Menjembatani GAP Antar Generasi

Belum ada komentar 560 Views

Friksi dalam Keluarga
Di era pandemi ini banyak timbul gesekan di antara anggota keluarga. Apa yang tadinya tidak dianggap sebagai sebuah persoalan dan lebih banyak dipahami/ disikapi dengan pengertian, kini berubah dan tumbuh menjadi masalah yang tak jarang menjadi serius. Kebanyakan persoalan sepertinya adalah perihal perilaku, kepedulian, dan peran dalam keluarga. Misalnya anak yang tidak merasa harus berperan dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga (household care), karena dulu sibuk ke sekolah dan beraktivitas di luar, juga persoalan keseriusan belajar yang disambi main gawai, tiadanya upaya anak-anak untuk berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain dan lebih memilih mengurung diri dan sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan lain-lain.

Benarkah hal-hal itu yang menjadi persoalan? Apakah jika anak-anak mengambil peran dalam pekerjaan rumah tangga lalu dijamin bahwa mereka tidak mengurung diri lagi? Atau jika mereka melakukan interaksi dengan anggota keluarga lain, dijamin mereka tidak memainkan gawai? Tidak ada jaminan! Namun pertanyaan yang terpenting adalah: apakah jika anak-anak mengambil peran dalam pekerjaan rumah tangga, mereka berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain, dan bila mereka belajar tanpa disambi main gawai, konflik atau gesekan itu tidak akan timbul? Apakah orangtua cukup merasa puas dengan perubahan sikap yang demikian saja? Jawabnya pasti “Tidak”, karena persoalan sesungguhnya bukan pada perilaku dan turutannya itu.

Nilai dan Perilaku
Pada saat aktivitas masih dilakukan secara bebas dan aktif di tempatnya masing-masing (sekolah, kantor, toko, pasar, dll.), maka banyak hal yang direspons dengan pengertian dan penerimaan besar, demi alasan tanggung jawab masing-masing dan kedamaian suasana dalam keluarga. Namun ketika kondisi memaksa bahwa anggota keluarga itu harus berkumpul dalam waktu yang panjang tanpa bisa menghindar, maka hal-hal dasar yang menjadi perhatian masing-masing anggota keluarga mulai mengemuka. Nilai nilai dikedepankan, kepantasan kepantasan dievaluasi, serta ideal ideal mulai diharapkan dan bahkan dituntut. Mengapa? Kebanyakan karena perbedaan nilai, pandangan, sikap, dan budaya yang dipegang masing-masing. Kata ‘masing-masing’ itu menunjuk kepada generasi, perbedaan generasi. Di titik-titik inilah persoalan-persoalan itu mulai timbul.

Sebenarnya potensi konflik itu tidak tumbuh di masa pandemi saja, tetapi sudah ada sejak dulu ketika terjadi kebiasaan menitipkan anak pada kakek-nenek dengan berbagai alasan. Di kota-kota kecil, ketika suami-istri harus mengejar karier di kota besar— baik yang berdekatan maupun yang jauh dari kota asal dan tidak mungkin memboyong seluruh anggota keluarga untuk hidup di sana—dengan alasan tingginya biaya hidup, sekolah anak anak, pengawasan dan pengasuhan mereka—, maka para pasutri muda itu cenderung menitipkan anak anak pada kakek-nenek. Di situlah sebenarnya gap antar generasi muncul, sehingga (seharusnya) menyulitkan pengasuhan.

Namun kenyataannya tidak selalu demikian. Anak-anak pada umumnya aman-aman saja di bawah pengasuhan kakek-nenek. Benarkah demikian? Dalam banyak kasus, anak-anak yang diserahkan pengasuhannya kepada kakek-nenek sering bertumbuh sebagai pribadi yang egois, penuntut, dan manja. Mengapa? Karena di depan mata kakek-nenek (pada umumnya) tidak ada cucu yang nakal, jahat, atau malas. Yang ada hanyalah cucu yang lucu. Kenakalan itu hanya karena memang usianya. Perbuatan jahat itu hanya karena pengaruh buruk nonton tv dan meniru orang-orang dewasa saja, dan sebagainya. Kakek-nenek lebih sering mempraktikkan pola asuh yang permisif karena alasan sayang dan bangga kepada cucu. Beware! – menyerahkan pengasuhan anak kepada kakek-nenek.

Perkembangan Generasi-generasi

Sebelum mengupas lebih jauh tentang persoalan-persoalan detail yang saling bersilang sehingga menimbulkan gesekan tadi, alangkah baiknya memahami apa ciri-ciri setiap generasi (menurut tahun kelahiran).

Generasi Baby Boomers
Yang disebut generasi baby boomers adalah mereka yang lahir antara tahun 1945 hingga tahun 1970, sering juga disebut sebagai generasi pasca Perang Dunia II.

