Lumpuhnya Peran Mandat Budaya Umat Kristen

Belum ada komentar 942 Views

Ketika kita melihat kondisi bangsa Indonesia akhir-akhir ini, maka yang pertama muncul dalam pikiran kita adalah semakin bobroknya moral dan martabat bangsa ini, bukan? Seakan-akan sudah tidak ada lagi etika dan norma-norma moral yang dipatuhi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada lagi contoh teladan baik yang ditunjukkan oleh para pemimpin negeri kita. Padahal, rakyat Indonesia dapat digolongkan sebagai masyarakat yang mayoritas rajin “beribadah”, jika dibandingkan dengan masyarakat di dunia Barat sekarang ini.

Komunitas-komunitas rohani pun, khususnya di kalangan umat Kristen, semakin marak berkembang di berbagai wilayah, baik itu di lingkungan perumahan, perkantoran, kampus dan bahkan di pusat-pusat perbelanjaan. Tetapi, mengapa ketika mayoritas umat Kristen Indonesia semakin menunjukkan kerajinan dan ketaatannya “beribadah” di gereja dan di komunitas-komunitas persekutuan, justru penyimpangan dan pelunturan terhadap nilai-nilai normatif dan standar-standar moral lebih terlihat semakin meningkat di hampir seluruh lini kehidupan dari waktu ke waktu? Bukankah di setiap lini kehidupan tersebut, hadir pula orang-orang Kristen yang taat dan rajin beribadah di dalamnya, baik itu di bidang ekonomi, kesenian, politik, teknologi, kesehatan, budaya, pendidikan dan sebagainya? Bukankah orang-orang Kristen yang taat dan rajin beribadah ini seharusnya bekerja menggarap dan menggarami “tanah” di mana ia ditempatkan oleh Tuhan sehingga “tanah” tersebut bertumbuh menjadi berkat dan bukan kutukan bagi setiap orang yang mendiaminya? Apakah penyebab lumpuhnya peran umat Kristen Indonesia di dalam menghadapi tantangan mandat budaya zaman sekarang ini?

Dualisme di dalam Memahami Konsep Panggilan Ibadah

Kesalahan utama yang kerap dilakukan oleh umat Kristen di dalam memahami konsep panggilan ibadah ini adalah ketika di satu sisi mulai menggolongkan kegiatan penginjilan, berdoa, penyelidikan Alkitab, kebaktian, persekutuan dan berpaduan suara, ditambah lagi dengan “kesalehan” untuk tidak melakukan hal-hal yang melanggar ajaran Firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai bentuk panggilan ibadah yang primer; sementara kegiatan-kegiatan pengembangan kultural, baik itu di bidang ilmu pengetahuan, seni budaya, ekonomi, sosial, teknologi, pendidikan, terlebih lagi di bidang politik, sering digolongkan sebagai panggilan ibadah yang bersifat sekunder baik sadar maupun tidak sadar (jika tidak mau dikatakan sebagai kegiatan sekuler) karena dianggap tidak banyak terkait dengan “panggilan keselamatan manusia”. Apakah penyebab munculnya cara pandang yang “dualistis” ini?

1.    Memahami Natur Ciptaan yang Telah Jatuh Dalam Dosa Secara Fatalistik

“Pengkotakkan” atau pendikotomian terhadap konsep panggilan ibadah ini disebabkan oleh penekanan yang tidak seimbang oleh sebagian orang Kristen terhadap konsep natur ciptaan yang telah jatuh dalam dosa, sehingga kerap mereka tanpa sadar terseret di dalam menempatkan kegiatan-kegiatan gerejawi sebagai aktivitas yang berada di “atas” atau “jauh lebih penting” daripada kegiatan-kegiatan di luar lingkup wilayah gerejawi. Akibatnya, kegiatan-kegiatan gerejawi seperti penyelidikan Alkitab, berdoa, penginjilan, kebaktian, persekutuan dan berpaduan suara mulai dikategorikan ke dalam wilayah yang berada di dalam anugerah penebusan Kristus, sehingga cenderung mendapat tempat yang lebih utama dari semua kegiatan lainnya karena berkaitan dengan keselamatan manusia. Inilah yang kerap dikategorikan sebagai sebuah “kegiatan beribadah” atau “panggilan beribadah” sebenarnya oleh mayoritas orang Kristen saat ini.

