Inner Child

Inner Child

Belum ada komentar 1251 Views

Apa yang dimaksud dengan inner child? Inner child adalah little child (anak kecil) yang ada dalam diri setiap orang yang memiliki kerinduan untuk disayang, diperhatikan dan diberi “makan”. Ada orang yang dapat mengendalikan inner child yang ada di dalam dirinya, tetapi ada juga yang tidak dapat mengontrolnya sehingga inner child ini muncul dan merugikan dirinya sendiri serta orang-orang di sekitarnya. Inner child dapat berupa:

  1. Emosi dan perasaan sensitif kita;
  2. Rasa frustasi, luka batin, penolakan atau kekerasan yang dialami pada masa kecil dan bertahan tersimpan sampai seseorang dewasa;
  3. Secara positif dapat berupa rasa senang, nyaman, kreatif dan imajinatif dan secara positif nyata juga dalam diri seorang dewasa

Dari mana inner child itu muncul? Inner child mengacu pada pengalaman dan memori emosional (ingatan pada perasaan kita) ketika kita masih kanak-kanak atau muda, yang tersimpan di dalam otak kita.

The inner child also refers to all of the emotional memory and experiences stored in the brain from earliest memory. (Wikipedia)

Pengalaman masa lalu kita rupanya disimpan dalam sebuah gudang atau bank di dalam otak kita (brain’s memory bank). Mari kita praktikkan, apakah di dalam benak kita tersimpan memori sejak masa kanak-kanak kita. Pejamkan sejenak mata Anda dan tenangkan diri Anda, lalu bayangkan sebuah peristiwa yang Anda alami bersama orangtua Anda.

Apa yang Anda dapatkan dari pengalaman tersebut? Ada pengalaman negatif yang muncul tetapi juga ada pengalaman positif. Selama inner child itu positif, ia akan mendorong kita secara positif untuk melakukan hal-hal yang baik dan membangun untuk diri kita sendiri dan orang lain.

Saya jadi teringat akan masa lalu saya yang penuh dengan kebebasan. Di usia 5 tahun saya sudah diberikan kebebasan dalam bermain. Saya bermain di tumpukan pasir di depan rumah, main di kolam ikan di belakang rumah, main masak-masakan dengan bahan-bahan dari alam karena kebetulan di depan rumah kami terdapat kebun yang luas. Saya juga mengalami bebasnya bermain sepeda mengelilingi daerah tempat tinggal saya. Ada kalanya saya tersesat tetapi akhirnya menemukan jalan pulang karena bereksperimen keluar masuk jalan-jalan yang asing bagi saya. Saya juga berulang kali tidak jera melewati pinggir kuburan, sekolah, pinggir rel kereta api dan tempat-tempat menarik lainnya bagi petualangan saya setiap siang setelah pulang sekolah.

Kini saat kebebasan itu diberikan kembali, senang rasanya menemukan hal-hal baru dan ide-ide baru.

Berbeda dengan inner child yang negatif. Saat ia muncul, ia akan merusak diri sendiri dan orang lain. Kadang-kadang ia menyakiti dan menekan orang lain bahkan juga orang-orang yang dikasihinya.

Contohnya saja seorang bapak yang selalu ditekan karena rupanya dia adalah anak bungsu dari keluarganya. Ia selalu diminta untuk diam padahal di dalam hati dan pikirannya, ada pemberontakan yang sangat kuat. Di sekolah, karena inner child di dalam dirinya penuh dengan pemberontakan, ia menjadi seorang murid yang sering kali menekan teman-temannya yang lemah. Kemudian pada saat ia dewasa, besar sekali ambisinya untuk menekan orang-orang lemah. Sebagai atasan ia berhasil, ya berhasil untuk memerintah atau memimpin bawahan-bawahannya tanpa memberi kesempatan kepada para bawahan untuk mengemukakan pendapat. Yang dia ketahui hanya satu hal, komunikasi satu arah, pentingnya otoritas dan yang menang adalah mereka yang kuat.

Kalau begitu, tentunya kita perlu tahu, mengapa inner child yang negatif dapat muncul di dalam diri kita. Salah satu alasannya disebabkan oleh disfungsi keluarga (dysfunctional family). Akibatnya, ada ketidakdewasaan yang tertinggal di dalam diri seseorang akibat masa lalu yang mengalami:

  • Pertumbuhan yang sangat cepat, sehingga tidak menyadari bahwa banyak pelajaran hidup yang mendewasakan kita, telah kita lewatkan. Misalnya, karena kita atau anak-anak kita memiliki banyak kegiatan di luar jam sekolah sewaktu usia sekolah, kita melewatkan masa-masa di mana kita belajar mencuci piring, mengambil minum sendiri, bahkan membereskan tempat tidur. Akibatnya, saat kita beranjak dewasa, kita tidak paham bagaimana caranya mencuci piring, mengambil minum untuk diri kita sendiri, bahkan mengganti seprai kasur kita. Kita atau anak-anak kita berteriak dan marah saat seseorang tidak mengerjakannya untuk kita.
  • Public image atau citra diri sesuai dengan penilaian publik, tanpa menjadi diri kita sendiri. Contohnya saja anak-anak pendeta. Secara tidak langsung, mereka dituntut untuk bertutur kata sopan, menyalami semua orang yang mereka jumpai khususnya di lingkungan gereja dan tempat pelayanan orangtuanya, termasuk tidak boleh melakukan tindakan yang mencoreng image orangtuanya.
  • Tekanan (repressed) terhadap sukacita, visi (cita-cita) maupun perasaan yang sesungguhnya. Saya jadi teringat kepada seorang oma berusia 69 tahun yang tidak dapat tertawa lepas akibat di masa kecilnya selalu dilarang untuk tertawa keras-keras, apalagi membuka mulut dan memperlihatkan giginya saat tertawa. Katanya, “Ibu saya selalu menegur kami jika kami tertawa lebar-lebar, sebab menurut dia hal itu tidak sopan!”
  • Kurangnya dorongan untuk mengembangkan potensi dalam hidup. Saya bertemu seorang bapak yang menghendaki anaknya melanjutkan studi ke perguruan tinggi, namun ternyata putranya sangat menyukai seni tari. Syukurlah bapak itu akhirnya merelakan anaknya untuk mengikuti sekolah kejuruan seni dan tari sehingga saat ini anak laki-laki tersebut menjadi penari yang sangat memukau. Namun bukankah ada juga orangtua yang kurang menyadari bahwa sesungguhnya anak-anak mereka memiliki potensi khusus yang perlu digali dan bukan dipaksa untuk menjadi seseorang seperti yang kita inginkan?

