prematur

Nasib Kesehatan Kita Ada di Tangan Kita Sendiri

Belum ada komentar 36 Views

ALIANSI Kesehatan Oxford (The Oxford Health Alliance) pada tahun 2008 membuat resolusi yang kita kenal sebagai Sydney Resolution. Ini merupakan bentuk seruan global (a call to action) agar kita melakukan sesuatu untuk menyelamatkan nasib kesehatan manusia sedunia. Imbauannya memberi inspirasi kepada pihak pemerintah, perusahaan, lembaga keuangan, lembaga donor, untuk bersama-sama membantu agar terbangun masa depan (kesehatan) yang lebih baik.

Berangkat dari fakta global memprihatinkan pada tahun 2008 itu, cara kita hidup membuat orang jatuh sakit. Planet kita pun sudah sakit. Kita perlu segera bertindak. Manusia harus berubah, dan dunia juga harus berubah, agar masalah penyakit menahun, jantung dan stroke, diabetik, penyakit paru, selain kanker di dunia tidak terus bertambah.

Diproyeksikan, apabila semua faktor yang menjadikan kondisi 2008 itu tetap dibiarkan, dalam satu dasawarsa, yakni tahun 2018 ini, lebih dari 388 juta orang di dunia akan mati muda (premature death). Penyebabnya, karena orang keliru memilih gaya hidup.

Mati Muda

Bagaimana dengan kita? Fakta yang kini terjadi di kita juga, serangan jantung dan stroke menimpa kelompok usia lebih muda, yakni umur kepala empat. Ditilik dari kacamata medis, ini sebuah pembenaran bahwa akibat keliru memilih gaya hidup sejak usia dini, penyakit pembuluh darah muncul pada usia yang lebih muda.

Proses pembentukan “karat lemak” plaque yang bakal menyumbat pembuluh darah jantung dan otak anak Amerika dengan gaya hidup barat, sudah dimulai sejak usia belasan tahun. Gaya hidup yang meninggikan semua faktor risiko, antara lain kurang gerak, menu salah, polusi, dan rokok, menambah tebal sumbatan plaque sekitar 2 persen setiap tahunnya. Kalau proses mengarat lemak atherosclerosis itu sudah dimulai pada umur belasan, berarti hanya perlu 20 tahun atau sekitar umur kepala empat, sudah menyumbat separuh penampang pembuluh darah, dan pada saat itu serangan jantung umumnya terjadi. Demikian halnya dengan serangan stroke. Anak-anak generasi 80-an kita yang gaya hidupnya kebarat-baratan, akan mengalami nasib yang sama dengan anak Amerika generasi sebelumnya.

Bukan cuma serangan jantung dan stroke, diabetik juga menjadi wabah akibat orang keliru memilih gaya hidup, selain masalah penyakit paru-paru oleh polusi dan rokok, serta kanker. Belakangan terungkap kalau kanker dunia makin banyak lantaran yang kita makan salah. Membanjirnya zat aditif dalam menu harian, selain polusi udara, dan pola makan daging berlebih (“Tiger Diet”) serta kurang gerak (sedentary life style), menambah angka kanker dunia kini melonjak.

Kita menginsafi bahwa semua penyakit menahun dalam kelompok penyakit metabolik berakibat menurunkan kualitas generasi bangsa, selain menyisakan disabilitas, depresi, dan mati muda. Kita juga menyadari, sebetulnya semua bisa dicegah karena memang sejatinya tidak perlu terjadi.

Nalar medisnya, seseorang yang hari ini terserang jantung koroner, kita tahu, prosesnya sudah berlangsung puluhan tahun sebelum serangan itu datang. Sekurangnya ada waktu lebih dari 20 tahun—hanya karena proses itu dibiarkan berlangsung, dan kita tidak melakukan sesuatu untuk menghentikannya—sebelum serangan jantung dan/atau stroke itu terjadi. Sebetulnya ada cukup banyak waktu untuk menyetop proses yang makin menyumbat koroner dan/atau pembuluh otak. Hanya kalau kita menghentikan proses penyumbatan pembuluh darah puluhan tahun itu, maka serangan jantung dan/atau stroke tidak perlu terjadi. Hanya bila semua faktor risiko terjadinya penyakit menahun, penyakit metabolik, kejadian mati muda tidak harus bermunculan.

Ada lebih dari sepuluh faktor risiko yang perlu kita kendalikan supaya tidak sampai merusak tubuh dan berujung mati muda. Selain hipertensi, diabetik, meningginya lemak darah, faktor polusi, dan radikal bebas seberapa bisa kita jauhi, termasuk asap rokok, serta stressor yang berlebihan. Solusinya dengan cara mengubah gaya hidup.