Sementara kegiatan pengembangan kultural (apalagi kegiatan di bidang politik) dipandang sebagai sebuah kegiatan yang sia-sia bagai menggarami air lautan karena berada di dalam wilayah yang sudah sangat dicemari oleh dosa dan berada jauh dari anugerah penebusan Kristus. Kecenderungan seorang Kristen yang memahami natur ciptaan yang telah jatuh dalam dosa secara fatalistik, akan mudah menyeret dirinya ke dalam cara pandang yang tanpa disadarinya telah membatasi supremasi Allah hanya pada lingkup atau pada tindakan tertentu.

Kondisi Indonesia sekarang yang sudah sangat bobrok membuat orang Kristen semakin pesimis untuk melihat adanya kemungkinan Allah memiliki rencana untuk memperbarui bangsa dan negara ini di masa depan. Terlebih lagi banyak penginjil dan pendeta yang kerap memberitakan bahwa pada hakikatnya nasib umat manusia memang harus menjalani kehidupan yang semakin lama semakin buruk dan hal ini tidak mungkin untuk dilawan.

Akibat dari wawasan dunia ini, banyak orang Kristen baik sadar maupun tidak sadar mulai menjauhkan dirinya dari mandat pengembangan budaya karena selain dianggap tidak terkait dengan janji keselamatan Tuhan, mereka juga diberikan pandangan-pandangan yang pesimistik terhadap mandat budaya manusia di dunia. Dampaknya kemudian adalah orang-orang Kristen yang taat dan saleh justru menjauhi urusan yang terkait dengan urusan publik dan mencari ruang nyaman (finding a comfort zone) di dalam berbagai aktivitis gerejawi. Tanpa disadari, mereka telah membatasi supremasi Allah hanya pada lingkup gerejawi. Inilah yang menurut banyak orang Kristen lebih dipentingkan oleh Tuhan daripada mengurusi masyarakat Indonesia yang sudah semakin korup dan berdosa sekarang ini. “Lalu siapakah yang akan mengurus kebijakan-kebijakan publik?

Akibat dari cara pandang yang dualistis ini, orang-orang Kristen yang taat dan saleh tanpa disadari telah menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab kultural yang terkait dengan urusan publik ke tangan para politisi dan pejabat negara yang korup! Toh bagi mereka negara ini adalah bagian dari ciptaan yang telah jatuh di dalam dosa dan tidak mungkin diperbarui kecuali oleh Tuhan. Alasan ini kerap dijadikan pembenaran oleh sebagian umat Kristen untuk bersikap tak acuh terhadap urusan publik dan lari dari tanggung jawab sebagai penegak norma Allah di dunia.

Namun penulis ingat akan perkataan seorang politisi Irlandia bernama Edmund Burke yang mengatakan: “hanya satu hal yang dibutuhkan bagi kejahatan untuk menang yakni bagi orang-orang baik untuk tidak melakukan apa pun.” (“the only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.”). Tuhan membutuhkan beberapa orang Kristen yang baik bukan hanya agar menerima janji keselamatan, tetapi untuk memulihkan ciptaan-Nya (God needs a few good christian men not only for them to be saved, but for them to regained His creation).

2.    Mengidentikkan Kehidupan Religius Hanya Sebatas Kehidupan Gerejawi Semata

Kita sebagai umat Kristen memang harus menyadari bahwa seluruh kehidupan kita bersifat religius, tetapi tidak semuanya bersifat gerejawi. Inilah yang sering tidak dipahami dan ditempatkan secara tidak tepat oleh umat Kristen sekarang ini. Kesadaran bahwa kehidupan kita bersifat religius dapat menuntun diri kita untuk tetap mengandalkan kekuatan Allah yang berdaulat atas sejarah dan alam semesta di dalam upaya melaksanakan pembaruan di tengah masyarakat. Tanpa itu, kita akan mudah jatuh ke dalam pola-pola pragmatis dan upaya pencarian kiat-kiat yang mengandalkan kekuatan diri kita di dalam melaksanakan tugas mandat budaya yang penuh dengan dinamika.
Tetapi kita juga mesti menyadari bahwa tidak seluruh kehidupan beragama kita bersifat gerejawi. Ketika kita jatuh ke dalam cara pandang yang mengkotakkan hidup antara yang gerejawi dan yang non-gerejawi, maka kita akan cenderung menempatkan keyakinan iman dan seluruh pengetahuan akan Firman Tuhan yang kita ketahui hanya pada lingkup gerejawi, sementara menyerahkan sebagian pemikiran dan hati kita kepada pemikiran-pemikiran non-Kristen ketika kembali memasuki lingkungan kantor, organisasi masyarakat, politik, birokrasi, bisnis, sekolah dan sebagainya.

