BERBICARA soal mi, kita teringat betapa sudah membanjirnya aneka bahan kimia mengalir dalam darah kebanyakan rakyat kita. Penelusuran WHO bahkan menyebutkan dalam darah bayi pun kini terkandung kimia dioxin pencetus kanker (carcinogenic), sisa sampah industri yang mencemari susu. Sumber lain dioxin berasal dari mengonsumsi menu olahan (refined diet). Menu siap saji salah satunya.
Membanjirnya zat aditif makanan
Di Amerika Serikat lebih 30 ribu zat kimia dicampurkan dalam industri makanan. Setiap tahun bertambah 6 ribu kimia baru. Untuk proses penyimpanan makanan saja terpakai lebih 10 ribu bahan kimia. Tubuh manusia tak terelakkan dikepung oleh bukan menu nenek moyang.
Sebagian besar kimia industri makanan sudah terbukti mengganggu sistem kekebalan tubuh, selain pencetus kanker (carcinogenic), dan munculnya sejumlah penyakit baru. Sebut Saccharine diseases, dan Western diseases. Penyebabnya lantaran orang di negara industri sekarang menelan 9 Kg kimia dalam makanan setiap tahunnya.
Laporan dari Singapura belakangan ini menyebutkan, kanker usus besar menduduki peringkat pertama di antara kasus kanker di negeri banyak orang mancanegara datang berobat. Fakta ini memperkuat bukti bahwa risiko kanker dunia paling tinggi terkait dengan faktor diet. Bahwa nasib kesehatan kita pada apa yang kita konsumsi.Risiko tembakau terhadap kanker tidak segalak faktor diet.
Bukti lain muncul dari Cina. Kanker terbanyak di Cina ternyata muncul di provinsi yang konsumsi dagingnya paling banyak. Ini peniscaya lain bahwa peran daging sebagai pencetus kanker mengalahkan faktor turunan melihat secara genetik penduduk Cina bersifat homogen.
Kesehatan ada di dapur
Camilan pabrikan dari karbohidrat (refined carbohydrate) disebut mencetuskan kanker usus (Dr Thomas L Cleave). Kesimpulan sama muncul dari Swedia. Bahwa camilan karbohidrat yang diproses dengan suhu tinggi memunculkan acrylamide pencetus kanker sebagaimana nitrosamine dalam ikan asin, dan makanan kaleng. Ham dan sandwich mengandung lebih 13 zat aditif. Keripik dicampurkan kimia perenyah, selain pengawet, dan pemanis buatan. Belum zat warna tekstil (rhodamine B dan methylene yellow) dalam sirop, saus tomat, dan kerupuk murah.
Selain zat aditif tak aman dalam industri makanan, seringnya industri makanan rumahan, takaran pemakaian aditif tanpa terkontrol melebihi dosis yang diperkenan. Kendati sudah mendapat izin yang berwenang bila kimia makanan dicampurkan berlebihan, merusak badan juga. Kalau aditif dilarang dan masih beredar, kerusakan hati dan ginjal mengancam konsumen.
Food Standard Agent Amerika Serikat bahkan mengingatkan konsumen kecap agar tidak sembarangan memilih bila kandungan 3-MCPD dan 1,3 DCP melebihi yang diperbolehkan. Kelebihan aditif ini mencetuskan kanker juga. Bukan pula cuma formalin ancaman dalam makanan orang sekarang, pemanis saccharine yang dulu dinilai aman, kini harus ditinggalkan.
Pro kontra sejumlah pemanis buatan muncul di setiap negara, apakah masih aman dikonsumsi. Dunia menghabiskan tak kurang 15 ton pemanis buatan setiap tahun. Tidak semua aman. Namun hampir semua jajanan kita tak luput dari pemanis buatan. Belum tentu semua diperkenan. Yang sekarang dinilai aman, nanti belum tentu.
Seperti itu gejolak dunia obat dan makanan. Demikian halnya dengan pengawet golongan benzoate dalam mi dan penganan lain, termasuk dalam kosmetik. Berapa takaran, dan berapa lama dipakai, menentukan seberapa jelek efek buruknya terhadap kesehatan.
Sebaik-baik bahan kimia dalam makanan, lebih baik membebaskan tubuh dari cemaran bahan kimia paling aman sekalipun. Seperti halnya kimia obat, yang dulu aman, bisa berubah tak aman dengan berjalannya waktu. Yang aman dikonsumsi sesekali mungkin menjadi tak aman bila dikonsumsi terus-menerus untuk waktu lama. Efek carcinogenic suatu zat bertabiat seperti itu juga.
“Slow food”
Rakyat kita sudah telanjur terpapar bahan kimia dalam makanan, kosmetik, jamu nakal, dan herbal yang tak jelas sumbernya. Bayangkan bertahun-tahun mengonsumsi kimia berefek buruk terhadap kesehatan, bisa diramalkan dalam dua-tiga puluh tahun ke depan akan lahir generasi kasus kanker, selain penyakit baru akibat keliru memilih makanan.
Demi mencegah kanker, dan munculnya penyakit peradaban lain, gerakan kembali ke menu nenek moyang saatnya dicanangkan pemerintah. Bukan kue donat, melainkan ubi rebus, talas rebus, atau pisang rebus jajanan menyehatkan. Nasi sepiring, ikan pepes, tempe dan tahu, sayur lodeh atau sayur asam, eloknya kembali menjadi menu nasional yang bersesuaian dengan kodrat tubuh kita. Sebetulnya itu yang sejak lama ditawarkan oleh menu “slow food” yang bersimpang jalan dengan menu siap saji sekarang ini (fast food).
Dari kecil lidah anak hendaknya dibentuk oleh menu rumah, bukan menu restoran. Semua penyakit metabolik, termasuk kencing manis yang kini meningkat di kalangan remaja, lahir lantaran terus menerus memilih menu restoran, jajanan pabrikan, selain produk industri makanan rumahan yang belum tentu aman, alih-alih menyehatkan.
| Dr Handrawan Nadesul
1 Comment
Ifer
Januari 31, 2011 - 9:27 amPak Dokter Nadesul, apakah tidak sebaiknya melalui program gereja untuk menggalakan kemabli ke menu nenek moyang seperti yang bapak kemukakan di atas. Saya sendiri begitu takut dengan banyaknya pemakaian bahan tambahan pengawet makanan yang beredar dalam masyarakat kita. Badan POM dalam hal ini pemerintah melakukan PEMBIARAN dan tidak ada kontrol sama sekali. Di pasar tradisional: ayam, ikan dan makanan lain berformalin dijajakan/ digerai secara terbuka dan tidak ada tindakan dari dinas pasar atau dinas kesehatan. Di televisi berulang-ulang menayangkan tentang bahaya mengosumsi makanan berpengawet, tetapi itu hanya sekadar show dan tidak ada tindak lanjut dari aparat berwenang.
Apakah tidak sebaiknya melalui gereja sebagai sebuah persekutuan yang melayani, kita mulai gerakan kembali ke menu nenek moyang seperti yang bapak sampaikan?
Salam
Ifer FS