ciptaan

Menatalayani Ciptaan-Menata Diri

Belum ada komentar 436 Views

Pada tahun 1972 diterbitkan sebuah laporan tidak resmi tentang lingkungan oleh sebuah panitia beranggota 152 orang dari 58 negara, atas penugasan Sekjen Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia. Laporan itu disusun dalam bentuk buku oleh Barbara Ward & Rene Dubos. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran dan Yayasan Obor (Gramedia, 1974) dengan judul “Hanya Satu Bumi–Perawatan dan pemeliharaan sebuah planit kecil.”

Sejak itu kesadaran akan ekologi atau relasi timbal-balik antara makhluk hidup (termasuk manusia) dengan lingkungannya, meningkat tajam. Terutama kesadaran untuk memerhatikan kemunduran lingkungan hidup praktis di segala lini. Di mana-mana (termasuk di Indonesia) dan oleh berbagai pihak (pemerintah, badan-badan internasional, lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau LSM/NGO), berbagai keprihatinan dan peringatan dicetuskan, dibarengi imbauan untuk mengubah paradigma tentang nisbah manusia-alam, tentang tanggung jawab manusia atas kelangsungan alam, serta upaya struktural maupun praktis guna menanggulanginya.

Di kalangan gereja, terutama di Eropa, keprihatinan ini mendapatkan tempat yang cukup luas bahkan mendasar, dalam arti dipadukan dengan upaya pemulihan manusia dan alamnya secara utuh. Sidang Dewan Gereja Sedunia (WCC) tahun 1983 (Vancouver) mendeklarasikan dimulainya proses konsiliar untuk Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Conciliar Process for Justice, Peace and Integrity of Creation). Banyak gereja (di Amerika dan terutama di Eropa) mengadopsinya serta mengintegrasikannya ke dalam program gereja/jemaat mereka.

Namun entah kenapa di Asia, dan terutama di Indonesia, proses itu nyaris tidak ada gaungnya. Padahal ketiga isyu yang dicanangkan itu amat relevan di Asia. Dalam bentuk dan cara yang dipilihnya sendiri, gereja-gereja Asia memang cukup banyak berbuat bagi dua isyu yang pertama, keadilan dan perdamaian. Tetapi isyu lingkungan hidup amat kurang,–bila tidak boleh dikatakan sama sekali tidak–diperhatikan. Beberapa sekolah tinggi teologi dan LSM telah mencoba menjaring dan membina warga jemaat agar menjadi agen perubahan serta pemrakarsa dalam hal perhatian terhadap lingkungan hidup. Namun gaungnya masih amat lemah.

Di lingkungan GKI, ketika GKI masih belum mengaplikasikan leksionari untuk kebaktian Minggu, tema-tema dari Rancangan Khotbah tidak pernah membahas tanggung jawab orang percaya atas lingkungan hidupnya. Apalagi ketika leksionari diberlakukan, tema-tema yang dirumuskan merujuk kepada teks-teks yang dibaca, bukan tema-tema aktual. Alhasil di GKI pada umumnya, dan di GKI Pondok Indah pada khususnya, tidak pernah dikhotbahkan tema-tema lingkungan hidup. Dalam acara-acara pembinaan, termasuk Forum Diskusi Teologi pun, belum pernah tema ini diangkat.

Lalu apakah dan di manakah masalah utamanya untuk mengubah hal ini? Mestinya bukan terletak pada alam lingkungan hidup itu sendiri. Sebab ia punya kemampuan untuk menyeimbangkan bahkan memulihkan diri–salah satu dari kekuasaan Sang Pencipta. Masalahnya hampir pasti terletak pada manusia. Manusia yang ketamakan dan kerakusannya untuk memiliki, memperoleh dan menikmati sebanyak-banyaknya, tak ada tandingannya.

Selain gereja pada umumnya, dan GKI pada khususnya, serta lebih khusus lagi, GKI Pondok Indah, yang jauh tertinggal dari berbagai LSM, perhatian atau tepatnya kepedulian atas lingkungan hidup mestinya menjadi bagian dari moralitas kristiani. Sebab pemulihan dunia dan lingkungan hidup manusia tidak akan mudah terjadi tanpa pemulihan (baca: perubahan) dari cara pandang manusia sendiri atas lingkungan hidupnya. Gereja punya peran strategis dalam hal itu. Namun di hadapannya menjulang tinggi kendala yang harus disingkirkan. Sebab tidaklah mudah untuk mengubah paradigma kehidupan yang sudah begitu mendarah daging berpusat kepada manusia, dan bukan kepada lingkungan hidupnya. Kalau pun perhatian terhadap lingkungan mulai bertumbuh, itu pun masih terlalu berpusat pada pertanyaan apakah ia menguntungkan atau merugikan manusia (antroposentris yang utilitarian). Maka yang dibutuhkan adalah moralitas lingkungan hidup yang melihat kehidupan, dengan manusia di dalamnya, sebagai suatu keutuhan. Manusia adalah bagian dari kehidupan, walau secara teologis ialah yang terpanggil untuk mengelolanya (karena diciptakan menurut “citra Allah”).

