sorry

Apakah “Sorry” Harus Segera Disampaikan?

1 Komentar 108 Views

Setelah bertemu dengan seorang ahli penyakit kejiwaan (mental illness), saya dan anak saya berdiskusi di rumah:

Mom : De, apa yang kamu pelajari dari ngobrol-ngobrol tadi?

De : Tidak semua depresi atau stres bisa dibereskan dengan mengampuni.

Mom : Hmm… kalau begitu apa dong yang bisa menolong?

De : Pergi ke ahlinya, psikolog, makan obat, cerita ke orang, atau masuk dalam komunitas terapi.

Buku “Don’t Forgive Too Soon” juga mengingatkan saya bahwa mengasihi dan mengampuni bukanlah satu-satunya solusi—atau solusi pertama—yang diperlukan saat seseorang mengalami kesulitan, masalah, atau bahkan trauma dalam perjalanan hidupnya. Apalagi kalau dampak dari luka yang dideritanya masih ada, darah masih mengalir, sakit masih terasa, bahkan tulang yang remuk pun belum tuntas diobati.

Konflik bukanlah hal mudah untuk diselesaikan. Namun sering kali orangtua lupa akan hal ini. Saya sering melihat dan mendengar anak-anak bertengkar. Entah mereka bertengkar dengan saudara kandungnya, dengan orangtua, dengan sahabat, atau dengan teman bermain mereka. Langsung seseorang yang lebih tua atau lebih kuat mengatakan, “Ayo minta maaf!” Dan karena kuasa yang menekan itu, anak yang dianggap menjadi pelakunya mau tidak mau harus minta maaf.

Percakapan seorang ibu dengan anak dan keponakannya masih terngiang dalam benak saya. “Kamu berdua kan sudah seperti saudara kandung. Kalian harus saling menjaga. Ayo, Kakak minta maaf kepada Adik! Adik juga minta maaf kepada Kakak!” Dan karena mereka tidak diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat, maka saya kira dengan terpaksa mereka menjulurkan tangan sambil berkata, “maaf!” atau “sorry!”

Padahal, mari kita ingat-ingat masa ketika seseorang menyakiti kita tanpa diketahui orang lain. Lalu karena emosional, kita mengatakan atau melakukan sesuatu sebagai tindakan balasan. Tentu saja “injakan” yang diberikan karena rasa sakit yang diderita, membuat pelaku—yang akhirnya tampak sebagai korban—berteriak kesakitan. Siapa yang salah dalam hal ini? Kalau bertanya kepada orangtua yang tidak mau tahu atas apa yang terjadi, orang yang berteriak dianggap sebagai korban, sedangkan yang diam saja dianggap sebagai pelaku kejahatan.

Akibat dari teriakan itu, orangtua cenderung meminta si penginjak untuk meminta maaf. Tanpa mereka sadari bahwa sesungguhnya, si penginjak itulah korban yang berusaha membela diri akibat ketidakadilan yang dialaminya.

Jika Saudara setuju bahwa ketidakadilan seperti ini sering terjadi dalam keseharian kita, bukankah anak-anak kita juga sedang berjuang menghadapinya tanpa tahu apa yang harus mereka lakukan tanpa bimbingan kita sebagai orangtua mereka?

Sakit Dan Menyakiti Adalah Latihan Bersikap

Tidak semua anak mahir atau bijak mengambil keputusan dan menunjukkan respons yang bijak saat ia mengalami kekerasan dari teman atau orang yang lebih tua. Ada yang menangis, ada yang membalas sakit hatinya dengan kekerasan yang lebih menyakitkan lagi, ada yang mundur dan menyendiri, atau ada pula yang mengadu pada pihak yang dianggapnya lebih berkuasa atau lebih kuat.

Sesungguhnya sikap yang beragam seperti di atas adalah latihan spontan yang dilakukan anak-anak kita, sama seperti yang kita alami dalam keseharian kita. Mereka berlatih dari respons masyarakat terhadap reaksi spontan mereka. Misalnya, saat saya menangis keras-keras, orang dewasa akan datang dan pelaku mendapat ganjaran. Atau, jika saya diam saja, maka saya berharap pelaku akan mundur dan diam saja. Atau jika saya mengadu, saya berharap pelaku tidak lagi berani melakukannya karena ia tahu bahwa saya memiliki kekuatan dan kuasa yang lebih besar darinya.

Dalam keadaan seperti ini, respons orang dewasa sesungguhnya juga melatih anak untuk membenarkan tindakannya. Misalnya, setelah seorang kakak mencubit adiknya yang mengambil mainannya, Mama datang dan memarahinya. Setelah itu Mama menghukummya. Namun jika si kakak mengatakan “sorry”, maka semua akan berakhir dengan manis.

