Kasih adalah salah satu tema terpenling di da/am kekristenan. Di dalam 1 Korinlus 13:13, Paulus menegaskan bahwa dari seluruh kerumitan hidup Kristiani, hanya tinggal tiga hal yang terpenling, yaitn iman, pengharapan, dan kasih; dari antara ketiganya, kasih adalah yang terbesar.
Agape dan Philia
Pada tahun 1930an, seorang teolog Swedia bernama Anders Nygren menerbitkan sebuah buku monumental yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Agape and Eros. Sejak buku Nygren ini, banyak teolog dan pendeta, termasuk di Indonesia, yang memahami bahwa kasih itu berjenis-jenis dan membentuk hierarki. Yang tertinggi adalah agape, yaitu kasih yang berkurban, kemudian di bawahnya adalah philia atau kasih persahabatan. Nygren menyebutkan eros atau kasih yang menghasrati pada urutan terbawah. Bahkan, menurutnya, eros bukanlah kasih yang baik, sebab ia mementingkan diri sendiri.
Sayangnya, banyak teolog dan pendeta yang telah lama mengikuti pemahaman Nygren ini tidak menyadari bahwa pandangan Nygren tersebut sudah ditolak dan ditinggalkan. Alkitab ternyata tidak menampilkan hierarki kasih semacam itu. Maka, lebih tepat sebenarnya kita mengatakan bahwa agape, philia, dan eros adalah tiga dimensi yang sama penting dari satu kasih yang utuh. Ketiganya berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Masing-masing unik dalam relasi yang unik pula. Mari kita ambil contoh perbandingan antara agape dan philia, kasih tak bersyarat dan kasih persahabatan.
Dengan memakai cara berpikir Nygren, banyak orang mengatakan bahwa agape adalah kasih ilahi yang tanpa syarat, sementara philia adalah kasih persahabatan antar manusia. Karena itu, jika Nygren benar, agape lebih luhur daripada philia. Akan tetapi, nanti dulu.
Mari kita simak lebih saksama lagi. Apakah benar demikian? Di dalam Injil Yohanes, kita memang mendapati bahwa agape sering dikenakan pada Allah yang penuh kasih. Lihatlah ayat ini: “Bapa mengasihi Anak dan telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya.” (Yohanes 3:35). Kata “mengasihi” di sini memakai kata agapha. Namun, mari kita bandingkan dengan Yohanes 5:20, “Sebab Bapa mengasihi Anak dan Ia menunjukkan kepada-Nya segala sesuatu yang dikerja- kan-Nya sendiri, bahkan Ia akan menunjukkan kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar lagi daripada pekerjaan- pekerjaan itu, sehingga kamu menjadi heran.” Kata “mengasihi” di ayat ini temyata memakai kata philei. Yang satu adalah agape, yang lain adalah philia; namun, pelaku dan tindakannya sama, yaitu Sang Bapa mengasihi Sang Anak. Jadi, jelaslah bahwa agape dan philia dalam kedua ayat ini sejajar maknanya.
Yang menarik, bahkan agape, yang kerap kita pahami sebagai kasih yangluhur dan tanpa syarat itu, dapat diper- gunakan secara negatif pula. Misalnya, di dalam Yohanes 3:19 dikatakan bahwa “manusia lebih menyu- kai kegelapan dari pada terang”. Kata “menyukai” ini memakai kata Yunani egapesan. Demikian juga 1 Yohanes 2:15 dan 2 Timotius 4:10, yang berbicara menge- nai “mengasihi dunia” dengan memakai kata dasar agapao. Jadi, agape tidak selalu baik dan paling tinggi; philia tidak selalu lebih rendah dibandingkan agape.
Philia: Kasih Persahabatan
Bahkan, jika kita menikmati seluruh tulisan Yohanes, Injil dan ketiga suratnya, kita akan terpesona mendapati bahwa persahabatan adalah ekspresi tertinggi dari kasih. Atau, dapatlah kita mengatakan bahwa philia adalah wujud tertinggi dari agape. Kita telah membaca Yohanes 5:20 yang menunjukkan Sang Bapa mengasihi Sang Anak dengan kata kerja phileo. Yang menarik, kasih philia dari Sang Bapa kepada Sang Anak itu tersedia bagi kita juga. Yohanes 6:27 mengatakan, “sebab Bapa sendiri mengasihi (philei) kamu, karena kamu telah mengasihi (pephilekate) Aku dan percaya, bahwa Aku datang dari Allah.”
