Agar Terbebas COVID

Agar Terbebas COVID

Tak Cukup Hanya dengan Berdoa

Belum ada komentar 22 Views

Kasus baru COVID kita bertambah tinggi sejak pelonggaran (reopen) yang protokol kesehatannya belum sepenuhnya dipatuhi masyarakat. Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi, Jawa Tengah menduduki posisi kenaikan kasus baru terbanyak.

Semua wilayah DKI sudah merah. Bermunculan klaster baru di tempat ibadah, 3 mesjid, 3 gereja, pesantren, dan rumah hunian pendeta, selain klaster di pemukiman, pasar, mal, dan perkantoran. Ini makin membuktikan bahwa masih ada celah besar bagi COVID untuk lolos memasuki tubuh. Hal ini bisa terjadi karena sebagian masyarakat tidak mematuhi protokol kesehatan, atau bisa juga kendati sudah mematuhinya, tidak tepat memilih masker, tidak tepat memakainya atau merawatnya, serta masih berkumpul, makan bersama, berkerumun dan mengobrol bersama.

Hal lain, kemungkinan yang digariskan protokol kesehatan kita sekarang belum melebihi potensi COVID menerobos masuk tubuh manusia. Potensi COVID yang belum terpikirkan itu bahkan tidak saja pada cara ditularkan antar manusia lewat droplet sebagaimana semula kita yakini. Ilmu pengetahuan medis menemukan potensi COVID ditularkan lewat microdroplets, sehingga serbuk lembut aerosols bisa menerbangkan COVID lebih jauh, lebih tinggi, dan lebih lama berada di udara. Kondisi inilah yang menjebol pagar protokol kesehatan yang terlambat diantisipasi WHO, yang baru minggu-minggu terakhir ini saja menyatakan ada potensi COVID tersebut. Itu sebabnya tak cukup menjaga jarak 2 meter saja yang diasumsikan tanpa masker, kalau COVID bisa diterbangkan lebih dari 10 meter, tinggi lebih dari 3 meter, dan lebih lama di udara dari hanya beberapa menit sebagaimana dulu diyakini. Potensi itu terbuka lebar bagi masyarakat yang masih mengabaikan peringatan dan tidak memakai masker di ruang-ruang publik.

Belum pula peran AC di ruangan tertutup, karena bila orang berbicara, bernyanyi, bahkan sekadar bernapas pun, semburan halus microdroplets dari pembawa COVID masih bisa melewati celah masker jika tak tepat memakainya, atau material masker bukan standar medis untuk menahan COVID. Barangkali itulah alasannya mengapa di tempat ibadah yang sebagian sudah mematuhi protokol kesehatan, masih saja ada penularan. Mungkin jaga jarak sudah seharusnya tidak boleh sedekat itu lagi mengingat adanya potensi COVID yang terbang lebih jauh dari 2 meter di ruang tertutup. Kondisi berbahaya itu masih besar selama di ruang publik masih ada—kalau bukan banyak—orang tanpa masker.

Ketika awal Juni lalu saya diminta pihak gereja memberi masukan apa sudah boleh beribadah, saya tidak menganjurkan. Alasannya, kendati Pemerintah sudah membolehkan, hemat saya—yang sudah lebih dari 3 bulan lalu saya baca dan tuliskan—ada potensi baru penularan COVID lewat aerosols, dan protokol kesehatan belum disesuaikan dengan potensi COVID yang lebih bahaya ini. Akal sehat medis yang kemudian berbicara adalah bahwa mestinya bahaya baru tengah berada di ruang tertutup, termasuk perkantoran, kafe, restoran, dan ruang ibadah yang tergolong berisiko tinggi penularan COVID. Ada pun dasar yang memperkuat pertimbangan saya, selama masih ada angka kejadian kasus baru COVID— dan itu yang mestinya dijadikan indikator besarnya risiko tertular orang yang berada di luar rumah— pelonggaran untuk pergi ke kantor, ke restoran, ke kafe, dan beribadah, untuk amannya ditunda dulu.

Terus terang saya pribadi tidak berani mengandalkan bahwa dengan hanya berdoa, saya menerobos memasuki tempat-tempat berisiko tinggi COVID (mal, restoran, kafe, tempat ibadah) kendati sudah mematuhi protokol kesehatan. Terlebih mempertimbangkan usia di atas 60 tahun, dan ada penyakit penyerta (comorbid). Dalam infografis tertulis, mereka yang menderita kanker darah dan kanker getah bening berisiko kehilangan nyawa berkali lipat dibandingkan orang normal. Demikian pula orang yang gemuk, yang diabetesnya tak terkontrol, dan lainnya, konon termasuk yang mengalami kebotakan.

Kebijakan pelonggaran COVID atau reopen di luar sana, selain masih banyak orang yang tanpa masker, yang masih tetap berkerumun, juga menambah banyaknya COVID yang beterbangan di udara, dan menambah besar risiko kita tertular. Belum lagi potensi COVID yang bisa menjangkau kita lebih jauh. Walau kita tidak berdekatan dengan orang tanpa masker yang positif COVID, COVID masih mungkin berada di dekat kita, masih ada kemungkinan menerobos memasuki celah masker, dan ini menjadi celah besar lain COVID memasuki tubuh kita.

