Laborare Est Orare

menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’

Belum ada komentar 928 Views

‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang mengajarkan bahwa kita harus memiliki keseimbangan antara kehidupan spiritual dan kehidupan jasmaniah. Dengan kesadaran penuh bahwa kemanusiaan kita semata mata tidak akan mampu menuntaskan persoalan persoalan kehidupan, maka kita perlu memohon penyertaan, pertolongan dan perkenan Tuhan dalam setiap persoalan hidup kita.

Bila kita hanya memerhatikan sisi kehidupan spiritual tanpa memerhatikan yang lain, maka kita menjadi pendoa yang tidak melakukan apa-apa. Meskipun kelihatannya baik dan seolah-olah menunjukkan tingkat iman serta kepasrahan yang tinggi, namun hal ini tidak akan menghasilkan apa apa. Seperti yang tertulis dalam 2 Tesalonika 3:10b, demikian: “…. jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” Jadi tidak ada yang membenarkan orang hanya berdoa saja. Tuhan juga tidak menghendakinya.

Sebaliknya, bila kita hanya terfokus pada sisi kehidupan jasmani tanpa memerhatikan sisi spiritualnya, maka kita menutup pemahaman dan kemungkinan mendapatkan kekuatan serta pertolongan dari sumber kehidupan yang kita miliki, yakni Tuhan yang menciptakan dan memelihara kita. Kalaupun usaha keras itu menghasilkan apa yang kita buru selama ini dengan kerja hebat kita, maka kita tidak akan pernah sampai pada titik akhir untuk terus memburunya, karena kita tidak pernah mencapai kepuasan sejati. Pascal mengatakan: “Di dalam diri manusia ada kekosongan, yang tidak akan mampu diisi oleh apapun, kecuali oleh Penciptanya.” Kalau hal lain mampu mengisi kebutuhan itu, tanpa peran serta Penciptanya, tentunya tidak akan ada orang-orang sukses, pandai, kaya, terkenal, berkuasa, yang merasa hidup mereka begitu hampa lalu bunuh diri karena tidak mampu mengatasi kekosongan itu.

Karenanya, benarlah konsep ‘bekerja dan berdoa’ tadi bagi keseimbangan kehidupan manusia. Orang-orang Kristen pun didorong untuk tidak saja berdoa, tetapi juga bekerja. Bahkan TUHAN berfirman (Yeremia 29:7) kepada semua orang buangan yang diangkut ke dalam pembuangan dari Yerusalem ke Babel: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Mereka harus mendoakan dan juga bekerja mengusahakan kesejahteraan kota itu.

Ora et Labora. Kerja tanpa Doa adalah Kesombongan, Doa tanpa Kerja adalah Kesia-siaan

Dikotomi: Bekerja atau Berdoa

Namun demikian, banyak pihak akhirnya bukan menggabungkan, mengimbangi, dan menyertai bekerja dengan berdoa, namun malah mendikotomikan keduanya. Bukan Ora et Labora melainkan menjadi Orare uel Laborare (berdoa atau bekerja). Mengandung pemahaman bahwa bila kita berdoa, artinya kita tidak sedang bekerja. Demikian pula kalau kita bekerja, artinya kita sedang tidak berdoa. Kita memisahkan kaitan penting makna dan aktivitas keduanya. Ada saatnya berdoa dan ada saatnya bekerja. Waktu berdoa tidak sama dengan waktu bekerja. Berdoa merupakan aktivitas tersendiri demikian pula dengan bekerja.

Hal ini sering kali menggambarkan perilaku kita dalam menyikapi keduanya. Tanpa sadar kita mempraktikkan ‘Orare uel Laborare’ dan bukannya ‘Ora et Labora’ dalam makna yang dikehendaki semula. Ketika perilaku rohani kita mengatakan bahwa kita akan menaikkan doa untuk setiap kegiatan yang akan kita awali, maka kita berdoa sebelum makan, sebelum tidur, sebelum bepergian. Namun demikian, apakah kita juga berdoa untuk memulai kegiatan lain, misalnya: mandi, sekadar minum, mengerjakan tugas, bermain, membaca, mengirim barang, menagih utang, mengikat tali sepatu, mencuci piring, memberi makan binatang peliharaan, menyetrika, berhubungan suami istri, menonton film, dan lain sebagainya?

