Jangan Terus Membohongi Pasien

Belum ada komentar 257 Views

Baru-baru ini pihak Departemen Kesehatan mulai tergugah menertibkan peredaran iklan-iklan kesehatan yang merugikan masyarakat karena terbukti tidak benar, atau pembohongan. Setiap kali memberi seminar, pertanyaan ihwal pengobatan alternatif selalu muncul dalam pertanyaan. Dan itu semua yang selama ini bikin saya prihatin.

Makin subur terapi alternatif apa saja, makin tersesat pasien dalam berobat. Dan itu terjadi di sini. Hampir tiap hari beredar broadcast di media sosial ihwal terapi yang tidak jelas. Bawang putih dicampur jahe dan kismis direndam anggur merah bisa merontokkan tumpukan lemak pembuluh jantung. Untuk tujuan yang sama bisa dilakukan dengan minum air kelapa porsi besar selama dua minggu. Jamur kuping menurunkan kolesterol. Buah atep menyembuhkan penyakit lutut, kalung menyembuhkan stroke, gelang mengobati encok, banyak lagi yang tidak masuk nalar medis, dan ini terbilang dark number. Tidak tercatat berapa pasien yang sudah menjadi korban. Mengapa semua itu bohong?

Medis belum menemukan obat atau cara yang mampu meluruhkan tumpukan lemak (plaque) yang melekat erat pada pembuluh darah, selain dengan cara dikerok. Cara mengerok pun belum ditemukan. Juga belum ada bukti ilmiah racikan di atas dan jamur kuping menurunkan kolesterol. Penyakit lutut lebih dari satu, buah atep belum punya bukti ilmiah, dan buah atep untuk penyakit lutut yang mana? Untuk bisa sembuh dari stroke, sel otak yang mati akibat serangan stroke harus bisa dihidupkan kembali. Lalu bagaimana hebatnya kalung berkhasiat terhadap kondisi sel otak yang sudah mati, ketika medis belum menemukan obat dan caranya. Encok sendiri ada bermacam-macam, bagaimana penjelasan medisnya gelang berkhasiat bisa menyembuhkan, misalnya encok sebab asam urat, atau encok sebab kelainan darah yang seturut medis hanya bisa dilawan dengan obat.

Melihat tak sedikit pasien kita tersesat dalam berobat, konon disinyalir, makin banyak pasien kanker kita gagal ditolong medis hanya lantaran ia mampir-mampir dulu di orang pinter, atau memilih terapi entah apa. Ketika kanker masih stadium awal, mestinya dengan mudah medis menyembuhkan. Namun karena mampir dulu di orang pinter, bertahun-tahun dengan ongkos yang belum tentu kecil, lalu tidak sembuh, baru beralih ke dokter. Dokter angkat tangan karena kankernya sudah telanjur lanjut.

Belajar Skeptik Terhadap Pengobatan

Masyarakat perlu belajar skeptis terhadap apa pun tawaran pengobatan nonmedis yang beredar semarak di iklan media massa, selain program yang masih tayang di sejumlah televisi. Alih-alih menyembuhkan, malah justru merugikan, kalau bukan pasien telanjur kehilangan nyawa. Kalaupun ada yang sembuh, di mata medis tidak sahih, karena yang tidak sembuh umumnya jauh lebih banyak.

Pasien diabetik berharap sembuh dari sandal berduri di iklan televisi, namun setelah dipakai gula darahnya terus melonjak, berujung komplikasi ginjal, lalu meninggal akibat gagal ginjal, hanya lantaran keliru memilih alamat berobat. Sayangnya tidak ada yang memberi tahu masyarakat agar jangan lekas percaya pada iklan berobat.

Sejatinya tidak sederhana dalam hal mengobati. Dunia medis perlu puluhan tahun untuk menemukan obat. Tak cukup hanya terbukti berkhasiat. Berkhasiat saja tapi tidak aman, belum boleh menjadi obat. Tidak demikian halnya terapi alternatif. Bahan berkhasiat, jamu, herbal, atau cara entah apa hanya dilihat sisi berkhasiatnya semata.