Pertanyaannya, jika hal itu terjadi, apakah kita akan tetap meminta (baca: memaksa) si kakak untuk mengatakan “sorry” kepada adiknya? Sebaliknya, bagaimana jika orangtua mencubit si kakak, saat susu di gelas yang sangat berat ditumpahkannya, padahal kemampuan motorik halusnya belum sebaik anak-anak lainnya? Tidakkah cubitan itu membuatnya merasa diperlakukan tidak adil? Siapa dalam hal ini yang kurang bijak: Mama, yang menyediakan susu di gelas yang tidak sanggup dipegang si kakak, atau si kakak, yang dinilai ceroboh sepanjang hidupnya? Saat si kakak menghadapi peristiwa ini, dan adiknya melakukan hal sama, tidakkah ia juga akan mencubit adiknya karena meniru apa yang dilakukan orangtua kepadanya?

Kuncinya Adalah Latihan Mengenal Anak

Jika kita setuju bahwa masa kanak-kanak adalah saat di mana berbagai latihan dimulai, kita akan melihat bahwa konflik dan kesalahan yang anak lakukan adalah latihan dari Tuhan agar kita—sebagai orangtua—bisa menanggapinya dengan bijak. Beberapa hal yang dapat kita pelajari dari anak-anak kita saat mereka mengalami konflik:

Konflik Anak Refleksi Orangtua
Ia melakukan kesalahan yang sudah sering diberitahu sebelumnya. Dan orangtua menyuruhnya mengatakan “sorry” kepada orangtua. Apakah motorik kasarnya lebih baik dari motorik halusnya, sehingga ia tidak semahir anak-anak yang motorik halusnya berfungsi dengan baik? Jika ya, sampai tua pun ia akan lebih mahir melakukan tugas yang berkaitan dengan motorik kasarnya (seperti mengangkat benda berat, menggeser kursi, melempar bola besar).
Ia bertengkar memperebutkan sesuatu dengan saudara kandung atau temannya. Dan ia segera diminta untuk mengatakan “sorry” kepada saudara kandung atau temannya itu. Apakah ia sudah merasa puas dengan apa yang dimilikinya? Jika belum, tentu ia perlu mendapatkan perhatian lebih dari orangtua.
Ia tidak mau melakukan tindakan seperti yang diperintahkan orangtua. Maka orangtua memintanya segera mengatakan “sorry”. Apakah ia tipe anak kreatif yang memiliki cara dan waktu sendiri dalam mengerjakan sebuah pekerjaan?
Seseorang membuatnya terluka dan ia segera minta maaf. Orangtua meminta anak memaafkan dengan menyodorkan tangannya tanpa memberi maaf kepada pelaku. Apakah ia perlu waktu untuk merasakan dan menerima sakitnya itu? Apakah ia juga perlu waktu untuk menerima bahwa orang yang seharusnya dipercayai, ternyata menyakitinya?
Sebuah pengalaman pahit dialami anak dan ia tidak mau diajak berdoa. Orangtua segera minta agar ia minta maaf kepada Tuhan. Apakah ia sedang bergumul bahwa Tuhan yang katanya baik ternyata tidak adil kepadanya? Apakah ia perlu waktu untuk mengalami kebaikan Tuhan lainnya setelah peristiwa yang menyakitkan ini?

Dalam segala konflik yang terjadi pada anak, sesungguhnya ada alasan mengapa ia melakukan hal tersebut. Namun demikian, tentu tidak semua anak dapat mengatakan apa yang mereka pikirkan, atau bahkan alasan mengapa mereka melakukan tindakan tertentu. Itu sebabnya—sebagai orangtua—kita perlu menemukan—bahkan terkadang menebak, walaupun belum tentu benar—apa yang anak pikirkan sebelum kita menyuruhnya meminta maaf atau menerima maaf dari orang lain.

Justru di saat konflik itulah kita mendapat kesempatan untuk mengenal anak lebih dekat lagi. Respons dan pikiran orangtua belum tentu sama dengan respons dan pikiran anak. Kekayaan respons dan pikiran itu dapat menjadi cara agar orangtua memahami perbedaan anak dengan dirinya atau perbedaan anak yang satu dengan anak yang lainnya.

Jika Bukan Mengatakan “Sorry”, Apa Yang Dapat Kita Lakukan?

Setiap konflik yang anak alami, pasti ada perasaan yang mengiringinya. Ada rasa marah, curiga, kesal, sedih, malu, kecewa, atau perasaan lain yang tidak dapat diungkapkan jika orangtua tidak membantunya mengenal perasaannya. Itu sebabnya, orangtua perlu mengambil waktu membahas perasaan anak ketimbang memintanya segera menyatakan “sorry” atau menerima “sorry” dari orang lain.

