Ut Omnes Unum Sint (supaya mereka semua menjadi satu) “A divided house cannot stand”

Ut Omnes Unum Sint (supaya mereka semua menjadi satu) “A divided house cannot stand”

Belum ada komentar 457 Views

“Sejarah Dosa”: Relasi Ilahi Yang Terpisahkan

Pdt. Joas Adiprasetya pernah membuat tulisan serial tentang tujuh dosa yang mematikan (seven deadly sins). Penamaan dosa sedemikian memang agak unik, kalau tidak disebut sebagai suatu pleonasme, mengingat ketujuh dosa tersebut tidak lebih “mematikan” dibanding dengan dosa-dosa lain, dan bahwa semua dan setiap dosa pasti mematikan (Roma 6:23; Yak. 2:10).

Paragrap 1866 katekismus Roma Katolik menempatkan dosa “kesombongan (pride)” pada nomor urut pertama di antara “ketujuh dosa yang mematikan” tersebut. Saya tidak tahu latar belakangnya, tetapi yang jelas “kesombongan (pride)” boleh dikata memang merupakan dosa yang pertama terjadi, dan bahkan telah ada sebelum manusia jatuh dalam dosa.

Dalam Yesaya 14 dan Yehezkiel 28 digambarkan sejarah kejatuhan Lusifer yang kemudian dikenal sebagai Si “Iblis”. Padahal ia semula adalah salah satu Penghulu Malaikat seperti Mikael. Yesaya 14 menggambarkannya sebagai “Bintang Timur, putera Fajar”, Yehezkiel 28 memujinya sebagai makluk yang hikmatnya melebihi hikmat Daniel; tiada rahasia yang terlindung baginya. Tetapi kemudian kedua kitab tersebut (Yesaya 14:13-14; Yehezkiel 28:5) menunjuk pada kesombongan Lusifer sebagai sebab ia jatuh dan diusir dari Sorga (lihat juga I Tim. 3:6).

Novel John Milton “Paradise Lost” pada Buku V baris, 600-615 bahkan menyebutkan bahwa kejatuhan Lusifer adalah karena Lusifer menolak menyembah Kristus, Sang Mesias. Kendati teori John Milton tersebut tidak secara tegas tersurat dalam Alkitab, tetapi jelas bahwa teori tersebut mempunyai korelasi dengan kesombongan Lusifer dalam Yesaya 14 dan Yehezkiel 28.

Mari kita simak lebih jauh isi Yesaya 14:13-14 sebagai berikut:

“Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi!”

Ada satu ciri kontras dalam kutipan Yesaya 14:13-14 di atas, yakni dominannya kata “aku”. Dalam Bahasa Inggris, “aku” disebut “I”. Bahasa Inggris secara indah sekali membuat ikatan dan kaitan antara kata “Pride” dan “Sin”. Keduanya mendapatkan keterkaitan erat dan persamaaan pada satu hal, yakni bahwa kedua kata tersebut mempunyai huruf “I” di tengah-tengahnya. Apa artinya fakta ini dikaitkan dengan Yesaya 14:13-14 tadi? Fakta ini mengajarkan pada kita bahwa ketika “I” atau “aku”, bukannya Kristus, yang menjadi pusat, maka di situlah awal kejatuhan Lusifer, dan juga kita. “Aku” adalah pusat, aku yang harus dilayani, dipuji dan diutamakan. Kalau suatu kegiatan tidak menguntungkan saya, saya tidak akan ikut serta dalamnya. Kalau bukan saya yang akan menerima pujian, saya ogah ikut melayani. Semua harus diukur oleh ukuran saya. Saya lebih hebat, lebih superior dari yang lain. Orang lain harus mengikuti cara-cara saya, karena hanya saya yang benar.

Kelihatannya cara-cara itu cukup akrab dengan kita semua. Memang, hal itu terjadi dimana-mana. Satu contoh paling jelas adalah ego superioritas Ras Aria yang dianut Hitler yang menelan korban enam juta orang Yahudi selama Perang Dunia II. Makanya tidak heran, sejarah peradaban manusia selalu diwarnai pertengkaran, perebutan wilayah dan bahkan perang dunia. Semua berpijak pada satu fakta bahwa masing-masing pihak yang bertengkar dan berperang hendak memaksakan ukuran “kebenaran”nya pada pihak lainnya. Padahal “war is not about who is right, but who is left”, demikian Bertrand Russell. Hasil peperangan bukan ditentukan oleh benar salah, tetapi akhirnya oleh kekuatan.

Ilmu pengetahuan terus membuat teori dan telaahan tentang sejarah pertengkaran manusia. Padahal Alkitab sudah secara jelas dalam Yakobus 4:1 mengungkapkan “Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu? Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. ”

Hawa nafsu, egoisme dan sikap homosentris telah memecah-belah manusia. Karena memang itulah tujuan Iblis, yakni mengalihkan perhatian kita dari Kristus dan bahkan memisahkan kita dari Kristus, serta menipu kita sehingga kita menempatkan diri kita, bukan Kristus, sebagai pusat kehidupan kita. Bukankah memang Iblis adalah “bapa segala dusta ” (Yohanes 8:44), dan telah berpengalaman seusia umat manusia dengan Adam sebagai korban pertamanya?