Kasus harus cangkok ginjal sehabis bulanan minum obat cina untuk encok, membuktikan bahwa kendati memakai bahan alami, obat cina itu belum tentu aman bagi tubuh. Banyak herbal di Thailand dan Jepang ditarik karena terbukti tidak aman. Bahan berkhasiat jahe hutan (aristolochiaceae) yang banyak dipakai dalam ramuan cina, bertabiat merusak ginjal selain mencetuskan kanker.

Waspadai pula cara terapi atau penyembuhan nonmedis dengan alat yang kini banyak ditawarkan. Tubuh kita ada listriknya. Pastikan apakah peralatan nonmedis dengan memanfaatkan listrik atau magnet yang digunakan tidak berpengaruh buruk terhadap listrik tubuh. Apalagi kalau cara terapi sampai memasukkan sesuatu zat ke dalam tubuh (invasive), adakah izin menggunakannya?

Demi melindungi pasien, kita mengacu pada Badan Pengawasan Obat (FDA). Bukan sedikit pasien kita tertipu oleh kursi berlistrik untuk mengobati penyakit apa saja, dan belakangan baru ketahuan kalau ternyata itu bohong. Logika medisnya, makin banyak klaim penyakit yang bisa disembuhkan, makin banyak bohongnya.

Nalar medisnya begini. Tidak ada satu obat atau cara untuk segala penyakit. Klaim terapi alternatif atau sejenisnya cenderung menjanjikan bisa menyembuhkan penyakit apa saja. Nalar medisnya tidak mungkin bisa demikian.

Setiap penyakit punya mekanisme terjadinya masing-masing. Tensi darah meninggi berbeda mekanismenya dengan kejadian tensi darah yang rendah. Mana mungkin satu bahan berkhasiat bisa mengatasi tensi tinggi sekaligus bisa pula untuk tensi rendah. Begitu pula halnya kasus keputihan, ada tiga penyebabnya. Mana mungkin hanya sebuah ramuan bisa untuk menyembuhkan ketiganya.

Masyarakat perlu terbiasa bernalar medis seperti itu. Termasuk mampu skeptis menyanggah klaim alternatif yang mengaku bisa menyembuhkan, padahal dunia medik belum menemukan obatnya. Nalar kita, kalau benar bisa menyembuhkan yang dunia medis belum punya obatnya, seharusnya sudah mendapat Hadiah Nobel. Nyatanya kan tidak.

Perlu Bukti Ilmiah

Apapun bahan berkhasiat, ramuan, herbal, atau cara terapi yang mengklaim bisa menyembuhkan, perlu ditagih bukti ilmiah (evidence based) apakah benar berkhasiat. Benar berkhasiat saja namun tidak aman, tetap tidak boleh diterima sebagai obat. Tidak sedikit bahan yang mengaku berkhasiat yang beredar di pasar, sudah terbukti berkhasiat.

Kita mengenal bahan berkhasiat masih kasar (raw material) yang belum teruji khasiatnya, kemudian baru naik kelas menjadi herbal setelah uji khasiat dan uji hewan, dan lalu naik kelas lagi menjadi phytopharmaca setelah menempuh protokoler uji lengkap, sebelum kemudian diterima menjadi obat. Logika medisnya hanya phytopharmaca yang baru terbilang obat.

Bawang putih diterima karena ada zat berkhasiatnya. Di balik zat berkhasiat bawang putih, terkandung pula zat yang tidak berkhasiat, yang bersifat merugikan tubuh. Kita perlu membuang zat yang merugikan supaya aman bagi tubuh. Untuk menyaripatikan hanya zat berkhasiat, perlu teknologi. Untuk teknologi itulah kita membayar lebih mahal kapsul bawang putih yang sudah hilang bau dan hilang pula zat yang merangsang lambung. Itu berarti tidak benar bahwa satu siung bawang putih tunggal-lanang sama khasiatnya dengan satu kapsul bawang putih murni yang untuk membuatnya satu dosis, perlu beberapa siung.

