Memasuki gereja untuk beribadah pada hari Minggu 1 Agustus yang lalu, jemaat disambut dengan ramah oleh pasangan-pasangan penerima tamu yang berbusana Papua modern. Para prianya memakai baju putih tangan panjang dan celana hitam, lengkap dengan topi jambul mereka, dan para wanitanya mengenakan baju putih yang dipadu rok hitam dan ikat kepala dari bulu-bulu burung. Di sebelah kiri mimbar diletakkan miniatur honai, rumah adat suku Dani yang khas, dan di sebelah kanan mimbar ada papan tema bulan budaya tahun ini, “God’s Culture in Me.” Dua pria tampak duduk di depan organ sambil membawa tifa. Beberapa papan besar berlatar putih dengan motif etnis merah/biru atau merah/hitam tampak menghiasi dinding balkon.
Perjalanan Zending masuk Tanah Papua dimulai saat dua penginjil muda asal Jerman, yaitu Ottow dan Geissler berlayar dengan menumpang kapal “Ternate” dan mendarat di Doreri, Pulau Mansinam, Manokwari pada hari Minggu pukul 6 pagi tanggal 5 Februari 1855 yang lalu.
Pada saat mereka menginjakkan kaki di sana, mereka mengucapkan “In Gottes namen betretten wir das land,” (Dalam nama Tuhan, kami menginjakkan kaki di tanah ini!). Maka dimulailah pelayanan pemberitaan Injil di Tanah Papua.
Kedua penginjil ini bekerja dengan menghadapi banyak tantangan, penderitaan dan hambatan dari penduduk yang awalnya tidak menampakkan tanda-tanda persahabatan. Hanya kasih, kesabaran dan doa yang tidak berkeputusan yang memenangkan Tanah Papua bagi Injil Yesus Kristus.
Pelayanan gereja mulai berkembang. Pada tahun 1907 sebuah sekolah guru dibuka di Mansinam. Lalu sekolah ini pindah ke Manokwari yang kini menjadi ibukota Propinsi Papua Barat dan diasuh oleh I. S. Kijne, pengarang lagu-lagu Mazmur dan Nyanyian Rohani yang sampai kini digunakan dalam ibadah-ibadah gereja terbesar di Papua, yaitu Gereja Kristen Injili, dengan jemaat sekitar 1.450 orang dari 30 klasis.
Dewasa ini berbagai denominasi gereja tumbuh dan berkembang di Tanah Papua, juga badan-badan penginjilan, gereja-gereja dari luar Papua termasuk dari GKI Pondok Indah yang terus bekerja keras melayani, khususnya di pedalaman, untuk menaklukkan 14 titik lokasi yang belum terjamah oleh Injil maupun oleh pemerintah setempat.
Setelah pengantar yang mengisahkan sejarah penginjilan di Papua, ibadah dimulai dengan munculnya tiga pasang penari muda yang menarikan tarian Selamat Datang dengan iringan tabuhan tifa untuk menjemput pendeta dan para penatua yang juga mengenakan busana Papua. Pdt. Riani tampak anggun dengan topi burung cendrawasih dan tongkat kayu berukir di tangannya. Dalam kebaktian ini, Vocal Group Papua Voice menyanyikan beberapa lagu kristiani dari Papua seperti “Mandakadiren Fioro” (Mentari Bersinar di Ufuk Timur), “Miawarae Sera Yesus Yaduaro” (Dengarlah Suara Yesus Memanggil) dan “Wamamwark Fararur” (Ya Tuhan, Lindungi pekerjaan-Mu).
Tayangan perjalanan delegasi GKI PI ke desa Hobart pada bulan Juni yang lalu, mengawali khotbah yang disampaikan oleh Pdt. Riani. Adapun perjalanan pelayanan ini diawali dengan persahabatan yang dilakukan oleh Pdt. Riani dengan Pdt. Jeane Haurissa. Karena Pdt. Jeane memiliki relasi dengan GKI Klasis Sorong, maka GKI Klasis Sorong menjadi pintu masuk bagi pelayanan kita ke Kampung Hobart, daerah terisolasi yang sulit dijangkau itu. Kisah kampung Hobart yang diperkenalkan dalam bulan peduli selama 4 minggu berturut-turut, menggugah hati jemaat GKI PI untuk mempersembahkan uang, pakaian, buku-buku, mainan bahkan tenaga untuk mengunjungi dan melayani penduduk di sana.
