa kasihnya yang utama. Itulah bahasa ibunya, bahasa yang mendominasi hidupnya.

Sementara amat boleh jadi-meski saya tidak tahu pasti-bahwa pasangan hidupnya memiliki bahasa kasih yang berbeda. Perbedaan bahasa kasih ini-sebagai wujud konkret perbedaan pola pikir-membuat proses komunikasi tidak berjalan dengan baik. Ada banyak kesalahpahaman yang menggiring emosi ke arah rasa kecewa dan bahkan frustasi.

Bayangkan saja jika pasangan kawan saya tadi memiliki bahasa kasih tindak pelayanan. Yang ia harapkan bukanlah istri yang superhero, melainkan istri yang ada di rumah dan siap melayani kebutuhan suami saat pulang ke rumah. Yang ia dambakan adalah istri yang memasak untuknya, menyiapkan pakaian kerja, dan melakukan hal-hal remeh temeh lainnya. Yang ia pahami, seorang istri seharusnya demikian. Itulah bahasa kasih yang dipahaminya. Dan ini sama sekali bukan soal feodal atau salah-benar. Ini soal pola pikir dalam konteks cinta kasih. Bukankah ia sendiri juga frustasi dengan tuntutan istrinya yang “aneh-aneh” itu?

Jadi, bagaimana solusinya? Saya tidak dalam kapasitas memberikan jawaban sebagai konselor perkawinan. Saya memberikan respons dalam kapasitas sebagai seorang kawan yang berempati. Karena itu saya menyarankannya untuk mengambil waktu mempelajari bahasa kasihnya dan bahasa kasih suaminya. Saya juga mengirimkan buku Gary Chapman untuk mereka berdua. Kalau dibaca bersama-sama, saya harapkan sedikit membantu memperbaiki hubungan cinta mereka.

Pola pikir. Pikiran mempunya pola. Dan pola itu ternyata amat dipengaruhi oleh pola asuh tiap anak manusia. Pola itu terkait dengan proses pemrograman-baca: pengajaran, pelatihan, pendidikan, contoh-contoh-yang dilakukan oleh orang tua, pengajar sekolah, pengajar agama, dan lingkungan hidup di masa kanak-kanak. Lalu program-program awal itu menjadi pengalaman, menjadi bahan refensi utama, menjadi semacam database dalam memori seseorang, menjadi rujukan ketika ia kelak menghadapi soal-soal kehidupan di usia remaja dan dewasa. Dan karena setiap anak manusia memiliki potensi unik dan pengalaman hidup yang berbeda-beda, maka terciptalah perbedaan pola pikir.

Pola pikir. Pikiran mempunyai pola. Dan pola itu bisa berbeda-beda. Sungguh luar biasa!

Andrias Harefa, Penulis 30 Buku Laris dan fasilitator www.pembelajar.com

 

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Edukasi
  • THE ART OF LISTENING
    Menjadi pendengar yang baik? Ah, semua juga bisa! Tapi apakah sekadar mendengar bisa disamakan dengan menjadi pendengar yang baik?...
  • To infinity and beyond!
    Saya salah satu penggemar petualangan seru dan epik dari Buzz Lightyear dan Woody, sahabatnya (Film: Toy Story 1995). Buzz...
  • Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Selamat pagi, siang, sore, dan malam. Menjalani setiap hari dengan rutinitas yang sama, sampai tiba saatnya Natal dan Tahun...
  • WOMEN ON FIRE
    Perempuan Warga Kelas Dua Sepertinya dari dulu perempuan cenderung ditempatkan sebagai warga kelas dua dalam status sosial. Hal ini...
  • Doketisme
    Doketisme
    doktrin keilahian yang kebablasan
    Fanatisme Spiritualitas Fanatisme sebuah spiritualitas yang secara berlebihan menekankan hal-hal tertentu dan kurang menganggap penting hal-hal lain, sering kali...