Jadi, Injil Yohanes mengajarkan bahwa kasih Allah Trinitas adalah kasih per- sahabatan yang sekaligus ilahi dan terbuka bagi kita semua. Artinya, ketika kita bersahabat kita tengah berpartisipasi ke dalam kasih persahabatan dari ketiga pribadi Allah Trinitas. Yang menarik, seorang rahib Inggris abad ke-12 yang bernama Aelred dari Rievaulx, di dalam bukunya yang berjudul De Spirituali Amicitia (Persahabatan Spiritual) mem- berikan sebuah tafsiran yang mengejutkan atas pernyataan 1 Yohanes 4:8 & 16, “Allah adalah Kasih” (Deus caritas est). Ia mengatakan bahwa pernyataan ini sama artinya dengan mengatakan bahwa “Allah adalah Persahabatan” (Deus amicitia est). Pesannya sama: ketika kita bersahabat, kita tengah berpartisipasi ke dalam persekutuan kasih Allah yang adalah Persahabatan itu sendiri. Pertanyaannya: Bagaimana cara kita dapat berpartisipasi ke dalam Persahabatan Allah? Jawaban- nya tegas: Yesus Kristus!
Kristus Sang Sahabat
Di dalam Yohanes 15:15, Yesus Kristus berkata begitu indah, “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah mem- beritahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” Yesus sendiri menyapa kita bukan lagi sebagai “hamba” melainkan sebagai “sahabat.” Alasan yang diberikan-Nya sangat jelas, yaitu bahwa persahabatan tersebut disebabkan karena “Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” Artinya, relasi eksklusif antara Sang Bapa dan Sang Anak— artinya relasi Trinitas— kini terbuka bagi kita.
Sebelum ia mengubah sapaan-Nya kepada kita, dari hamba ke sahabat, Yesus berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat- sahabatnya” (Yohanes 15:13). la menegaskan bahwa kasih yang terbesar (agape) adalah ketika seseorang menyerahkan nyawanya untuk para sahabat: Yesus Kristus sendiri! la pernah berkata tegas: “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yohanes 10:11).
Gereja Persahabatan
Berkat pemberian diri Yesus Kristus, maka kita diinasukkan ke dalam relasi persahabatan dengan diri-Nya, bahkan ke dalam persekutuan Trinitas. Persahabatan, dengan deinikian, adalah wujud paling jelas dari keselamatan! Maka, itu berarti pula bahwa jika kita bersedia mewujudkan keselamatan kita, maka kita harus menghidupi persahabatan kita dengan orang lain.
Kita diundang untuk menyahabati sesama kita. Siapa sesama kita? Ter- nyata, jika kita konsisten dalam usaha kita meneladani Kristus, maka sesama kita bukan hanya sahabat sepersekutuan atau sahabat seiman kita. Matius 11:19 dan Lukas 7:34 menyatakan bahwa Yesus adalah “sahabat pemungut cukai dan orang berdosa.” Artinya, persahabatan harus terwujud bukan hanya kepada saudara-saudara kita saja, namun juga kepada orang-orang asing dan mereka yang dipandang tak layak dalam ukuran dunia untuk kita sahabati.
Kedua dimensi inilah yang secara utuh dimunculkan oleh penulis Kitab Ibrani. Ia menulis, “Peliharalah kasih persaudaraan! Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat. (Ibr. 13:1-2).
Di dalam dua ayat ini terkandung dua jenis perintah penyahabatan. Yang pertama adalah perintah untuk menjaga “kasih persaudaraan” (Philadelphia). Kita perlu menjadi “sahabat” (philos) bagi “saudara” (adelphos) kita. Perintah yang kedua adalah “memberi tumpangan kepada orang” (philoxenias). Kita juga harus menjadi “sahabat” (philos) bagi “orang asing” (xenos).
Setepatnya itulah yang Kristus lakukan Kita diangkat sebagai anak-anak Allah berkat Sang Anak Tunggal Allah. Kita juga adalah orang asing yang jauh dari Allah, namun disahabati oleh Kristus, Sang Anak yang rela menjadi manusia demi kita. Maka, mari menyahabati saudara dan orang asing, mari menjadi Gereja Persahabatan … demi Kristus!*
Pdt. Joas Adiprasetya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.