Doktrin panggilan Kristen terdiri dari dua unsur, yakni “panggilan khusus” dan “panggilan umum”. Panggilan khusus berkenaan dengan panggilan umat Kristen untuk mengabarkan berita keselamatan kepada segenap manusia bahwa Yesus-lah Juruslamat manusia dan hanya melalui Dia-lah, manusia menerima anugerah keselamatan yang diberikan oleh Allah Bapa. Sementara panggilan umum menurut Loius Berkhoff dalam bukunya Sistematika Teologi berkaitan dengan panggilan moral umat Kristen untuk:

  1. Menghambat kuasa dosa atas kehidupan dunia,
  2. Menumbuhkan kehidupan yang natural/alami,
  3. Memelihara tatanan masyarakat yang baik dan teratur.

Kecenderungan orang Kristen injili sekarang ini menitikberatkan hanya pada pelaksanaan panggilan khusus dan fokus pada pendalaman wahyu khusus (Alkitab) tanpa memperdulikan buku-buku di luar pembahasan teologi; sementara orang Kristen liberal cenderung menitikberatkan hanya pada pelaksanaan panggilan umum dan mereduksi pemahaman Alkitab menjadi kiat-kiat bagi manusia di dalam melaksanakan kehidupan bermoral. Orang Kristen yang taat pada Allah adalah orang Kristen yang bukan saja taat di dalam melaksanakan salah satu unsur dari doktrin panggilan Kristen, melainkan ia harus menempatkan dan mengaplikasikan baik panggilan khusus dan panggilan umum tersebut secara seimbang.

Henry Meeter dalam buku The Basic Ideas of Calvinisme menghimbau kepada orang Kristen agar menjadi “Seorang yang sepenuhnya percaya kepada Allah, dan yang bertekad untuk menjadikan Allah sebagai Allahnya, dalam segenap pemikiran, perasaan dan kemauannya–dalam seluruh aktivitas kehidupan, intelektual, moral dan spiritualnya–dalam semua hubungan individual, sosial dan religiusnya …”. Iman Kristen tidak hanya berkenan dengan kesalehan personal semata atau dibatasi hanya ke dalam wilayah pribadi, tetapi ia juga berkenan dengan rasa tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat. Melaksanakan tanggung jawab kultural sebagai anggota masyarakat di dalam melaksanakan tugas dan kontrol sosial juga merupakan bentuk panggilan religius yang wajib dipenuhi oleh umat Kristen.

3.    Tidak Memahami Paradoks dari Panggilan Kristen Secara Utuh

Di satu pihak, kita sebagai orang Kristen percaya bahwa dunia dan seluruh isinya–termasuk manusia–kini berada dalam keadaan rusak sebagai akibat dari dosa. Kita juga melihat dan percaya bahwa maut dan segala kejahatan yang masuk ke dalam dunia adalah sebagai hukuman atas dosa. Yang membedakan diri kita sebagai orang Kristen yang taat atau tidak adalah bagaimana respon kita terhadap panggilan Kristen di tengah realita dunia seperti ini?

Kita mungkin percaya secara kognitif bahwa semua ciptaan telah berada di bawah anugerah penebusan Kristus. Tetapi James W. Sire dalam bukunya The Universe Next Door mengungkapkan bahwa “wawasan dunia kita biasanya berada jauh di dalam alam bawah sadar kita, yang jika tidak kita refleksikan dengan susah payah, tidak akan kita sadari.” Bahkan ketika kita berpikir kita mengetahui dan memercayai bahwa seluruh ciptaan telah berada di bawah kuasa anugerah penebusan Kristus, tetapi terkadang tindakan dan perkataan kita mungkin mengingkari apa yang kita ketahui secara kognitif.

Pada kenyataannya, kebanyakan orang Kristen, sadar atau tidak sadar, justru meresponi kenyataan ini dengan mengingkari kepercayaan kognitifnya dengan menarik diri dari dunia dan kebudayaan. Manusia duniawi merasa tidak perlu memisahkan diri dari dunia, namun banyak dari orang Kristen sangat menekankan pemisahan diri dari dunia karena tidak memahami paradoks dari panggilan mereka di dalam mengambil bagian untuk meningkatkan kebudayaan dunia dan menjalankan kewajiban mereka menjadi ragi dalam masyarakat manusia.

Terkadang, pemisahan diri orang Kristen dari kebudayaan dengan cara mengutamakan panggilan khusus (panggilan keselamatan) “di atas” panggilan umum (panggilan mandat budaya) sering diartikan sebagai wujud tindakan yang semestinya di dalam menghadapi paradoks dari panggilan kehidupan umat Kristen di dunia. Pemahaman ini tidak sesuai dengan prinsip paradoks dari panggilan Kristen.

