Hakikat Manusia Kita sering mendengar orang menyampaikan pernyataan- pernyataan seperti berikut: “Ahh… saya bisa apa???” atau, “… Yaa begitulah, manusia kan memang gudangnya kesalahan,” dan juga, “Kita ini kan hanya manusia yang berdosa? Hakikat kita memang berdosa kok!”
Hal itu sering muncul mengikuti sebuah kesalahan, kegagalan, atau ketidakberesan dalam melakukan suatu hal, sehingga tujuannya tidak tercapai. Lalu, apa tujuan orang menyatakan hal itu mengikuti kegagalannya? Biasaaa… Minta dipahami. Minta dimaklumi. Karena kemanusiaannya, atau lebih-lebih karena keberdosaannya, maka (harap) maklum jika ia tidak mampu melakukan sesuatu dengan benar dan sempurna. “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23). Penggalan ayat ini sering dipakai sebagai pembenar yang tidak proporsional dalam menguatkan anggapannya tadi. Kebenaran yang hanya separuh itu dipaksakan untuk mengatakan hakikat kemanusiaannya. Ujungnya minta dimaafkan karena kelemahan yang disandangnya sebagai manusia berdosa itu, hingga ia tidak mampu memberikan hasil yang terbaik sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan kadang-kadang digunakan untuk menyalahkan kenapa memilih dan memberikan tugas itu kepadanya. Apologi murahan.
Imago Dei
Benarkah hakikat manusia adalah berdosa, seperti yang didalih Roma 3:23 tadi? Tidak! Karena itu adalah cara yang salah dalam menggunakan ayat itu untuk menerangkan atau menjawab pertanyaan ini. Ada baiknya tidak membaca Kitab Suci dengan memenggal-menggal ayat hanya pada bagian yang dirasa cocok dan tepat dengan tujuan kita, sehingga kehilangan makna atau maksud keseluruhan pesan itu. Jika membaca dari ayat 21-24, kita akan tahu bahwa ayat 23 itu hanya keterangan pelengkap tentang kondisi umum manusia sebelum memperoleh kasih karunia pembenaran dari Tuhan Yesus Kristus. Bagaimana bisa dikatakan bahwa hakikat manusia adalah dosa jika ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah? Gambar yang tidak sekadar bentuk fisik dan rupa, melainkan meliputi sifat dan kesucian Allah, Imago Dei.
Dosa dan Free Will
Lalu bagaimana dengan dosa di dalam diri manusia yang menguasai, bahkan membinasakannya? Dosa itu datang dari luar dirinya, dari luar hakikatnya. Keistimewaan dan kemuliaan manusia sebagai ciptaan Allah adalah dikaruniai dan memiliki free will (kehendak bebas), karena itu manusia dilengkapi dengan akal budi untuk menimbang sebuah perkara—entahkah baik atau buruk—sehingga ia punya kebebasan memilih dan mengambil keputusan untuk melakukan suatu hal atau tidak. Sebagai kontrolnya, Tuhan memberikan peringatan, aturan, dan hukum agar manusia mempunyai pedoman. Sepanjang manusia memerhatikan pedoman itu, menaati dan tidak melanggarnya, maka dosa tidak akan menghampirinya. Namun ketika free will tadi memilih untuk melakukan yang salah, tidak sesuai aturan dan melanggar hukum Tuhan, maka manusia mengizinkan dosa masuk dalam dirinya. Dosa—karena pilihan keputusan yang salah tadi— menyusup dalam dirinya, sehingga ia berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Lihat, pada awalnya manusia itu suci dan tidak berdosa (sesuai dengan hakikat penciptaannya), lalu dosa menyusup dalam dirinya (seizin dirinya sendiri melalui penggunaan free will-nya), sehingga berkuasa atasnya, mencengkeram, dan membinasakannya.
Ketika sudah dikuasai dosa dan kehilangan kemuliaan Allah, manusia mulai merasakan beratnya perjuangan untuk hidup, untuk menggapai sukacita, serta untuk membangun dan merasakan damai sejahtera. Dosa yang ada dalam dirinya membuat manusia tidak senang melihat orang lain lebih baik dari dirinya. Maka timbullah iri hati, takabur, kesombongan, dan kepongahan yang menempatkan dirinya dalam posisi yang (harus) lebih baik dari orang lain. Keinginan untuk berperang, menaklukkan, dan menguasai wilayah/negara/ bangsa lain timbul dan berakar dari hal ini. “Senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang,” menjadi pemeo hidup yang mewarnai segenap perilaku dan kehidupan manusia berdosa itu. Banyak lagi hal yang ditimbulkan oleh dosa itu pada manusia dan hampir semua membawa segala sesuatu untuk berpusat pada dirinya. Bahkan ada yang sampai begitu memercayai pemujaan akan dirinya, hingga menganggap dan menyamakan dirinya dengan Tuhan sendiri. Meskipun telah banyak contoh yang disodorkan di depan matanya sebagai akibat dari kekurangajaran yang tak terampuni ini, tapi manusia tidak juga jera. Kegilaan demi kegilaan serta kekurangajaran demi kekurangajaran dilakukan manusia untuk melawan Allah. Seperti Nebukadnezar yang dicampakkan Tuhan selama tujuh tahun ke padang belantara dari keagungan kekuasaannya sebagai raja besar dan dihalau dari antara manusia—sehingga ia harus makan rumput seperti lembu, dan tubuhnya basah oleh embun dari langit, sampai rambutnya menjadi panjang seperti bulu burung rajawali dan kukunya seperti kuku burung—karena kegilaan dan kekurangajarannya memosisikan diri sebagai Tuhan yang harus disembah. Dalam kadar yang berbeda, hal ini terus berulang di antara manusia, dari dulu hingga sekarang.