Keyakinan saya masih tetap. Bahwa Yang Maha Welas Asih menciptakan kita sempurna untuk mampu beradaptasi dengan perubahan sebesar apa pun, dengan memanfaatkan akal sehat dan ilmu pengetahuan yang bisa manusia raih. Saya meyakini bahwa ilmu pengetahuan yang mengisi otak kita, membawa kita pada keputusan rasional kita. Saya juga meyakini bahwa Yang Maha Welas Asih bisa mengerti. Tidak pergi beribadah secara ritual—hemat saya—juga merupakan bagian dari kemampuan kita beradaptasi dengan normal baru.

Jangan Sampai Mati Konyol
Hari-hari ini terkesan COVID-19 makin membuat nyawa kita murah, sangat murah, seolah-olah mempermudah kita kehilangan nyawa, begitu enteng ia merenggutnya. Karena itu kita tak cukup hanya berdoa.

Saya melihat kenyataan miris itu lebih disebabkan lantaran kekeliruan kita melindungi aset biologis tubuh kita sendiri yang demikian rentan diruntuhkan oleh COVID-19.

Masih banyak masyarakat dunia yang belum benar-benar mengetahui seberapa besar celah COVID-19 menerobos masuk untuk membongkar sosok biologis tubuh kita. Masker, jaga jarak, cuci tangan, belum seratus persen melindungi kita. Masih banyak celah yang meloloskan COVID-19 sehingga meruntuhkan biologis tubuh kita, dan itulah yang mengantarkan orang-orang seakan-akan sedang menyerahkan nyawa mereka. Banyak korban yang masih muda belia, dan juga begitu banyak anak yang secara serempak menjadi yatim-piatu. Sesadis itu COVID-19 terkesan bagi kita. Mungkin sejatinya bukan itu. Kekeliruan persepsi itu terjadi lantaran kita belum sepenuhnya memanfaatkan ilmu pengetahuan tentang bagaimana COVID-19 memiliki celah menerobos masuk tubuh kita. Masyarakat belum semua mengetahui tentang celah besar yang masih menghadang mereka, sehingga sebagian besar harus kehilangan nyawa secara konyol, karena sesungguhnyalah di mata epidemiologis belum tentu kematian itu harus terjadi.

Masyarakat tampaknya belum sepenuhnya siap diberi kelonggaran memasuki kehidupan normal baru ketika sekarang bermunculan klaster baru COVID-19 di pabrik, kantor, kafe, selain persekutuan ibadah, tempat keramaian, dan di tempat-tempat publik berkerumun.

Celah besar itu bisa berasal dari masker. Pelindung biologis kita memang banyak mengandalkan masker. Kalau kewajiban memakai masker saja masih dilanggar, kalau pilihan masker masih dari bahan asalan, kalau teknik melepas dan merawat masker belum tepat, dan orang belum sepenuhnya memahami kalau COVID-19 masih mudah terbawa pulang ke rumah—itu kendala besar—masih sukar berharap grafik epidemiologi COVID-19 akan melandai.

Sudah disebut di atas bahwa angka kejadian COVID-19 terus tinggi kalau bukan meningkat kembali. Kasus baru juga kembali bermunculan di Tiongkok, Jepang, Brasil, bahkan Amerika Serikat (New York). Kemarin dulu, dalam sehari muncul 50 ribu kasus baru—selain gelombang baru yang sudah disebut di atas—yakni di Jerman, Belgia, Belanda, Inggris, dan Italia. Bukankah ini pembelajaran sangat mahal bahwa kalau kebijakan melonggarkan publik, dan masyarakat cuek terhadap cara perlindungan biologis tubuh masih dilanggar, akan begini akibatnya.

Di pasar-pasar, di lingkungan masyarakat yang kurang paham, bergelimpangan kasus baru. Bahkan 22 karyawan pabrik Unilever Cikarang kemarin kedapatan positif terkena COVID-19. Bulan lalu, dari sampel acak, 19 wisatawan yang bermobil ke Puncak positif terkena juga. Betapa mengerikannya. Fakta itu membuktikan bahwa di sekitar kita, yang tidak terlihat itu, masih banyak orang pembawa COVID-19. Hal yang sama terjadi di ruangan tertutup, terlebih ber-AC pula.

Kasihan kalau masyarakat menjadi korban hanya lantaran kekurangtahuan bahwa sebetulnya masih banyak celah besar COVID-19 yang bisa menerobos dan meruntuhkan benteng biologis tubuh kita. Kasihan mereka yang hanya memakai masker kalau ada razia. Masih banyak masyarakat yang sebetulnya sudah paham cara penularan COVID, tapi masih juga melanggar protokol kesehatan sebagai sebuah kenekatan pribadi. Sikap yang ingin coba-coba, tanpa disadari sedang memutar roulette kematiannya sendiri.