Sebagaimana Lusifer yang terpisah dari ALLAH, kita akan mengalami juga keterpisahan kekal bila kita tidak tunduk pada Kristus dan menempatkan Kristus menjadi pusat kehidupan kita. Tanpa Kristus, berarti kita akan tetap berada dalam kuasa dosa. Dosa membuat kita terpisah dari ALLAH. ALLAH itu maha suci dan karenanya tidak dapat bersatu dengan yang berdosa. Karena ALLAH adalah Sumber segala sesuatu (causa prima), termasuk kehidupan, maka keterpisahan dengan ALLAH berarti keterpisahan dengan Sumber Hidup, sehingga akibatnya jelas, yakni kematian kekal. Maka itu, Roma 6:23 berkata: upah dosa ialah maut. Analogi sederhananya adalah bila sebuah telepon genggam dipisahkan dari baterainya, alat tersebut akan mati dan tidak berfungsi.

“At-one-ment”: Pemulihan dan Penyatuan Kembali Relasi Dengan ALLAH

Keterpisahan yang diakibatkan oleh dosa merupakan suatu keterpisahan antara dua Subjek yang berbeda secara kualitatif. Manusia, sang ciptaan, terpisah dari ALLAH, Sang Maha Pencipta. Ciptaan dan Pencipta jelas tidak setara. Keterpisahan kualitatif kita dengan ALLAH telah menciptakan suatu jurang vertikal yang tidak dapat di seberangi oleh manusia, termasuk melalui segala hasil karya cipta, rasa dan karsa manusia, bahkan agama yang adalah produk budaya manusia itu sendiri. Karena hanya ALLAH yang dapat menyatukannya kembali, maka Karya Penyelamatan hanya dapat datang dari ALLAH.

Ketika manusia “angkat tangan” tidak dapat naik menjangkau ALLAH, maka ALLAH “turun tangan” dan bahkan “turun derajat” menyangkal dan mengosongkan diriNya menjadi manusia. ALLAH turun sungguh jauh. IA bukan hanya masuk dalam keterbatasan kedagingan manusia, tetapi pintu masuk-Nya pun melalui kandang binatang, yang sungguh tidak layak bagi anak manusia, apalagi Anak ALLAH.

Keseharian-Nya juga hanya menjadi anak tukang kayu. Pada malam sebelum IA disalib, IA mencuci kaki para murid-Nya, sesuatu yang tidak pernah dan tidak mungkin dilakukan oleh guru maupun nabi manapun atas murid-muridnya. Saat mati, IA memilih mati dengan cara yang paling hina dan paling menyakitkan ketika itu. Tetapi, kesakitan fisik yang membuat-Nya sangat menderita itu masih tidak ada bandingNya dengan penderitaan sekaligus pengorbanan terbesar Kristus, yakni IA harus terpisah dari Tritunggal: bahwa ALLAH Bapa harus meninggalkan ALLAH Anak (“Eli, Eli, lama sabakhtani? Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”, Matius 27:46).

Tritunggal yang semestinya menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, pada momen itu harus mengalami keterpisahan. Yesus yang tidak berdosa rela terpisah dari Tritunggal agar kita yang berdosa dapat bersatu kembali dengan ALLAH memulihkan relasi kita dengan ALLAH yang terpisah karena dosa kita sendiri. Penderitaan Kristus dengan teriakan-Nya itu tidak akan dapat dilukiskan dengan kata-kata manusia karena konsep Tritunggal dan konsep keterpisahan Tritunggal tidak mempunyai padanannya yang persis, dalam kehidupan manusia.

Salib Kristus kemudian menjadi kompas sekaligus kiblat bagi arah dan rute satu-satunya penyelamatan manusia. Tonggak Salib juga telah menjadi jembatan yang menghubungkan langit dan bumi: ALLAH dan manusia. Salib menyatukan kembali relasi yang terpisah antara ALLAH dan manusia.

Alkitab versi King James menggunakan istilah “atonement” untuk istilah “rekonsiliasi atau pendamaian” dalam Roma 5:11. Istilah “atonement” mungkin dapat lebih membantu kita memahami proses pemulihan relasi atau pendamaian dengan ALLAH. Istilah “atonement”, bila diurai, akan menghasilkan “at-one-ment” yang dapat diartikan sebagai suatu keadaan bersatu. Keterpisahan relasi ALLAH dengan manusia oleh karena dosa, kemudian dipulihkan kembali sehingga manusia dapat bersatu kembali dengan ALLAH, yakni melalui inkarnasi dan penebusan Yesus Kristus.