Kerinduan dan Kegagalan Manusia
Namun ada kalanya timbul juga kerinduan di hati manusia untuk bisa bergaul kembali dengan Allah dan lepas dari dosa-dosanya. Rindu akan hakikat penciptaannya kembali. Berbagai cara dan upaya ditempuhnya untuk membangun jembatan bagi keterputusannya dengan Allah. Namun ternyata usaha itu sia-sia, tidak membuahkan hasil, dan bahkan sering berakhir dengan kekecewaan dan kehancuran, manakala dalam prosesnya terselip dosa yang ingin mencuri kemuliaan Allah. Apa yang dilakukan oleh manusia yang berkumpul di Tanah Sinear guna mempertahankan keberadaannya dan membangun menara hingga ke langit agar bisa berhubungan dengan Allah, adalah upayanya untuk menemukan jalan kembali kepada Tuhannya. Pada mulanya semua berjalan baik, hingga timbul kesombongan tentang kemampuan dan keberhasilan upayanya. Sebelum sampai pada puncak penghujatannya, Tuhan memorakporandakan manusia dengan menaruh bahasa-bahasa yang berbeda di mulut mereka sehingga terganggulah komunikasi di antara mereka. Hal itu yang menyebabkan mereka terserak ke seluruh muka bumi dan proyek yang semula dirancang secara mulia tapi bergeser menjadi proyek prestise itu terhenti, mandek dan mangkrak.
Bangsa Pilihan
Bangsa Israel yang secara khusus dipilih dan dipelihara Allah sebagai bangsa pilihan, diharapkan mampu mengomunikasikan kehendak Allah bagi manusia melalui hukum-hukum yang Allah sampaikan kepada mereka, agar melalui mereka, manusia secara umum dapat dituntun dan menemukan jalannya kembali kepada Allah. Namun sepertinya Allah harus kecewa berkali-kali. Ternyata harapan Nya kepada bangsa pilihan itu tak berbeda hasilnya dengan upaya-upaya mandiri yang dilakukan orang lain untuk menemukan-Nya. Perjalanan sejarah bangsa Israel dilalui dengan tidak tanggung-tanggung dalam menyaksikan penyertaan, pertolongan, dan pemeliharaan Allah atas mereka. Namun rupanya hal itu tidak cukup bagi mereka untuk tidak mengkhianati dan mengingkari kasih Allah atas mereka. Pedoman hidup dan hukum Tuhan, yang seharusnya digunakan sebagai kompas tindakan dalam hidup, disampingkan. Selanjutnya mereka memilih menggunakan free will kemanusiaan yang ada pada mereka untuk tidak taat, melawan, memberontak, dan bahkan menyembah allah lain. Bayangkan betapa hancur hati Allah yang begitu mengasihi dan memelihara mereka, tetapi mendapat respons yang tidak sepadan, bahkan pengkhianatan, dan hal ini tidak hanya sekali terjadi. Allah benar-benar tidak bisa berharap pada peran bangsa pilihan-Nya untuk mengembalikan manusia kepada Nya dengan membangun jembatan penghubung atas keterpisahan manusia dengan-Nya.
Peran Iblis
Sedari mula, sejak kejatuhan-Nya dalam dosa, Allah tahu bahwa manusia akan kesulitan menemukan dan membangun jalan untuk kembali kepada kemuliaan-Nya. Di samping kelemahan yang diakibatkan oleh dosa dosanya, menyangkut kesombongan, ketamakan, kebengisan dan egoisme manusia itu sendiri, tentunya kawan terbaiknya dalam dosa—yakni sang Iblis—tidak akan merelakan begitu saja manusia mengupayakan jalan kembali kepada Allah, tanpa peran sertanya untuk membujuk, menghalangi, bahkan menggagalkan upaya itu. Beragam hal diupayakan oleh si jahat untuk mencegah manusia kembali kepada hakikatnya. Sama seperti ketika ia membujuk nenek moyang mereka untuk keluar, mengingkari, dan merusak hakikatnya dahulu di Taman Eden. Dari cara paling kasar dan menakutkan yang berhubungan dengan kesengsaraan hingga kematian, hingga pada cara terhalus dan ternikmat dalam memberikan nilai tukar kesetiaan manusia kepadanya, mulai dari kesuksesan, kekayaan, karier, kedudukan sosial, sampai pada kemuliaan yang dijanjikan dapat menyamai Tuhan. Bagaimana tidak berat upaya manusia untuk kembali kepada Allah? Godaan dari dalam maupun dari luar dirinya untuk tetap mengingkari hakikatnya begitu besar dan kuat menghadang. Allah tahu itu.