Sekali lagi bagi masyarakat yang tidak bisa tidak harus memasuki kehidupan normal baru karena kepentingan asap dapur, mohon memberitahu mereka agar bersungguh-sungguh mengandalkan pemakaian masker. Bukan saja cara pakai, melainkan juga pilihan masker yang tepat.

Memakai masker harus rapat atas-bawah, tidak boleh ada celah. Bahkan perlu dibantu pelindung muka (face shield) bagi mereka yang banyak berhadapan dengan orang lain. Masker harus terstandar medis, karena asal sekadar memakai masker—sebut saja masker kain— sekitar 40 persen masih meloloskan COVID-19 menerobos, masker kain 3 lapis masih meloloskan 30 persen. Selain itu, makin tebal masker, makin ia membatasi asupan oksigen sehingga darah kekurangan oksigen (hypoxia) dan/atau keracunan CO2 karena udara keluar napas menumpuk di masker (hypercapnia), sehingga sama-sama tidak menyehatkan. Walau ada pendapat lain soal masker yang bikin gangguan pernapasan pemakainya.

Lain daripada itu, selama berada di tempat publik, perhatikan pula arah dan kekencangan embusan angin dari depan kita, sentrongan dari mana arah angin AC di restoran, di tempat publik, dan seberapa banyak orang berbicara, bernyanyi, batuk atau bersin, dan seberapa padatnya populasi COVID-19 (viral load). Semburan droplet halus, microdroplets, fine mist dari sekadar embusan napas sebagai aerosols pun sudah berpotensi menular, bila keluar dari pembawa COVID-19.

Makin lama kita berada di lingkungan tersebut, makin padat populasi COVID-19, dan makin besar potensi kita tertular. Kendati kita sudah memakai pelindung wajah, masker, dan menjaga jarak pun, masih ada celah kita tertular, apalagi kalau kurang tepat memakai dan memilih pelindungnya, apalagi kalau sama sekali tanpa pelindung.

Prinsip kita berperang melawan COVID-19, adalah dengan membunuhnya selagi masih di luar tubuh, yakni ketika ia masih berkeliaran di sekitar kita, dengan cara mematuhi protokol kesehatan. Sulit kalau ia sudah telanjur memasuki tubuh. Selain bikin kita sakit, juga berisiko merenggut nyawa kita.

Dengan tidak membiarkan COVID-19 memasuki tubuh, berarti tidak muncul kasus baru, yang berarti pula ia tidak sempat menambah populasinya dengan mendapat peluang berbiak di tubuh baru. Ini perlu dipahami. Munculnya kasus baru, berarti menambah banyak kelipatan populasi COVID-19.

Hal lain ihwal teknik melepaskan masker sehabis dipakai. Jangan sentuh bagian permukaan masker yang diduga sudah ditumpangi COVID-19, diasumsikan begitu. Demikian pula jangan menyentuh bagian permukaan dalam masker, karena mana tahu kita sebagai pemakainya tanpa sadar—apalagi kalau tahu positif— sudah banyak ditumpangi COVID-19. Menyentuhnya berarti mencemari jemari tangan kita. Selain itu basuhlah secara benar masker yang bisa tidak sekali pakai (non-disposable) dengan air mengalir dan sabun.

Celah besar peluang lain COVID-19 berpindah ke tubuh orang lain, adalah bila kita pulang ke rumah dan tanpa sadar membawanya di pakaian, rambut, kulit, dan alas kaki kita. Di situ ia berpotensi ikut pulang memasuki rumah. Konyol bagi orang di rumah, para orangtua yang sudah sepuh, yang taat aturan tidak keluar rumah, tapi ada pihak yang membawa oleh-oleh COVID-19 sehingga nasib mereka sama dengan orang-orang yang keluar rumah. Bukankah ini kekonyolan yang tidak perlu terjadi? Pihak luar itu bisa sopir, asisten rumah tangga, anak sendiri, atau tamu yang tidak memahami benar bagaimana COVID-19 berpotensi ditularkan. Hanya bila kita memahami semua ini, kiranya kita mencegah COVID-19 menghilangkan nyawa kita.•

| DR HANDRAWAN NADESUL

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Kesehatan
  • MINDFUL EATING
    Alasan terutama untuk menjadi mindful adalah dengan menyadari bahwa tubuh ini adalah bait Allah yang perlu kita syukuri dan...
  • Demam Berdarah Bisa Dicegah
    Demam berdarah dengue (DBD) diberitakan berjangkit di sejumlah daerah sekarang ini. Penyakit ini buat kita dianggap jamak. Apakah memang...
  • Menunda Proses Menua
    Menua itu pasti, tetapi ilmu dan teknologi medis bisa menundanya. Berumur panjang itu pilihan, bukan menerima keadaan, melainkan memilih...
  • Nasib Kita Di Hadapan COVID
    Sekarang ini makin banyak orang gelisah, galau, khawatir, takut, dan fobia di tengah ingar bingar informasi yang “mis” maupun...