Kursus Hidup Sehat

Mentor Singapura Lee Kuan Yeuw, pada umur 85 tahun berpidato di hadapan rakyatnya, dengan pesan, “Jangan tiru masa muda saya.” Belakangan dia tahu bahwa hanya karena ia perokok, gemuk, dan minum alkohol, kondisi badannya pada umur 85 sudah banyak kerusakan dan kelemahan. Apalagi kalau ditambah faktor risiko lain yang memperburuk kondisi tubuh.

Singapura amat menaruh perhatian pada sumber daya manusia rakyatnya. Para manajer diberi semacam kursus bagaimana hidup sehat, demi menjaga kualitas hidup prima dan menyelamatkan generasi produktif dari ancaman mati muda. Anak sekolah dibuat tidak boleh gemuk, dan pemerintah ikut campur agar restoran tidak menyajikan menu terlalu asin. Garam dapurlah yang sebetulnya berkorelasi dengan hipertensi, bukan asupan daging.

Menjadi sehat itu perlu investasi, bahkan sejak masih dalam kandungan mula. Itu sebab mengapa Jepang, Korea, Thailand yang sudah berinvestasi kesehatan sejak 50 tahun lalu, kini memetik generasi yang lebih sehat dibandingkan dengan kita. Zaman Pak Harto dulu, sektor kesehatan bukan dinilai sebagai hal yang harus diinvestasi dengan anggaran yang memadai—karena dianggap tidak menghasilkan devisa seperti sektor pariwisata—sehingga terabaikan. Sekarang kita menyaksikan derajat kesehatan kita masih terengah-engah di bawah. Masuk akal kalau BPJS sekarang tekor beberapa triliunan rupiah, akibat masih lebih banyak masyarakat yang sudah telanjur sakit.

Sudah waktunya kita melakukan koreksi, a call to action ala Sydney Resolution, bahwa dunia harus berubah dan kita juga harus berubah. Masyarakat harus disadarkan, bahwa hanya dengan mengubah gaya hidup, nasib kesehatan kita bisa menjadi lebih baik, dan akan mampu meredam kematian prematur 388 juta di dunia. Untuk itu pemerintah perlu fokus memberi tahu kepada masyarakat (komunikasi-informasi-edukasi) secara lintas sektoral agar pembangunan wajib berorientasi untuk kesehatan.

Pendidikan kesehatan sekolah perlu direvitalisasi. Tak cukup kognitif belaka, tapi terlebih perlu membangun perilaku hidup yang sehat. Orientasi sikap layanan kesehatan kembali mendahulukan aspek pencegahan ketimbang upaya terapi, sebagaimana dulu konsep awal pembangunan kesehatan kita. Media massa diajak bekerja sama untuk memperbanyak porsi edukasi—bahkan sampai ke pelosok—agar meliput masyarakat yang paling tidak terjangkau informasi, semacam kelompencapir era Pak Harto bagi petani dulu.

Sekarang kita merasakan pentingnya mendahulukan pembangunan kesehatan di hulu, ketika masyarakat belum telanjur jatuh sakit. Ongkos mengedukasi masyarakat untuk mampu hidup sehat tidak lebih mahal ketimbang anggaran yang dihabiskan untuk belanja obat, saking masyarakat yang telanjur jatuh sakit terus bertambah banyak, karena tidak diberi tahu caranya supaya tidak jatuh sakit. Bisa jadi sebagai akibat kita cenderung menunggu orang jatuh sakit dan diberi obat murah.

Kita lihat nanti laporan WHO dan MDGs akhir tahun 2018 ini, akan seperti apakah nasib kesehatan kita, potret generasi bonus demografi kita, yang selayaknya perlu kita selamatkan, karena merekalah yang akan lebih menyelamatkan nasib bangsa. Semoga belum terlambat untuk mulai mengubah gaya hidup kita semua.

Resolusi Kesehatan 2019

Beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan begitu banyak kasus mati muda. Oleh karena yang diberitakan kebanyakan menimpa kalangan selebritas, para pesohor negeri, di lapisan bawah kita bisa pastikan tidak sedikit yang mengalami nasib yang sama. Pasien yang berobat jantung dan stroke kini rata-rata berusia kurang dari 40 tahun, termasuk dari latar belakang masyarakat strata bawah. Itu berarti bahwa memang mereka generasi yang buruk nasib kesehatannya semenjak masa kecilnya. Faktor penyebabnya, gaya hidup yang dipilih orangtuanya, sejak masih usia kanak-kanak, dan tetap mempertahankan gaya hidup yang salah itu sampai usia dewasa.