Dalam Perjalanan
Hobart adalah sebuah desa di Papua Barat, Kabupaten Sorong Selatan. Penduduknya beragama Kristen. Tempat ini tergolong desa yang terisolasi. Untuk mencapainya dibutuhkan waktu kurang lebih 12 jam (sekitar 130 km) dari kota terdekat, yaitu kota Sorong. Jalan yang sangat berliku mengantar tim GKI Pondok Indah untuk mencapai desa Wilti, desa terakhir sebelum mereka memasuki jalan yang licin, becek dan terjal. Dengan 4 mobil, anggota Tim Peduli Hobart yang berjumlah 12 orang, pergi dengan puluhan dos berisi barang-barang yang akan disumbangkan ke sana dan 8 orang utusan dari GKI Klasis Sorong. Setelah mencapai desa Wilti, di tengah hujan rintik-rintik yang membasahi tanah yang semakin basah, rombongan Tim Peduli Hobart sempat berkali-kali terperosok dalam lumpur. Hujan dan perut lapar rupanya tidak membuat masyarakat Hobart dan Wilti lelah untuk menunjukkan kepedulian mereka dengan menunggui mobil Tim dan mengumpulkan tenaga untuk mendorong mobil-mobil tersebut. Setelah mobil-mobil tersebut sampai di tenda peristirahatan Tim barulah Tim bersiap-siap melintasi tiga lembah dan tiga bukit sebelum sampai di kampung Hobart.
Kampung Hobart
Kampung Hobart adalah kampung yang sangat asri dan bersih. Hampir tidak ditemukan nyamuk di sana. Di tempat itulah Tim Peduli Hobart bertemu dengan seorang anak bernama Mei (Meirani), gadis kecil berusia sekitar 3 tahun yang lahir di desa itu dari orangtua yang berbeda usia sekitar 20 tahunan. Seperti anak-anak lainnya di sana, rambut Mei kemerahan. Tentu bukan karena mereka mencat rambut mereka, tetapi karena anak-anak Hobart rupanya mengalami gizi buruk. Bagaimana tidak, mereka hanya mengkonsumsi ubi jalar tanpa lauk sebagai makanan utama mereka. Bukan itu saja. Bola mata sebagian besar anak dan orang dewasa Hobart berwarna kekuning-kuningan, karena penyakit paru-paru dan infeksi saluran pernapasan. Herannya, sekalipun secara fisik mereka tidak sehat karena batuk dan pilek, namun mereka berhujan-hujan untuk menyambut tamu-tamu yang datang.
Menakjubkan sekali, anak-anak Papua (setidaknya anak-anak di Kampung Hobart) sangat menonjol dalam kecerdasan alam. Mereka sangat cekatan dan kuat berjalan. Meskipun tanpa alas kaki, mereka terus mengiringi mobil-mobil rombongan GKI PI dan membantu orang dewasa mengumpulkan daun-daun yang dipakai untuk menutupi jalan agar tidak licin. Mereka juga ikut membantu tim GKI PI dengan memikul ransel dan membawa barang-barang bawaan agar sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Dengan alat pemotong kayu yang dibawa rombongan dari Jakarta, orang-orang dewasa memotong kayu untuk mengangkat mobil yang terperosok dan menariknya keluar dari kubangan-kubangan yang besar. Mereka juga membuat tangga-tangga dengan pegangan agar memudahkan rombongan berjalan kaki menaiki atau menuruni lembah-lembah yang curam itu.
Pdt. Riani memulai khotbahnya dengan membandingkan dua perilaku yang sangat berbeda. Di satu sisi ada orang-orang yang hidupnya terstruktur dan tertata baik, sedangkan di sisi lainnya ada orang-orang yang hidup dalam ketidakteraturan. Apabila kedua orang ini hidup bersama dalam satu atap, tentu akan terjadi banyak konflik di antara mereka.