Perasaan yang anak alami belum tentu sama dengan perasaan yang orangtua alami jika mengalami hal yang sama. Setiap anak memiliki kecenderungan yang berbeda, tergantung pada karakteristik yang dibawanya sejak lahir. Ada anak yang sedih saat seorang teman mengambil makanannya karena ia sangat lapar, ada juga anak yang senang karena berarti jatahnya untuk menghabiskan makanan jadi berkurang karena ia tidak suka makan. Ada juga anak yang cenderung diam saat seseorang melakukan hal yang tidak adil atas dirinya, tapi ada juga anak yang segera membalas apabila seseorang merebut haknya. Perasaan anak pertama sedih dan takut, sementara perasaan anak kedua berani dan marah. Jika orangtua memahami perasaan keduanya berbeda, maka respons orangtua juga akan berbeda terhadap kedua anaknya. Anak yang sedih dan takut didukung untuk mengungkapkan perasaannya dan memilih sikap proaktif selain diam dan bersembunyi, sementara anak yang sudah berani membela dirinya sendiri diajak untuk mengungkapkan perasaannya lewat kata-kata dan alasan yang jelas, ketimbang menunjukkan tindakan impulsif sehingga orang melihatnya sebagai penyerang.

Contoh:

Seorang kakak mengambil mainan anak karena tertarik pada mainan itu.

Anak I menangis dan berlari ke pelukan ibunya. Melihat hal itu, si kakak datang mengembalikan mainan itu sambil menyodorkan tangannya meminta maaf.

Ibu : Ada apa dengan kamu. Baru main seperti itu saja kok nangis. Ayo beri salam pada Kakak. Katakan, “Tidak apa-apa, Kak…”

Ibu bijak :Kamu sedih ya karena mainanmu diambil. Kakak ngga punya mainan itu, rupanya. Apa yang kamu ingin lakukan sekarang? Itu, Kakak sudah minta maaf, apakah kamu mau memaafkannya sekarang – atau nanti?

Anak 2 merebut mainan itu dari tangan si kakak sehingga kakak itu terjatuh, lalu menangis.

Ibu : Ayo kasih mainannya dan minta maaf kepada Kakak!

Ibu bijak : Kenapa Kakak jatuh? Kamu mengambil mainanmu dari dia ya? Mama tahu kamu marah karena mainanmu diambil Kakak, tapi kalau kamu marah dan merebut, jadi muncul masalah baru. Kesal dan marah boleh. Lain kali minta baik-baik ke Kakak ya? Sekarang Mama bantu selesaikan Kakak yang menangis dulu ya, baru kita lanjut bicara lagi.

Komunikasi Isi Hati

Isi hati kita belum tentu sama dengan isi hati anak. Kita bisa mengajaknya, bukan untuk menyesuaikan isi hatinya dengan isi hati kita, melainkan agar ia mahir mendeskripsikan isi hatinya sendiri. Itu sebabnya penting bagi kita untuk mengajarkan anak memahami nama-nama perasaan yang ada di dalam hatinya, sehingga saat ia mengalami beragam perasaan yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain, ia dapat mengungkapkannya kepada kita. Jadi, “sorry” bukanlah solusi pertama dan terbaik bagi pengajaran kita saat berhadapan dengan anak yang berkonflik atau anak yang tidak dapat mengikuti apa yang kita kehendaki.

>>Pdt. Riani J. Suhardja

1 Comment

  1. Silambi

    Sangat menginsfirasi untuk mencaroi solusi bijak dlm conflik keluarga.
    Saya izjin senarkan, boleh pdt Rudi?
    Tksh
    Salam Silambi

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Keluarga
  • Menjembatani GAP Antar Generasi
    Friksi dalam Keluarga Di era pandemi ini banyak timbul gesekan di antara anggota keluarga. Apa yang tadinya tidak dianggap...
  • Kekuatan Hidup Harmonis
    Kej. 2:18-24; Mk. 10:2-16
    Manusia itu makhluk yang aneh. Sudah jelas Allah berkata, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja,” atau dalam...
  • Keluarga Harta Paling Berharga
    “Harga dari segala sesuatu adalah sejumlah kehidupan yang kautukarkan dengannya.” ~Henry David Thoreau ~ Hal yang paling menarik untuk...
  • Tanggung Jawab
    Tanggung Jawab Tidak Dapat Diajarkan?
    “Saya ingin anak saya bertanggung jawab. Itu sebabnya saya mewajibkannya melakukan tugas tugas ini setiap hari. Kalau dia tidak...