Katakan kalau gaya hidup salah sudah dimulai semenjak kecil, dan pada usia belasan tahun pembuluh darahnya sudah tidak sehat sebagai akibat yang ditimbulkan oleh pilihan gaya hidup yang salah itu, maka dalam 20-30 tahun kemudian, pembuluh darah jantung dan atau otaknya mungkin sudah mengalami sumbatan separuh penampangnya. Kondisi ini yang membawanya ke dalam risiko serangan jantung, dan atau stroke, terjadi pada sekitar usia 40-an. Kini serangan jantung dan stroke merenggut usia lebih muda.

Kalau mereka yang pembuluh darah jantung dan atau otaknya sudah bermasalah ini melakukan aktivitas fisik yang membebani jantungnya, misalnya mendadak olah raga berat, katakanlah futsal, sebagaimana dilakukan aktor Adi Massaid almarhum, pada saat itulah serangan jantungnya terjadi, dan ternyata mengakhiri hidupnya.

Andai saja Adi Massaid sebelumnya melakukan pemeriksaan jantung, sekurangnya memeriksanya dengan scan MS-CT-scan jantung—dan sudah barang tentu kedapatan memiliki sumbatan di hampir atau lebih dari separuh penampang koroner jantungnya—mungkin kejadian serangan sewaktu futsal tidak harus terjadi. Dokter akan memberi nasihat untuk tidak berolahraga berat dan memberikan pengobatan seperlunya agar sumbatan yang mengancam nyawanya itu tidak perlu sampai terjadi, melakukan segala sesuatunya untuk mengatasi sumbatan yang hampir separuh penampang koroner jantungnya. Dengan cara demikian serangan jantungnya bisa dibatalkan atau digagalkan. Secara akal sehat, kematian yang sudah telanjur terjadi itu, di mata medis, bukan sudah kehendak Yang Maha Pengasih, melainkan berada di tangan si korban sendiri.

Jadi semua kasus serangan jantung yang dianggap tidak terduga itu, sebetulnya bisa terduga kalau melakukan check up jantung, terutama bagi yang berisiko. Siapa mereka yang tergolong berisiko? Yang hipertensi, diabetes, lemak tinggi dalam darah, stressor tinggi, dan semua generasi yang berumur 40-an, yang gaya hidupnya keliru. Dengan cara demikian maka tidak akan dikatakan bahwa kematian prematur sebagai kehendak Yang Di Atas, melainkan karena salah kita sendiri.

Jangan cepat-cepat menyalahkan Yang Di Atas kalau sampai kita mati muda, oleh karena kejadian serangan jantung dan/atau stroke itu kejadian yang terukur, bisa diramalkan, masih mungkin diantisipasi oleh kemampuan pihak medis, namun kita tidak melakukan upaya itu. Maka harus dikatakan bahwa nasib kesehatan kita sesungguhnya ada di tangan kita sendiri. Sudahkah kita melakukan upaya optimal, dengan sungguh hati untuk membatalkan, untuk menggagalkan setiap kemungkinan jatuh sakit, atau serangan jantung dan/atau stroke?

Resolusi kesehatan kita masing-masing memasuki tahun yang baru ini: Lakukan secara medis pemotretan status kesehatan kita hari ini. Pemeriksaan genom, yakni memotret unsur genetik tubuh kita sekarang yang teknologinya sudah dapat dilakukan dengan pemeriksaan di laboratorium klinik kita di sini, untuk memastikan adakah penyakit, kelemahan, dan kelainan gen yang kita miliki. Barang tentu, selain itu kita perlu memeriksa sudah seperti apa kondisi jantung dan/atau otak kita dengan MS-CT-scan, khususnya bagi mereka yang berisiko tinggi mengidap gangguan pada kedua organ otak dan jantung, yang sering membawa kita ke dalam penyakit kritis (critical illness), kalau bukan tergolong penyakit yang memerlukan pertolongan gawat darurat, atau yang terbilang mematikan, serta yang berpotensi menambah panjang daftar mati prematur.***

>> Dr HANDRAWAN NADESUL

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Kesehatan
  • MINDFUL EATING
    Alasan terutama untuk menjadi mindful adalah dengan menyadari bahwa tubuh ini adalah bait Allah yang perlu kita syukuri dan...
  • Demam Berdarah Bisa Dicegah
    Demam berdarah dengue (DBD) diberitakan berjangkit di sejumlah daerah sekarang ini. Penyakit ini buat kita dianggap jamak. Apakah memang...
  • Menunda Proses Menua
    Menua itu pasti, tetapi ilmu dan teknologi medis bisa menundanya. Berumur panjang itu pilihan, bukan menerima keadaan, melainkan memilih...
  • Nasib Kita Di Hadapan COVID
    Sekarang ini makin banyak orang gelisah, galau, khawatir, takut, dan fobia di tengah ingar bingar informasi yang “mis” maupun...