Banyak anggapan yang menyatakan bahwa generasi yang terlahir di era ini adalah generasi yang sangat tangguh. Istilah ‘Baby Boomers’ muncul karena generasi ini tumbuh di masa ledakan penduduk yang terjadi pasca Perang Dunia II.

Generasi yang mengalami akibat Perang Dunia II ini telah merasakan penderitaan dan kerja keras saat mereka masih kecil. Perang dunia telah mengakibatkan banyak perubahan pada pola pikir, tindak tanduk dan perilaku orang-orang yang terlahir di era ini.

Salah satu karakteristik khas dari generasi Baby Boomers adalah mereka sangat mengedepankan nilai disiplin, keseriusan, dan kerja keras. Hal ini disebabkan karena mereka adalah generasi yang membangun kembali roda perekonomian pasca peperangan.Tak heran bahwa generasi ini dikenal tangguh dan memiliki rasa cinta yang sangat besar akan bangsa dan negara mereka.

Generasi X
Generasi X adalah mereka yang lahir antara tahun 1965 dan 1980, pada saat keadaan dunia sudah aman dan damai pasca Perang Dunia II. Generasi yang lahir di era ini dikenal memiliki sifat sangat cuek, tidak peduli dan cenderung tidak mau mempedulikan orang lain.

Apabila dilihat dari kinerja pada sebuah perusahaan, bila umumnya Baby Boomers bisa menghabiskan belasan hingga puluhan tahun bekerja di suatu perusahaan, maka di era generasi X ini bekerja di sebuah perusahaan umumnya hanya 3-7 tahun saja. Mengapa? Karena masa itu adalah masa pembangunan ekonomi dan pertumbuhan bisnis yang sangat pesat sehingga membuka banyak lapangan kerja. Dengan demikian ada banyak kesempatan yang terbuka lebar di luar sana untuk beralih profesi, meningkatkan karier, serta mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Keleluasaan penggunaan kesempatan itulah yang kemudian membentuk sikap dan perilaku generasi X, yang kemudian banyak disebut sebagai ‘kutu loncat.

Generasi Y
Generasi selanjutnya yang terlahir setelah itu adalah generasi Y, yang lahir antara tahun 1981 dan 1994. Sebagian lagi menyebut mereka kaum ‘milenial’, karena pada umumnya mereka masuk dunia kerja pada milenium baru (tahun 2000 ke atas).

Generasi ’milenial’ dikenal sebagai generasi yang menyukai hiburan. Selain itu, teknologi yang mulai berkembang pesat membuat generasi ini juga dikenal sebagai generasi yang menyukai segala sesuatu yang instan.

Makin canggih dan beragamnya teknologi mutakhir yang ada, tentu telah mengubah pola pikir dan perilaku orang-orang yang lahir di zaman ini. Dengan kata lain, mereka lebih berani mengajukan ide segar dan kreatif di tempat kerja.

Generasi Z
Generasi Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1995 dan 2009 di mana teknologi sudah sangat berkembang pesat. Hadirnya beragam teknologi mutahkir memudahkan generasi ini untuk beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Tak heran generasi ini banyak di sebut sebagai generasi pemalas. Generasi ini menganggap internet sebagai kebutuhan pokok layaknya air.

Generasi α (Alpha)
Yang termasuk dalam generasi α (Alpha) adalah mereka yang lahir antara tahun 2010-2025. Generasi ini banyak diramalkan akan memiliki perilaku dan sifat yang cenderung antisosial dan antipati terhadap lingkungan sekitarnya. Generasi ini sudah terbiasa pada teknologi di usia yang terbilang sangat belia. Bahkan di usia balita, banyak orangtua yang sudah memperkenalkan anak mereka dengan gawai. Kondisi seperti ini akan menimbulkan sifat egois, individualis dan tidak sabaran. Generasi alpha dikenal sebagai generasi yang ingin segala sesuatunya instan dan mudah dilakukan.

Perbedaan perilaku kerja antar generasi ini sangat mungkin menimbulkan konflik. Cara terbaik untuk menghindari konflik yang disebabkan oleh perbedaan generasi adalah saling memahami keunikan setiap generasi dan bagaimana keunikan tersebut memengaruhi perilaku.

Sudah sepatutnya kita yang hidup di era ini harus menyikapinya dengan bijak dan meniru/mencontoh perilaku yang baik, serta meninggalkan contoh yang buruk dari generasi sebelumnya. Tujuannya adalah supaya kebersamaan antara setiap generasi tetap terjalin tanpa terjadi apapun yang bersifat memecah belah.

Penyebab Konflik
Kesenjangan generasi timbul dengan berjalannya waktu dan ada banyaknya perubahan yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

Kurang Pemahaman. Generasi yang berbeda sering berbicara dalam bahasa yang berbeda. Perubahan masyarakat dari zaman orangtua dulu dan keadaan anak-anak sekarang, menyebabkan cara berpikir dan apa yang dianggap normal pun cenderung berbeda.