Mengapa hanya ketika hendak makan, tidur, atau bepergian saja kita berdoa? Bukankah yang lain juga merupakan kegiatan yang banyak kita lakukan, bahkan jauh lebih banyak daripada makan, tidur, dan bepergian itu sendiri?

Kita berdoa untuk mengingat dan meminta penyertaan serta pertolongan Tuhan, sumber kekuatan dan berkat bagi kita. Namun apakah sikap kita selama makan, tidur, atau bepergian juga mengingat, menyadari, serta meyakini penyertaan Tuhan di dalamnya? Tuhan senantiasa ada bersama dan dekat sekali dengan kita, sehingga setiap sikap yang kita lakukan, kita yakini dalam pengawasan Tuhan? Biasanya: Tidak! Kita merasa bebas makan apa pun, dengan cara dan sikap seperti apa pun yang kita mau. Toh kita sudah berdoa sebelumnya. Demikian juga dengan sikap kita menuju tidur. Bahkan pada waktu sela antara berdoa dan tidur itu sendiri, kita seolah-olah bebas mau melakukan apa saja karena sudah mendapat tiket untuk tidur yang terlindungi. Kita cenderung menganggap Tuhan sudah tidak ada di dekat kita waktu itu. Tuhan sudah pergi jauh seiring ‘amin’-nya doa kita menjelang tidur tadi, sehingga kita bebas beraktivitas yang menyenangkan hati kita. Bahkan merupakan waktu terbaik untuk kegiatan pribadi yang tersembunyi, di mana anggota keluarga yang lain tidak perlu mengetahuinya. Demikian juga dengan sikap kita dalam bepergian: cara kita mengemudikan kendaraan, respons kita ketika harus berbagi jalan dengan kendaraan lain, disiplin dan ketertiban kita di jalan raya, apakah mencerminkan bahwa kita sedang bersama Tuhan waktu itu?

Dalam kehidupan kekristenan hal ini juga menjadi fenomena yang cukup memprihatinkan. Berdoa atau beribadah dipahami sebagai aktivitas pada hari Minggu saja. Hari ketika semua umat beribadah di gedung gerejanya. Saat itu semua orang terlihat sangat rohani, penuh sukacita, ramah terhadap sesama, murah hati dan bersyukur, serta mempraktikkan ajaran Kitab suci dan Firman Tuhan. Namun demikian, apakah tetap seperti itu sikap dan respons mereka selama hari-hari lain yang dianggap sebagai hari kerja? Jangan-jangan pada hari-hari lain itu sikap mereka tidak seperti yang ditunjukkan di gereja, pada hari yang dianggap sebagai hari doa atau ibadah. Bila sifat mereka menjadi sangat berlainan: menjadi teman yang tidak menyenangkan, atasan yang bengis dan menindas, bawahan yang malas, rekan bisnis yang culas, bendahara yang tidak jujur, penindas sesama yang lemah, petugas yang tidak berintegritas, usahawan yang rakus, pemimpin agama yang tidak mencerminkan keagungan Sembahannya, pelajar yang tidak bertanggung jawab, suami atau istri yang disfungsi dalam keluarganya, serta pejabat yang korupsi… maka tidaklah perlu merasa heran, karena itu semua adalah konsekuensi logis dari mendikotomikan berdoa dan bekerja, ‘orare uel laborare’.