Buah pace diterima punya khasiat. Perlu buah pace dengan derajat kematangan tertentu, pemanasan tertentu, selain dari spesies tertentu untuk memberikan khasiat mengkudu optimal. Maka ekstrak buah Noni jauh lebih mahal dari hanya sekadar buah mengkudu yang dipetik dari pohon. Jadi memang tidak sesederhana itu memanfaatkan khasiat buah pace. Soal apakah zat berkhasiat dalam bawang putih dan buah pace bisa untuk menyembuhkan penyakit apa saja, itulah yang salah kaprah.

Ikan gabus sekarang jadi mahal hanya karena kandungan albuminnya tinggi. Karena albumin dibutuhkan oleh kasus gagal ginjal, maka diklaim semua kasus ginjal apa saja bisa disembuhkan dengan ikan gabus. Bahkan diklaim bisa membersihkan ginjal, padahal sejatinya ginjal tidak perlu dibersihkan.

Terapi Alternatif Dijadikan Industri

Pihak industri memanfaatkan isu zat berkhasiat dalam suatu bahan alam sebagai bisnis. Hanya karena suatu bahan alam mengandung zat antioxidan, misalnya, dan penyebab kanker antara lain kekurangan antioxidan, maka dianggap bahwa mengonsumsi antioxidan bisa menyembuhkan kanker. Logika medisnya tidak demikian.

Banyak tawaran terapi alternatif yang tidak nalar di mata medis. Kasus tidak punya anak, lebih sepuluh penyebabnya, baik pada suami maupun pada istri. Bagaimana sebuah cara, atau suatu ramuan, bisa mengatasi semua penyebabnya, tentu tak mungkin. Diabetes hanya bisa dikendalikan, untuk sembuh total perlu teknologi stem-cell. Jadi bohong kalau ada obat atau cara alternatif yang mengaku bisa menyembuhkan kencing manis.

Dunia medis bukan menafikan terapi alternatif. Ada sekelompok terapi atau healing alternatif yang diterima medik sebagai complementary alternative medicine, termasuk acupuncture, acupressure, homeopathy, chiropractic, untuk menyebut beberapa. Namun tidak setiap alternatif serta merta bisa diterima karena belum tentu masuk akal medis.

Berobat yang sudah pasti sajalah. Kalau dunia medis punya obat dan caranya, kenapa bersusah payah mencari alamat berobat lain yang belum jelas. Susahnya, masyarakat kita kebanjiran iming-iming berobat yang tak jelas, yang masih bebas beredar di banyak iklan media massa, selain tayangan televisi. Masih ada stasiun televisi kita yang menayangkan pengobatan dan penyembuhan yang tidak jelas. Ini catatan buat Departemen Kesehatan.

Di mana-mana negara, orang bukan dokter yang sekadar menganjurkan obat tertentu pada pasien, ada regulasinya. Di negeri kita, orang bukan dokter bisa dengan bebas menawarkan program diet, program terapi, bahkan sampai yang bersifat invasive kepada masyarakat luas, tanpa ada pasal hukumnya. Bahkan sekalipun disinyalir sudah ada korbannya, siapa saja di negara kita masih bisa bertindak seperti profesi dokter. Ini catatan lain buat Ikatan Dokter Indonesia juga.***

» DR Handrawan Nadesul

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Kesehatan
  • MINDFUL EATING
    Alasan terutama untuk menjadi mindful adalah dengan menyadari bahwa tubuh ini adalah bait Allah yang perlu kita syukuri dan...
  • Demam Berdarah Bisa Dicegah
    Demam berdarah dengue (DBD) diberitakan berjangkit di sejumlah daerah sekarang ini. Penyakit ini buat kita dianggap jamak. Apakah memang...
  • Menunda Proses Menua
    Menua itu pasti, tetapi ilmu dan teknologi medis bisa menundanya. Berumur panjang itu pilihan, bukan menerima keadaan, melainkan memilih...
  • Nasib Kita Di Hadapan COVID
    Sekarang ini makin banyak orang gelisah, galau, khawatir, takut, dan fobia di tengah ingar bingar informasi yang “mis” maupun...