Kesalahan Jarang Ditoleransi. Orangtua sering kali tidak menoleransi kesalahan dan cenderung memarahi anak-anak mereka. Anak-anak perlu membuat kesalahan untuk belajar dan tumbuh dalam hidup, tetapi jika mereka hanya dihukum, hal itu akan memperlebar kesenjangan dan menciptakan miskomunikasi.

Anak-anak Diharapkan Menjadi Replika. Orangtua sering memiliki impian untuk anak-anak mereka, dan cenderung memaksakan kehendak tanpa mempertimbangkan apa yang mereka inginkan.

Terlalu Banyak Perbandingan. Membandingkan anak-anak satu sama lain, atau bahkan dengan keadaan Anda ketika masih kecil, adalah alasan lain makin lebarnya kesenjangan. Hal ini sering menyebabkan anak-anak kehilangan kepercayaan diri dan dapat menghancurkan antusiasme mereka.

Interaksi Tidak Cukup. Karena tanggung jawab sebagai orang dewasa dan stres yang berasal dari kehidupan kerja, orangtua sering kali merasa terlalu lelah untuk menghabiskan cukup waktu bersama anak-anak mereka setiap hari. Hal ini menyebabkan kurangnya komunikasi dan interaksi yang memperlebar kesenjangan generasi.

Dampak Gap
Sebagai dampak dari perbedaan antar generasi, maka sering kali timbul gap. Gap-gap inilah yang kemudian menimbulkan konflik yang membawa ketegangan dan merusak hubungan, bahkan peran di dalam keluarga.

Gap Komunikasi: terganggunya sebuah interaksi karena kegagalan komunikasi. Akhirnya para pihak memilih untuk tidak berkomunikasi daripada terus-menerus menimbulkan kesalahpahaman karena perbedaan istilah, bahasa, cara berungkap, dan ekspresi yang biasa ditampilkan sesuai dengan kelaziman masing-masing generasi.

Gap Pemahaman: kesulitan menerima sesuatu yang berbeda. Hal ini lebih disebabkan ketidaksadaran akan perubahan-perubahan zaman, padahal teknologi dan kondisi kehidupan kini tidak sama seperti dulu. Respons sebaliknya yang menganggap generasi tua kolot, kuno, dan tidak praktis makin memperparah gap ini.

Gap Relasi: keengganan untuk berinteraksi dan berelasi dengan generasi yang berbeda. Makin jauh jarak antar generasi, makin enggan masing-masing membentuk relasi, karena takut ‘tidak nyambung’ dalam komunikasi. Akhirnya timbul stigma negatif bahwa generasi tua koppig, sedangkan generasi muda dikatakan ‘sok tahu.’

Potensi Konflik Tinggi: perbedaan nilai dan perilaku karena gap menimbulkan potensi konflik yang tinggi, terutama apabila disertai keengganan untuk bisa saling mengerti dan memahami.

Disintegrasi Keluarga: ketika interaksi harus terjadi dengan semua anggota keluarga dalam waktu yang intens, maka perbedaan nilai, perilaku, dan gap antar generasi akan membentuk kubu sendiri-sendiri, sehingga keluarga terpecah-pecah. Apalagi bila dalam satu rumah tidak saja terdapat satu keluarga, serta dihuni oleh bermacam generasi yang berbeda.

Keluarga Disfungsi: sebenarnya bukan merupakan efek dari gap antar generasi, tetapi karena fungsi keluarga menurut generasi menjadi terbalik. Anggota keluarga tidak mengemban tugas dan tanggung jawabnya. Misalnya, seorang ayah yang seharusnya menjadi pencari nafkah dan tulang punggung keluarganya, menjadi tidak berfungsi karena PHK, cacat, malas, dsb. Akibatnya anak-anak, dalam segala keterbatasan mereka, harus menggantikan fungsi ayah untuk mencari nafkah buat keluarga dan dengan terpaksa meninggalkan hak serta tugas utama mereka, yaitu belajar.

Menjembatani Gap
Menyadari bahwa gap terlalu sering menjadi alasan penyebab terputusnya komunikasi, bahkan relasi— sehingga tidak memberi kesempatan melakukan rekonsiliasi—maka orangtua perlu mengupayakan hal hal yang bisa menjadi jembatan yang mempertemukan ujung-ujung pemikiran dan pemahaman yang selama ini menjadi penyebab gap tersebut. Adalah baik mempraktikkan beberapa saran di bawah ini.

Jaga Pikiran Terbuka. Cara berpikir anak berbeda dengan cara orangtua. Orangtua sering merasa bahwa karena mereka sudah pernah seusia anak mereka saat ini, mereka mengerti cara berpikirnya.