Seorang Kristen yang sejati akan mempertahankan keseimbangan di dalam pelaksanaan kedua hal tersebut (panggilan khusus dan panggilan umum) sebagaimana dituntut oleh Alkitab. Henry Meeter mengatakan bahwa “Apabila kita mengambil salah satu fakta tertentu sebagai pemikiran utama dalam ibadah agama kita, misalnya pertobatan atau baptisan, predestinasi atau pembenaran oleh iman yang menyangkut doktrin keselamatan manusia, maka keseimbangan yang benar dalam teologi kita akan hilang. Namun apabila kita sebagai orang Kristen meletakkan pada pusat sistem kita pemikiran agung tentang Allah sebagai Yang Berdaulat atas sejarah dan alam semesta, maka segala sesuatu akan menempati tempat yang benar dan mendapat penekanan yang seharusnya.”

Sebagai contoh, Orang Kristen percaya pada doktrin bahwa Allah telah memilih orang-orang yang akan diselamatkan-Nya di dalam kekekalan. Meskipun demikian, tidak ada agama yang paling menekankan umat-Nya untuk bertanggungjawab di dalam urusan publik selain dari agama Kristen. Sejarah kemajuan peradaban Barat yang diadopsi oleh negara kita (baik dalam penerapan sistem politik, pendidikan, hukum, seni dan sebagainya) merupakan fakta kebenaran itu.

Contoh lainnya adalah agama Kristen percaya bahwa hasil-hasil budaya dan pemikiran manusia sudah tercemar oleh akibat dosa. Tetapi orang-orang Kristen dikenal sebagai anggota masyarakat yang tidak takut mempelajari dan menggunakan “wahyu umum” pemikiran-pemikiran non-Kristen sebagai abdi teologi yang ditundukkan untuk melayani Kebenaran Firman Tuhan guna mengembangkan norma dan budaya ke tingkat yang lebih tinggi dan mulia. Sekali lagi, sejarah kemajuan peradaban Barat dan dampak positifnya terhadap kemajuan negara-negara non-Barat membuktikan fakta kebenaran tersebut. Inilah sebab utama mengapa negara-negara yang dipengaruhi oleh agama Kristen Protestan lebih maju budayanya dibandingkan negara-negara yang dipengaruhi oleh agama yang cenderung mudah mengharamkan ciptaan-ciptaan Tuhan baik yang langsung maupun yang dibudidayakan oleh manusia.

Pemahaman orang Kristen yang komprehensif terhadap panggilannya yang bersifat paradoks di dunia ini akan turut memengaruhi sikap mereka terhadap Alkitab. Alkitab bukan sekadar sebuah kitab yang memberi tahu bagaimana seorang Kristen dapat diselamatkan. Baginya, Alkitab adalah kitab dari Allah, yang berbicara kepadanya dalam setiap halaman dan memberi tahu dia akan segala rancangan dan tujuan Allah yang berdaulat bukan hanya dalam kaitan dengan keselamatannya, tetapi juga dengan kewajibannya dalam setiap bidang kehidupan, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian, teknologi, ilmu pengetahuan, pendidikan, keluarga dan sebagainya.

Kiranya melalui artikel ini, penulis dapat sedikit membantu membuka wawasan dunia orang-orang Kristen yang pesimistik terhadap upaya pengembangan aspek wilayah kehidupan di luar lingkup gerejawi. Cara pandang yang pesimistik terhadap tugas mandat budaya di tengah realita dunia yang berdosa, khususnya di Indonesia sekarang ini, sadar atau tidak sadar merupakan bibit penyangkalan terhadap kedaulatan Allah atas sejarah dan seluruh alam semesta.

Selain itu, pihak yang akan dituntut pertanggungjawabannya paling besar oleh Allah kelak karena membiarkan berkembang luasnya kejahatan dan pemikiran sekuler non-Kristen menguasai kebudayaan seperti yang terjadi di masa sekarang ini, adalah kita orang-orang Kristen yang bukan hanya telah dianugerahi keselamatan, tetapi juga kebenaran ilahi.

Kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan akhir-akhir ini akibat penyimpangan terhadap kebenaran, keadilan dan kebaikan yang sudah terlalu jauh menuntut keterlibatan orang-orang Kristen secara aktif untuk menegakkannya kembali sesuai dengan norma-norma yang ditetapkan Allah sehingga “tanah” Indonesia ini kembali menjadi berkat bagi masyarakatnya. Marilah kita sambut perayaan Natal 2009 dan siap memasuki Tahun Baru 2010 dengan suatu cara pandang atau wawasan dunia baru yang dapat memampukan kita melampaui batas-batas kedirian kita agar bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
Soli Deo Gloria!!

|Randy Ludwig Pea

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...