Pemulihan Relasi Antar Manusia

Jelas kini bahwa kita tidak akan dapat berdamai dengan sesama ciptaan ALLAH dalam arti sesungguhnya sebelum kita masing-masing dan sendiri-sendiri berdamai dengan Sang Pencipta itu sendiri. Saat kita berdamai dengan ALLAH melalui dan di dalam Kristus, kita akan mendapatkan pembaruan budi sehingga kita dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Roma 12:2). Dengan pembaruan budi, kita akan mendapatkan perspektif yang benar dalam melihat setiap aspek kehidupan ini sehingga kita akan dapat mengamini Roma 8:28 bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.

Semua yang ALLAH ijinkan terjadi pada kita bukan hanya berhenti pada ayat 28 tersebut itu saja yakni untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Tetapi lebih jauh lagi, seperti dikemukakan dalam ayat 29, yakni “untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara”.

Sungguh benar bahwa relasi yang dipulihkan dengan ALLAH akan membawa dan membentuk kita sehingga kita serupa dengan Kristus dan kita dapat memiliki Karakter Kristus (Filipi 2:5) untuk kemuliaanNya. Apakah Karakter paling utama dari Kristus? Tidak lain adalah KASIH. ALLAH adalah Kasih itu sendiri. Karena Kasih membutuhkan objek bagi ALLAH mencurahkan Kasihnya itu, maka ALLAH menciptakan manusia.

Kasih yang sama juga yang kemudian menggerakkan ALLAH berinisiatif untuk berdamai dengan ciptaanNya yang jatuh dalam dosa. Inisiatif penyelamatan tersebut walau telah dirancang dalam kekekalan (1 Petrus 1:20, Efesus 1:4, 2 Timotius 1:9), diungkapkan-Nya segera setelah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa. Dalam Kejadian 3:15, ALLAH menetapkan bahwa keturunan Adam dan Hawa akan meremukkan kepala si Iblis. Ayat ini menunjukan bahwa Kristus akan datang dalam bentuk manusia (inkarnasi). Sungguh besar Kasih ALLAH pada kita.

Setelah relasi kita dengan ALLAH dipulihkan dan kita memiliki Karakter Kristus, bukan berarti tugas kita telah selesai. Makanya ALLAH tidak langsung mengangkat kita ke Sorga seketika kita berdamai dengan ALLAH; dan kita kini masih menjalani hidup di dunia ini. Selain untuk menjalankan Mandat dari ALLAH sendiri, kita juga didorong oleh karakter Kasih yang ada pada kita tadi untuk:

  1. Kita memulihkan relasi kita dengan diri kita sendiri,
  2. Kita memulihkan relasi kita dengan sesama kita,
  3. Kita membantu memulihkan relasi mereka yang masih dalam dosa, dengan ALLAH, dan
  4. Kita membantu memulihkan relasi antar sesama kita yang masih saling berseteru; terus menerus selama kita masih hidup di dunia ini.

Amsal 16:7: “Jikalau TUHAN berkenan kepada jalan seseorang, maka musuh orang itu pun didamaikan-Nya dengan dia”

Mandat di atas idealnya kita lakukan mulai dari lingkungan keluarga kita sendiri, karena keluarga kita adalah kelompok terkecil dan terdekat yang ALLAH percayakan pada kita masing-masing. Dalam Matius 12:25, Yesus berkata: “setiap rumah tangga yang terpecah-pecah tidak dapat bertahan (a divided house cannot stand)”. Langkah pertama dalam membawa damai ALLAH pada keluarga kita adalah family altar di mana Kristus menjadi pusat kehidupan keluarga. Family altar alters family.

Relasi internal keluarga yang telah menempatkan Kristus sebagai pusat akan memampukan keluarga itu untuk menjalankan fungsi pemulihan relasi di lingkungan eksternal.

Di dalam peperangan rohani yang akan senantiasa memecah belah orang percaya, doa Yesus sendiri dalam Yohanes 17:20-22 akan menyertai kita semua dalam upaya pemulihan relasi: “Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu.”

Ut omnes unum sint

Fabian Buddy Pascoal

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Bible Talks
  • Pelayanan yang Panjang
    Kisah Para Rasul 19:1-41
    Kisah Para Rasul merupakan buku kedua yang dituliskan oleh Lukas kepada Teofilus, dengan tujuan mencatat apa yang dilakukan oleh...
  • KASIH PERSAHABATAN
    Kasih adalah salah satu tema terpenling di da/am kekristenan. Di dalam 1 Korinlus 13:13, Paulus menegaskan bahwa dari seluruh...
  • WHAT WENT WRONG?
    Yosua 7-8
    Seandainya Anda mengalami kegagalan, akankah Anda berdiam diri dan bertanya, “Apa yang salah?” Setelah kemenangan di Yerikho dengan sangat...
  • Menghidupkan Semangat Dan Hati
    Yesaya 57:15
    Seseorang gadis berusia 18 tahun dan berpenampilan menarik berjalan masuk ke dalam ruang konseling. Dia sering menjuarai berbagai kompetisi...