Yang benar adalah, dunia dan cara hidup berbeda dengan dahulu, pola pikir juga menjadi sangat berbeda, dan ini dapat mengejutkan beberapa orangtua. Inilah sebabnya sangat penting menjaga pikiran terbuka dan tidak berasumsi bahwa anak-anak pasti seperti orangtua pada usia mereka.

Orangtua juga harus memahami bahwa beberapa hal yang kini dapat diterima masyarakat, juga dapat diterima anak-anak kita, meskipun mungkin tidak dapat diterima ketika kita seumuran mereka. Terutama di area di mana orangtua perlu mencoba dan tetap berpikiran terbuka sehingga mereka dapat lebih n memahami anak-anak mereka.

Berkomunikasi. Sangat penting untuk meluangkan waktu setiap hari guna berkomunikasi dengan anak. Tindakan sederhana bercerita tentang pengalaman satu sama lain di penghujung hari dapat membantu Anda dan anak saling mengenal lebih baik dan membuatnya lebih mudah untuk berbicara dengan bebas.

Anak-anak perlu tahu bahwa mereka dapat mendekati orangtua mereka untuk hal apa saja, yang pada akhirnya memberikan ketenangan pikiran kepada orangtua karena mereka tidak perlu khawatir bahwa anak-anak mereka menyembunyikan hal-hal yang penting.

Dengarkan. Orangtua perlu memberikan waktu kepada anak anak mereka untuk berbicara tanpa gangguan dan mendengarkan apa yang mereka katakan.

Mempelajari pemikiran dan pendapat mereka membuat mereka merasa bahwa apa yang mereka inginkan atau rasakan penting bagi Anda, sehingga pada gilirannya membuat mereka merasa lebih dekat dengan Anda daripada sebelumnya.

Memiliki orangtua yang juga mendengarkan juga—bukan hanya berbicara dan berceramah—akan memberi anak Anda lebih banyak dorongan untuk mendengarkan Anda.

Memahami. Dengan mendengarkan, muncul pemahaman, dan ini berarti Anda harus belajar menempatkan diri Anda pada posisi anak Anda, dan mencoba memahami bagaimana perasaannya dan apa yang diinginkannya. Jika Anda dapat memahaminya, Anda akan dapat menutup kesenjangan generasi itu sampai batas tertentu.

Cinta Tanpa Syarat. Cinta memiliki cara melintasi batas dan menyatukan orang. Jadi tunjukkan kepada anak anak Anda betapa Anda mencintai mereka. Cinta dan dukungan tanpa syarat yang mereka dapatkan dari Anda sangat membesarkan hati dan membuat mereka lebih cenderung menunjukkan cinta dan pengertian yang sama.

Kompromi. Orang bisa berbeda pendapat tentang berbagai hal, tidak peduli seberapa dekat mereka satu sama lain. Begitu pula orangtua dan anak-anak. Namun, daripada memaksa mereka mengikuti cara berpikir Anda atau melakukan apa yang Anda ingin mereka lakukan ketika mereka tidak mau, belajarlah untuk berkompromi.

Ada kalanya Anda harus merendahkan anak-anak Anda, tetapi berkompromi—alih-alih mendikte setiap gerakan mereka—akan membuat mereka lebih dekat dengan Anda dan memperkecil kesenjangan generasi itu.

Ingatlah bahwa penting untuk memahami bahwa mereka memiliki pikiran dan pendapat mereka sendiri. Kesabaran dan kasih sayang akan membantu orangtua dan anak-anak menutup kesenjangan generasi.

# Diadaptasi dan dituliskan kembali dari parenting webinar yang disampaikan pada Dwi Pekan Keluarga GKI Jember Sabtu, 16 Oktober 2021 dengan judul: “0G vs 5G: Menjembatani Gap Antar Generasi di Antara Kita”

|Sujarwo-Linda

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Keluarga
  • Kekuatan Hidup Harmonis
    Kej. 2:18-24; Mk. 10:2-16
    Manusia itu makhluk yang aneh. Sudah jelas Allah berkata, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja,” atau dalam...
  • Keluarga Harta Paling Berharga
    “Harga dari segala sesuatu adalah sejumlah kehidupan yang kautukarkan dengannya.” ~Henry David Thoreau ~ Hal yang paling menarik untuk...
  • Tanggung Jawab
    Tanggung Jawab Tidak Dapat Diajarkan?
    “Saya ingin anak saya bertanggung jawab. Itu sebabnya saya mewajibkannya melakukan tugas tugas ini setiap hari. Kalau dia tidak...
  • Ministry
    Family Ministry
    dari keluarga ke gereja untuk bersaksi bagi dunia
    Fenomena Keresahan Sosial Masyarakat banyak mengeluhkan kondisi sosial yang memburuk di tengah kemajuan zaman. Peningkatan prestasi dalam peradaban manusia...