Iklan Obat Kita

Iklan Obat Kita

Belum ada komentar 47 Views

RAMAI dibicarakan orang minuman berserat, minuman penyegar, dan sejenisnya (smart drink) yang di Barat disangsikan orang. Orang bertanya apa ada faedahnya? Kalau ada, apa perlu diminum? Kalau memang perlu, apa tidak ada efek sampingnya?

Pasien kita umumnya kelewat gampang termakan iklan obat. Jika iklan obat semakin genit, konsumen pasti merugi. Iklan obat keputihan di televisi, misalnya. Pasien mungkin mengira jenis keputihan cuma satu, dan obatnya hanya itu. Bujukan iklan barang tentu tak menyembuhkan jika keputihannya disebabkan infeksi. Keputihan juga bisa gejala kanker kandungan. Jika kanker terus mengandalkan obat iklan, kanker tak sembuh. Itu berarti kanker tertunda tidak diterapi. Terlambat kanker diterapi, buruk buntutnya.

Demikian pula bunyi iklan obat batuk, atau obat mencret. Di mata medis terkesan iklan menyederhanakan penyakit. Persepsi masyarakat tentang penyakit jadi rancu, seakan semua obat batuk, obat mencret, atau obat lainnya niscaya menyembuhkannya. Padahal tidak begitu di penglihatan medis. Penyebab penyakit bisa lebih dari satu. Lain penyebabnya, lain pula obatnya.

Harus diakui pranata kesehatan masyarakat kita rata-rata belum tinggi. Wawasan dan pengetahuan obat masyarakat belum memadai untuk berobat swamedikasi. Padahal di tengah krisis begini, agar berobat bisa efisien, ketika harga dan ongkos berobat masih tinggi, selama sakit belum berat, berswa-medikasi dianggap pilihan paling tepat.

Namun pilihan berswamedikasi membahayakan khalayak jika iklan obat masih mengecoh. Masih banyak konsumen terpedaya iklan panas dalam, susu kuda liar, jamu sarirapet, benalu kanker, serat antisembelit, dan entah apa lagi yang tak jelas indikasi dan sukar masuk nalar medis. Pasien kita pun gampang sembarang memakai sendiri obat resep dokter, karena obat dokter bisa dibeli bebas di pasar gelap.

Sejatinya tidak semua yang mengaku obat, masuk nalar medis. Dunia medis sendiri sedang ditantang mengorek begitu banyak ragam pengobatan dan penyembuhan nonmedis yang membingungkan pasien. Memang tidak semuanya nonsens. Ada yang perlu diperhitungkan.

Harus diakui pula pengetahuan dokter tentang phytopharmaca, tumbuhan berkhasiat, dan jamu, tidak seluruhnya dikuasai. Alih-alih memberi advis profesional, mengenal produk saja pun dokter mungkin belum tahu. Padahal kini banyak jamu nakal sebab diisi obat dokter, selain ramuan yang mengaku bisa menyembuhkan segala penyakit. Dalam nalar medis, tak ada obat penyembuh seribu satu macam penyakit seperti kata iklan.

Di mata medis pun tidak semua obat tradisional aman dikonsumsi. Belum lagi menghadapi banjirnya pengobat dan penyembuh tradisional berkedok terapi alternatif. Tidak semua yang mengaku terapi alternatif bisa diterima nalar medis. Namun harus diakui ada terapi dan penyembuhan alternatif yang masuk akal medis, sambil harus dicegah jika masih ada masyarakat terkecoh oleh iklan penyembuhan herpes, AIDS, atau hepatitis, yang di dunia medis belum ada obatnya. Logikanya, andai obat atau penyembuh nonmedis seperti itu terbukti benar, sudah dari dulu-dulu untuk temuan itu berhak mendapatkan Nobel. Nyatanya tidak.

SELAMA pranata dan wawasan kesehatan konsumen belum tinggi, berbahaya jika iklan obat, terapi alternatif, dan obat tradisional yang mengecoh tidak ditindak. Di keseharian masih ada pasien pergi ke orang pintar. Kasus tumor yang minta diangkat orang pintar, lalu pasien kecele sebab yang dikeluarkan cuma gajih kambing, misalnya, bukan kejadian satu-dua kali.

Selama nalar medis masyarakat belum tajam, pengobatan nonmedis mudah melipat-lipat akal sehat. Bahwa ada terapi alternatif yang masuk akal medis, sudah bagian dari penerimaan medis. Praktek accupuncture, homeopathy, macrobiotics, dan banyak lagi, kini berdampingan memperkaya praktik medis. Namun itu tak menjadi berarti setiap pengobatan maupun penyembuhan nonmedis laik diterima. Dan oleh karena nalar medis masyarakat masih lemah, banyak iklan obat memanfaatkan kelemahan semacam itu buat mengecoh.