Untuk itu dibutuhkan pemahaman ulang yang lebih bertanggungjawab atas nisbah manusia-alam lingkungan hidupnya. Yang selama ini pada umumnya dipegangi adalah nisbah yang (terlalu) berpusat pada manusia. Segala sesuatu, alam semesta dan dunia ini, termasuk alam lingkungan hidup kita ini, dipahami sebagai “diberikan” kepada manusia untuk diperlakukan sebebas-bebasnya. Dan pemahaman ini di kalangan orang percaya didasarkan pada penafsiran mereka atas ayat-ayat Alkitab, terutama atas Kejadian 1:27-28.

Membaca kembali teks itu dengan teliti, memang ada 2 hal yang amat krusial untuk dipahami di situ. Yang pertama adalah pengertian dari “manusia yang diciptakan menurut ‘gambar Allah’” (Kej. 1:27) dan yang kedua, adalah pengertian dari kata “berkuasalah” (Kej. 1:28).

Pengertian dari kata “gambar/rupa ALLAH”,–yang untuk itu menurut hemat saya lebih tepat kata “citra Allah”, adalah terjemahan dari kata Ibrani tselem. Alkitab versi KJV, NRSV dan NIV menerjemahkannya dengan kata image. Maka manusia diciptakan bagaikan image di cermin yang mesti sesuai dengan keinginan dari yang empunya, yaitu TUHAN sendiri.

Sedangkan kata “berkuasa” adalah terjemahan dari kata Ibrani radah. Alkitab versi King James Version dan New Revised Standard Version menerjemahkannya dengan dominion; sedangkan New Iinternational Version menerjemahkannya dengan kata rule. Memang arti harfiahnya adalah “menguasai/mengatur”. Namun itu bukan lalu harus dimengerti sebagai semacam izin untuk mengeksploitasikan dunia habis-habisan, tetapi sebagai tugas yang diemban manusia, yang diciptakan menurut citra Allah.

Maka secara hakiki “menguasai” hanya boleh terjadi sesuai maksud Allah atas segenap ciptaan-Nya, yaitu mesti “menghidupi semua makhluk” dan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Dunia sebagai lingkungan hidup manusia mesti dimanfaatkan dan dinikmati manusia dengan prinsip penatalayanan (stewardship). Dan itu berarti semata-mata demi segenap makhluk dan dengan pandangan ke depan, yang berarti dengan visi berkelanjutan (sustainable).

Ini mesti menjadi bagian dari moralitas Kristen. Moralitas yang bukan cuma soal kejujuran, keadilan, kesalehan agar masuk sorga. Tetapi moralitas yang utuh di hadapan TUHAN, seturut dengan kehendak dan karya-Nya untuk membarui segenap ciptaan, termasuk manusia. Moralitas lingkungan mestinya diperlakukan sama berat dan sama penting dengan moralitas yang lain.

Dalam kesadaran ini, GKI Pondok Indah memilih fokus dan tema ekologi bagi Bulan Peduli, Mei 2011, di lingkungan jemaat GKI Pondok Indah. Sebagaimana kita tahu tujuan umum dari kegiatan Bulan Peduli adalah pertama-tama membelajarkan dan memberdayakan soal kepedulian. Karena kepedulian adalah salah satu kata kunci dalam visi GKI Pondok Indah. Tetapi yang tidak kalah pentingnya melalui Bulan Peduli GKI Pondok Indah hendak memraktikkan kepedulian, baik sebagai jemaat maupun pribadi.

Dengan memilih lingkungan hidup sebagai fokus, dengan tema “Menatalayani Lingkungan–Menata Diri”, tujuannya Bulan Peduli 2011 GKI Pondok Indah adalah:

  1. Warga jemaat GKI Pondok Indah memahami bahwa sebagai anak-anak Tuhan, mereka bertanggungjawab atas pengelolaan segenap ciptaan, khususnya atas lingkungan hidupnya, serta bersedia menerjemahkannya dalam tindakan-tindakan praktis.
  2. GKI Pondok Indah mewujudkan kepeduliannya pada lingkungan hidup dengan membantu sebuah desa di kaki Gunung Merapi yang diterjang awan panas akibat erupsi, dalam upaya “menghijaukan kembali” lingkungan hidupnya.

Dengan usainya Bulan Peduli 2011, selain proyek Merapi yang masih harus dilaksanakan dan diteruskan, kepedulian ekologis mesti terus dikembangkan di GKI Pondok Indah, dalam segala bentuknya, dari yang amat sederhana hingga yang struktural sifatnya. Sebab “menatalayani ciptaan” dan “menata diri” dalam terang itu mesti selalu terus terjadi, sebagai bagian dari moralitas kristiani.

 

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

 

Bacaan:
Chang, Dr. William, OFMCap, 2001, Moral Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Deane-Drummond, Celia, 2001, Teologi dan Ekologi – Buku Pegangan, penerjemah: Pdt. DR. Robert P. Borong, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Milne, Antony, 2006, Our Drowning World – Dunia di Ambang Kepunahan-Bencana-bencana yang Mengancam Umat Manusia, penerjemah: J.B. Srijanto, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Niles, D. Preman, 1991, Justice, Peace and the Integrity of Creation; Dictionary of the Ecumenical Movement, Geneva: WCC Publications.
Rasmussen, Larry L., 2010, Komunitas Bumi: Etika Bumi, penerjemah: Liem Sien Kie, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ward, Barbara & Dubos, Rene, 1974, Hanya Satu Bumi -Perawatan dan Pemeliharaan Sebuah Planit Kecil, penerjemah: S. Supomo, Jakarta: PT. Gramedia.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...