‘Laborare est Orare’</strong>

Ketika ‘Ora et Labora’ disalahpahami seolah-olah menjadi dua hal yang terpisah dan menimbulkan dampak kehidupan spiritual yang semu, maka lahirlah sebuah ungkapan baru ‘Laborare est Orare‘ yang artinya bekerja adalah berdoa. Kerja adalah ibadah. Mereka yang bekerja keras dengan niat tulus untuk menghidupi diri sendiri, keluarga, dan sesama dinilai sudah melaksanakan doa karena sesungguhnya kerja adalah doa. Ungkapan ini tidak bermaksud meniadakan doa sebagai sebuah kegiatan ritual, fisik, dan verbal.

Doa secara verbal tetap perlu. Doa sesuai ritual agama yang diyakini tetap dibutuhkan. Namun, ‘kerja’ harus diberikan nilai yang tinggi. Kerja keras yang tulus memberikan banyak manfaat, yakni menghasilkan nafkah, menolong sesama, membangun peradaban, dan sebuah bentuk penguasaan diri. Orang yang tidak bisa menguasai diri takkan mampu bekerja dengan tekun. Karena itu, kerja adalah juga doa.

’Laborare est Orare’ – apapun yang kita lakukan adalah yang kita persembahkan kepada Allah.

Pendeta Joas menceritakan pengalaman salah seorang rekan pendetanya yang mempraktikkan sikap ‘Laborare est Orare’ sehingga ia tidak menjadikan ‘berdoa dulu baru makan’ sebagai ritualnya. Dalam makannya itulah ia berdoa. Suatu kali Penatua di tempatnya bertugas tukar mimbar mengajaknya makan siang. Begitu hidangan tersaji ia langsung mencedok makanan dan menyantapnya. Namun ia segera menyadari pandangan heran sang Penatua, “Mengapa Pendeta ini tidak berdoa terlebih dulu?” Agar tidak menjadi batu sandungan bagi sesamanya maka ia segera berucap: “Oke, saya sudah mencicipi dan makanan ini enak sekali. Mari kita berdoa dulu sebelum menyantapnya.” Cerdas!

Oswald Chambers mengatakan: “Doa adalah napas orang Kristen. Bukan tentang apa yang membuatnya hidup, namun bukti bahwa ia hidup.” Orang Kristen yang tidak berdoa adalah orang Kristen yang mati, karena ia tidak lagi bisa membuktikan bahwa ia menjalani hidup kekristenannya dengan doa sebagai napasnya. Kehidupan orang Kristen senantiasa diisi dan diwarnai dengan doa. Dituliskan dalam Efesus 6:18: “Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya…”

Dengan memahami makna ‘Laborare est Orare’ mari kita tingkatkan kualitas kehidupan doa kita dengan menyatukannya dalam pekerjaan kita, karena dalam bekerja itulah juga kita berdoa. Sambil juga memahami bahwa karena bekerja adalah berdoa, maka bekerja secara sembarangan dan tidak bertanggung jawab berarti juga berdoa secara sembarangan dan tidak bertanggung jawab. Ritual yang kita lakukan jangan lagi merupakan hal yang tidak kita pahami maknanya serta kita sangkali kelanjutannya. Bertobatlah dari melakukan dikotomi atas bekerja dan berdoa. Kita berdoa dalam segenap langkah kehidupan yang kita jalani sambil mengingat kehadiran dan penyertaan Allah di situ. Bebaskanlah diri dari rumusan rumusan yang tidak menumbuhkan iman dan kehidupan kekristenan kita, dengan hidup secara apa adanya, hidup dengan penuh kesadaran. •

|SUJARWO

____________________________
– Terinspirasi dan mengadaptasi dari karya Pdt. Joas Adiprasetya, Spiritualitas Keseharian,
– Menyunting dari karya Primus Dorimulu, Selamat Ultah Pak Jacob Oetama, BeritaSatu.com

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Mengasihi Sesamaku
    Mengasihi Sesamaku
    Siapakah yang pernah membayangkan bahwa kehadiran pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) ternyata telah mengubah tatanan dunia dalam waktu singkat?...