Di Amerika yang masyarakatnya sudah lebih “melek sehat” pun Badan Pengawasan Obat Amerika FDA cukup dipusingkan iklan obat. Dalam setahun FDA harus mengirimi tak kurang 100 surat kepada perusahaan farmasi nakal. Mereka diimbau tidak memasang iklan obat yang menyesatkan di TV, majalah, atau koran. Jenis iklan yang membangun persepsi seolah obat bisa untuk segala penyakit (Dr.Bradford Ponzt). Rata-rata iklan obat menjanjikan klim efektivitas obat secara berlebihan, dan tidak balans menyebut efek samping.

Buat masyarakat kita yang masih belum semua “melek sehat”, pembuat iklan obat yang condong “mengambang” perlu diajak berunding. Media massa yang memuat iklan obat, pengobat nonmedis, dan penyembuh yang serong, juga perlu diajak mempertajam nalar medis agar masyarakat tak sesat berobat dan memilih obat dalam berswamedikasi.

Iklan obat tetes mata yang menjanjikan rabun jauh tak perlu pakai kacamata, sukar diterima nalar medis. Iklan obat kuat oles dari Cina, teknik memperbesar kemaluan, jamu sehat lelaki, samimawon. Tak jelas unsur berkhasiat tangkur buaya, pasak bumi, dan sejenisnya buat indikasi seks. Selain terkecoh boleh jadi juga membahayakan.

Jika iklan obat kulit berisi bahan berbahaya mercury dibiarkan, konsumen berisiko kena kanker kulit. Selain bahan berbahaya, mungkin akibat salah cara pakai sebab tak semua konsumen bisa baca aturan pakai dalam bahasa asing, sehingga bisa buruk efek sampingnya.

Begitu juga dengan obat kurus suntikan amphetamine di salon-salon yang berpotensi bikin sakit jantung, jadi murus-murus terus, atau menimbulkan kecanduan. Iklan obat gemuk tapi bikin tembam dan jerawatan, dan mens jadi kacau sebab isinya hormon berbahaya. Selain menyalahi kaidah medis, iklan-iklan nakal seperti itu berisiko merusak kesehatan konsumen.

ETIKA beriklan harus sama jujurnya dengan kerja profesi dokter. Jika iklan obat masih tak etis, semakin tumpul nalar medis masyarakat dibuatnya, dan masyarakat tersesat untuk menjadi sehat, selain tak hemat membelanjakan obat.

Ke depan kita masih akan menyaksikan masyarakat tersesat sewaktu berobat, oleh karena tentu jumlah obat bebas yang beredar semakin banyak dan beragam, sedang masyarakat belum dibikin pintar memilih obat, dan cara berobat yang benar. Itu berarti, ongkos berobat swamedikasi agar bisa mengirit, malah jadi pemborosan, dan hasilnya pun mungkin nihil.

Dalam berswamedikasi masyarakat perlu dimampukan kritis memilih berobat. Pemasang iklan obat, biro iklan, dan mereka yang menawarkan pengobatan dan penyembuhan nonmedis, perlu diajak bersepakat tidak menambah bodoh konsumen. Kontrol pemerintah terhadap semua iklan obat yang nakal tidak boleh lagi setengah hati.

Diperlukan sebuah komitmen ulang. Bahwa pekerjaan servis, melakukan reparasi, perawatan, pengobatan, dan penyembuhan terhadap tubuh manusia sepatutnya tetap diluhurkan. Tak elok membujuk orang sakit yang masih saja cenderung disikapi seperti sedang menawarkan parfum, menu akhir pekan, mirip layanan montir radio, atau kesibukan layaknya di sebuah bengkel mobil.

Dr. Handrawan Nadesul

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Kesehatan
  • MINDFUL EATING
    Alasan terutama untuk menjadi mindful adalah dengan menyadari bahwa tubuh ini adalah bait Allah yang perlu kita syukuri dan...
  • Demam Berdarah Bisa Dicegah
    Demam berdarah dengue (DBD) diberitakan berjangkit di sejumlah daerah sekarang ini. Penyakit ini buat kita dianggap jamak. Apakah memang...
  • Menunda Proses Menua
    Menua itu pasti, tetapi ilmu dan teknologi medis bisa menundanya. Berumur panjang itu pilihan, bukan menerima keadaan, melainkan memilih...
  • Nasib Kita Di Hadapan COVID
    Sekarang ini makin banyak orang gelisah, galau, khawatir, takut, dan fobia di tengah ingar bingar informasi yang “mis” maupun...