Perjuangan Manusia
Manusia terus berjuang tak kenal lelah untuk menemukan jalan kembali kepada Allah. Tidak ada kata menyerah, tidak juga jera, meskipun semua berakhir sia-sia. Manusia bak makan buah simalakama. Berhenti dan tidak mencoba sudah jelas sekali hasilnya, meskipun terus berupaya juga tidak menghasilkan apa-apa. Hanya sayangnya ia tak hendak memohon campur tangan Allah di dalamnya. Ia terlalu percaya bahwa dengan kekuatan dan pikirannya sendiri pasti bisa. Namun pada akhirnya selalu sama seperti sebelumnya, berakhir sia-sia tanpa mendapat perkenan Allah. Allah bukannya tidak menghargai upaya manusia, hanya saja sebelum sampai pada pembuktian ketaatan dan kesetiaannya, manusia selalu jatuh dalam pilihan salah tentang bagaimana menghormati dan memuliakan Allah: ia mengingkarinya dengan mencuri kemuliaan itu untuk kejayaannya. Manusia mudah tergoda untuk senantiasa menyamakan dirinya dengan Allah. Atau di sisi ekstrim yang lain, justru menjauh dan terpisah dari Allah dengan meyakin yakini dan menerima bahwa hakikat keberadaannya memanglah berdosa. Ia merasa frustasi karena terlalu hina, hingga pada akhirnya enggan dan berhenti untuk terus berupaya dan mencoba datang kepada Allah.
Splagchnizomae – Prakarsa Allah
Allah tergerak oleh belas kasihan, splagchnizomae, melihat kondisi, upaya, serta jatuh bangunnya manusia sepanjang sejarah peradabannya, yang sepertinya kesulitan atau bahkan tidak mungkin berhasil dengan kekuatan dan caranya sendiri menemukan jalan untuk kembali kepada-Nya. Allah berprakarsa untuk membangun jalan itu. Ia menawarkan sebuah rekonsiliasi dengan manusia melalui inkarnasi Putra Tunggal-Nya yang masuk ke dalam kehidupan dan sejarah manusia. Yesus, sang Putra, mengingatkan kembali akan keharmonisan hubungan Allah dan manusia dalam kondisi tanpa dosa. Membangkitkan kerinduan hati manusia untuk berupaya kembali menggapai kesempatan itu. Mengajak manusia untuk sadar dan mau meninggalkan dosanya. Hal itu akan bisa mulai dikecapnya apabila ia percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah yang diutus untuk menawarkan upaya rekonsiliasi yang menjadi prakarsa Allah ini dan menerima Nya. Itu adalah anugerah terbesar yang tidak melibatkan upaya manusia mencari sendiri jalan keselamatannya. Jadi tujuan Yesus datang ke dunia adalah untuk memisahkan dosa dari manusia yang percaya dan menerima Nya, supaya ia bisa kembali ke hakikatnya semula seturut tujuan awal penciptaannya: menjadi insan yang segambar dengan rupa dan hati Allah.
Kembali ke Hakikat – Imago Dei
Allah yang merancang dan menyediakan jalan keselamatan ini memberi kesempatan kepada manusia untuk berperan serta dalam menentukan respons iman percaya yang dinyatakannya, sehingga beroleh jalan keselamatan itu. ‘simul iustus et peccator’, diselamatkan tetapi sekaligus masih berdosa, adalah kondisi awal manusia percaya. Ia dituntut untuk memberikan respons yang benar dengan membenci, menjauhi, meninggalkan, dan menaklukkan dosa-dosa yang masih mungkin akan menghampirinya. Dengan demikian kehidupan barunya adalah kehidupan yang terus menerus mengarah kepada kesucian dan kekudusan, dan di sisi lain terus berperang dan berupaya menaklukkan dosa. Kehidupan yang mengarah kepada hakikat kemanusiaan awalnya, kehidupan tanpa dosa di hadapan Allah. Yang perlu diingat: sejarah kemanusiaan telah mencatat bahwa manusia secara sendiri tidak pernah bisa mencapai titik itu. Oleh karenanya, dalam kehidupan barunya, manusia jangan pernah lagi berjuang sendiri melainkan senantiasa memohon penyertaan Allah yakni Roh Kudus—yang telah ditaruh dalam hati dan jiwanya—untuk terus aktif campur tangan dalam segala persoalan dan keputusan yang dibuatnya. Hanya dengan demikian manusia akan dapat membawa dirinya kembali ke hakikat awalnya, Imago Dei.•
1 Comment
S.butar-butar
April 13, 2021 - 10:55 amSangat berkati, sangat memberikan pemahaman2 yg baru akan Firman Tuhan, dan hidup kekristenan.