Paulus adalah orang yang selalu merencanakan sesuatu dengan baik. Karena itu, keputusannya untuk tiba-tiba membelokkan arah perjalanannya (Kisah 16) ke Makedonia, sungguh di luar kebiasaannya. Hal ini disebabkan karena Paulus mendapat penglihatan yang menyuruhnya pergi ke Makedonia. Apa yang harus dilakukan Paulus baru akan diketahuinya setiba ia di sana. Menurut Barclay, wahyu Allah berjalan secara progresif, tahap demi tahap. Sama seperti kalau kita sakit. Tuhan tidak memberitahu kita apa yang ada di ujung sana, tetapi kita harus tunduk kepada Tuhan dan menurut kehendak-Nya.
Apakah suara itu masih ada sekarang? Setelah tim GKI PI pergi ke Hobart, apakah pelayanan ini akan diteruskan? Ketika rombongan GKI PI ke Hobart dengan membawa puluhan dus, mereka mengira bahwa pemberian tersebut dapat mencukupi kebutuhan penduduk di sana, tetapi ketika mereka sampai di tempat itu, barulah mereka tahu bahwa keinginan penduduk Hobart berbeda dengan apa yang mereka bayangkan. Semula rombongan menawarkan untuk membuat saluran air, tetapi penduduk ternyata lebih mendambakan gedung gereja yang megah di tengah-tengah hutan belantara dan gunung.
Penduduk desa Hobart sebenarnya memerlukan fasilitas kesehatan yang baik, karena penyakit selalu menggerogoti tubuh mereka dan membuat mereka hanya mencapai usia 40-an tahun. Mereka membutuhkan guru, pendidik dan pemimpin yang dapat memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anak dan mengajarkan orangtua untuk hidup sebagai manusia kristiani yang sehat dan beriman teguh. Di desa Hobart, orang dapat menjumpai anak-anak dan orang dewasa memakai gelang kain merah atau mengalungkannya di leher sepanjang hidup mereka, karena memercayai bahwa benda itu dapat menolak penyakit dan membuat mereka sehat. Takhyul melekat di dalam hidup mereka.
Kekayaan kayu gaharu telah memampukan beberapa orangtua untuk mengirimkan anak-anak mereka bersekolah ke kota, tetapi sampai kini tidak satupun dari anak-anak itu yang kembali untuk menetap di desa itu dan membangun masyarakatnya. Guru jemaat yang sudah ada di sana, akhirnya juga pergi meninggalkan tempat itu karena kata-katanya tak didengarkan oleh penduduk. Karena itu, perlu ada orang-orang yang mencintai Tuhan, yang mau melayani tempat ini dengan gigih dan penuh dedikasi.
Pelayanan di Papua tidak mudah, tetapi Ayub mengingatkan kita, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Ada banyak kesulitan yang menghadang rombongan GKI PI ketika menghadapi medan berat menuju desa Hobart. Karena beban terlalu berat, beberapa anggota rombongan terpaksa diturunkan oleh sopir untuk berjalan selama dua jam sebelum sampai di kampung terdekat. Komunikasi dengan penduduk juga tidak lancar karena logat yang berbeda.
Namun, saat kita mengatakan “sulit” itulah musuh besar kita di dalam pelayanan. Fokus kita bukan pada kesulitan, karena kesulitan dapat membuat kita patah semangat. Tuhan ada di dalam kesenangan dan kesulitan. Ia akan memproses kita. Maukah kita?
Seusia ibadah, Papua Voice menyanyi di pelataran gereja untuk menghibur jemaat yang berbelanja aneka makanan yang tersedia di sana. (ib)
[nggallery id=35]
1 Comment
Donna Nari
Februari 20, 2014 - 10:12 amPuji Tuhan dan Terima kasih buat Tuhan Yesus yang baik
Jemaat GKI PI bisa datang ke Desa Hobart.
Tuhan berkati Semua