#KAMITIDAKTAKUT

#KAMITIDAKTAKUT

Belum ada komentar 43 Views

Kamis siang, 14 Januari 2016, saya dikejutkan oleh Breaking News di salah satu stasiun televisi swasta. Lagi-lagi terjadi teror bom di Jakarta. Kali ini di jantung kota Jakarta, yaitu di samping Gedung Sarinah. Berapa jam kemudian di sosial media muncul #KAMITIDAKTAKUT, untuk menunjukkan bahwa warga Jakarta sudah muak dengan teror semacam ini. Teror yang bertujuan menebarkan rasa takut ini, dilawan oleh warga Jakarta.

Rasa takut memang perlu dilawan. Rasa takut akan merugikan diri sendiri karena kontra produktif. Rasa takut membuat ‘nyata’ sesuatu yang belum terjadi di benak kita. Tetapi pertanyaannya, apakah kita pernah takut? Mungkin jawabannya, semua pernah merasakan rasa takut ini.

Takut. Ya ketakutan, adalah masalah manusia pada umumnya. Kita semua pernah takut. Kalau orang tidak pernah takut, ada tiga kemungkinan, dia mati, gila atau bodoh! Ketakutan satu orang belum tentu sama dengan orang lain, bahkan kadang-kadang kita heran melihat orang lain takut pada sesuatu yang sepele, yang menurut pendapat kita tidak perlu ditakuti.

Kejadian hampir delapan belas tahun lalu, yang lebih dikenal dengan “kerusuhan Mei”, adalah peristiwa yang membuat puluhan ribu bahkan jutaan penduduk Jakarta takut, bahkan trauma sampai saat ini. Seperti yang saya alami pada waktu itu. Karena saya takut pulang, maka saya tidur di Bogor pada tanggal 12 Mei 1998 malam, dan keesokan harinya pada pagi buta saya pulang ke Jakarta lewat jalan tol Jagorawi yang gratis karena penjaganya juga takut bertugas. Sepanjang perjalanan kurang lebih satu jam itu saya merasakan ketakutan yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata. Dan akhirnya saya sampai ke rumah dengan selamat. Puji Tuhan!

Lain lagi ketakutan saya waktu masih kecil. Sewaktu saya duduk di SD kelas 6, saya tinggal di sebuah desa yang waktu itu belum dialiri listrik. Menjelang ujian akhir, saya bersama seorang teman setiap malam belajar tambahan pada guru saya. Kami berdua berjalan kaki ke rumah guru tersebut yang jaraknya kurang lebih 1 km dari desa kami. Jalan itu gelap dan melewati kuburan. Suatu malam, di kuburan tersebut terdengar suara seperti seorang bayi yang menangis. Kontan kami lari pulang. Sesampainya saya di rumah dan ditanya Papi, saya menjelaskan. Lalu Papi mengajak saya kembali ke kuburan itu untuk mencari suara yang menakutkan tadi. Ternyata hanya suara seekor anak anjing yang kedinginan. Sejak saat itu saya tidak takut lagi melewati kuburan.

Kalau bos saya ditanya, apa yang ditakutinya, maka ia menjawab bahwa ia takut mati. Kalau bisnisnya rugi, dia tidak takut. Saya tidak tahu apa alasannya ia takut mati. Saya juga pernah mengobrol santai dengan klien saya yang sudah menjadi konglomerat muda di Indonesia. Dia ternyata takut miskin. Waktu kecil, keluarganya hidup miskin, sehingga ia pernah merasakan ”tidak enaknya” miskin dan sudah merasakan ”enaknya” kaya.

Takut adalah sesuatu yang ada di hadapan kita. Sesuatu yang riil, yang manusiawi. Konon di dalam Alkitab, tertulis ucapan ”Jangan takut” sebanyak 365 kali. Berarti setiap hari Tuhan berpesan kepada kita supaya tidak takut. Kenapa Tuhan berpesan supaya kita ”Jangan takut”?

Mari kita belajar pada Tuhan Yesus. Ada dua langkah yang Yesus teladankan agar kita terlepas dari cengkeraman takut.

Pertama, kita tidak punya pilihan lain. Ketakutan itu mesti kita hadapi. Bila ia datang, jangan lari! Ketika Yesus takut, Dia mengakuinya. ”Aku merasa takut dan gentar. Seperti mau mati rasanya.” Begitu kata-Nya di taman Getsemani. Yesus mengalahkan maut dengan masuk ke alam maut. Kerap kali, ketika kita benar-benar berani menghadapi, apa yang kita takuti itu sesungguhnya tak perlu kita takuti. Banyak orang sakit meninggal, bukan karena sakit itu, tapi karena rasa takut. Mereka tidak berani menghadapi dan menyerah kepada penyakit itu.

Langkah kedua yang diajarkan Yesus adalah menyerahkan ketakutan kita kepada Tuhan. Yesus berdoa, dan menyerahkan ketakutan-Nya kepada Sang Bapa. Hanya Allah yang mau menerima dan mengambil alih ketakutan kita, sebab Dia adalah kasih. Kasih melenyapkan ketakutan. Oleh karena itu, benar apa yang dikatakan pemazmur: ”Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.”

”Engkau besertaku”, inilah kuncinya. Selama ini, apakah kita tidak dijaga dan disertai-Nya? Pengalaman hidup kita seharusnya menjadi guru yang terbaik. Apakah selama ini ketakutan kita cukup beralasan? Toh kita baik-baik saja sampai sekarang.

Ketakutan-ketakutan yang kita alami sebetulnya tidak perlu, karena iman kita membuat kita berani menjalani hidup ini, apapun kesulitan yang ada di depan kita. Karena kita yakin bahwa rancangan Tuhan untuk kehidupan kita adalah rancangan kebaikan bagi kita. Dia tahu apa yang terbaik bagi kita, sekaligus tahu kapan waktunya.

Selamat menghadapi ketakutan dan menang!

» Eddy Nugroho

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Edukasi
  • THE ART OF LISTENING
    Menjadi pendengar yang baik? Ah, semua juga bisa! Tapi apakah sekadar mendengar bisa disamakan dengan menjadi pendengar yang baik?...
  • To infinity and beyond!
    Saya salah satu penggemar petualangan seru dan epik dari Buzz Lightyear dan Woody, sahabatnya (Film: Toy Story 1995). Buzz...
  • Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Selamat pagi, siang, sore, dan malam. Menjalani setiap hari dengan rutinitas yang sama, sampai tiba saatnya Natal dan Tahun...
  • WOMEN ON FIRE
    Perempuan Warga Kelas Dua Sepertinya dari dulu perempuan cenderung ditempatkan sebagai warga kelas dua dalam status sosial. Hal ini...
  • Doketisme
    Doketisme
    doktrin keilahian yang kebablasan
    Fanatisme Spiritualitas Fanatisme sebuah spiritualitas yang secara berlebihan menekankan hal-hal tertentu dan kurang menganggap penting hal-hal lain, sering kali...