Akibat dari hal-hal di atas, seseorang akan memunculkan inner child-nya, antara lain dalam bentuk:

  1. Penyangkalan terhadap perasaan kita yang sebenarnya. Salah satunya, kita dapat berlaku kasar atau sebaliknya kita tidak pernah mengatakan kalau kita marah, tetapi tiba-tiba kita kabur dari rumah saat mengalami konflik dengan anggota keluarga.
  2. Merasa tidak nyaman di tengah-tengah keributan, kebingungan ketika perasaan kita ditekan.
  3. Keinginan untuk tampil selalu baik dan terlihat baik.
  4. Pemahaman tentang kasih didasarkan pada “apa yang kita kerjakan” dan bukan pada “siapa kita sesungguhnya.” Saya kira, saya sering berjumpa dengan orang-orang seperti ini. Misalnya saat seorang dewasa menunjukkan emosi secara berlebihan, seperti marah yang tidak terkendali sehingga menyakiti orang lain, atau bahkan tertawa lepas tanpa dapat mengontrol diri.
  5. Keinginan untuk bermain mainan anak-anak atau mainan anak dalam bentuk permainan orang dewasa. Film “Big” beberapa belas tahun yang lalu mengingatkan kita pada kenyataan bahwa seorang dewasa dapat menghayati dan menciptakan permainan-permainan anak yang menakjubkan, karena ingatannya akan masa lalu.

Kalau begitu pesan apa yang disampaikan melalui pemahaman mengenai Inner Child?

Jika kita masih memiliki inner child yang negatif, kita tidak dapat belajar merasakan sesuatu secara normal, apalagi mengatur/mengatasi stres yang terjadi di dalam hidup kita. Ada juga orang-orang yang sangat suka bekerja tanpa memedulikan hal-hal di sekitarnya (workaholics) bahkan tanpa rasa bersalah meninggalkan keluarganya hidup tanpa dirinya, karena memang tidak dapat menikmati indahnya hidup berkeluarga. Akibat lainnya adalah munculnya orang-orang dewasa yang memiliki rasa bersalah sehingga melakukan segala sesuatu berdasarkan rasa bersalah itu.

Lalu bagaimana menolong inner child yang ada di dalam diri kita?

Beberapa tips dari artikel tentang inner child adalah dengan cara belajar jujur kepada diri sendiri dan orang lain mengenai perasaan kita yang sebenarnya, bukan dengan cara melampiaskan emosi kita. Selain itu, berikanlah kebebasan kepada imajinasi dan kreativitas kita. Nikmatilah hidup, baik suka maupun duka. Nikmatilah cinta dan siaplah menanggung segala risiko saat menjadi diri sendiri. Terakhir, yang juga penting ialah memulihkan inner child yang menyakiti perasaan kita.

Di dalam kekristenan, pemulihan seperti itu dapat dilakukan dengan cara mengampuni orang-orang yang pernah bersalah kepada kita. Orang itu bisa jadi adalah orangtua yang sangat kita sayangi namum mereka melukai kita di dalam peristiwa-peristiwa tertentu (pada waktu itu) dan tanpa kita sadari kita menyangkal bahwa kita terluka karena mereka. Pemulihan juga dapat dilakukan saat kita membuka lembaran hidup kita yang pahit, yang telah kita kubur dalam-dalam, dengan mengingat nama orang-orang yang telah menyalahkan kita.

Tentu saja proses pemulihan tidak seperti membalikkan telapak tangan, diperlukan doa, keterbukaan hati tetapi juga seringkali diperlukan rekan yang dapat membantu kita untuk melakukan proses pemulihan itu.

Akhirnya, kiranya melalui pemahaman ini kita terbantu untuk menemukan jati diri kita sendiri dan hidup bebas mengikuti kehendak Tuhan tanpa halangan-halangan yang berasal dari dalam diri kita dan dari masa lalu kita yang tidak menyenangkan. Tuhan memberkati!

Pdt. Riani Josephine

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Keluarga
  • Menjembatani GAP Antar Generasi
    Friksi dalam Keluarga Di era pandemi ini banyak timbul gesekan di antara anggota keluarga. Apa yang tadinya tidak dianggap...
  • Kekuatan Hidup Harmonis
    Kej. 2:18-24; Mk. 10:2-16
    Manusia itu makhluk yang aneh. Sudah jelas Allah berkata, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja,” atau dalam...
  • Keluarga Harta Paling Berharga
    “Harga dari segala sesuatu adalah sejumlah kehidupan yang kautukarkan dengannya.” ~Henry David Thoreau ~ Hal yang paling menarik untuk...
  • Tanggung Jawab
    Tanggung Jawab Tidak Dapat Diajarkan?
    “Saya ingin anak saya bertanggung jawab. Itu sebabnya saya mewajibkannya melakukan tugas tugas ini setiap hari. Kalau dia tidak...