Bapak Pendeta yang baik, Mohon pencerahan dari Bapak Pendeta atas kebingungan serta ketidakmengertian saya supaya iman dan ibadah saya tidak terganggu oleh keraguan.
Tuhan memerintahkan umat-Nya untuk berhenti bekerja pada hari ke-7 yang disebut Hari Sabat untuk menghormati Tuhan yang juga tidak bekerja pada hari ke-7 dalam proses penciptaan yang dilakukan-Nya. Hari itu seyogyanya digunakan untuk ibadah serta membangun relasi dan persekutuan dengan Tuhan.
1. Sebenarnya yang disebut hari ke-7 atau Hari Sabat itu hari apa dalam sistem kalender kita sekarang ini?
2. Bagi orang Yahudi, ternyata Hari Sabat adalah Hari Sabtu. Mengapa orang Kristen mengubahnya menjadi Hari Minggu?
3. Masih relevankah perintah menguduskan hari Sabat itu saat ini? Hari yang mana? Sabtu atau Minggu?
4. Apa yang perlu dilakukan dan tidak boleh dilakukan pada Hari Sabat itu?
5. Mengapa Yesus dulu terkesan agak meremehkan Hari Sabat dan melakukan pelanggaran pelanggaran yang menimbulkan perselisihan dengan tokoh-tokoh agama?
6. Bagaimana sebaiknya kita menyikapi hal ini agar tidak melawan perintah Tuhan?
Demikian kira-kira kebingungan yang menghinggapi saya dan tidak mampu saya temukan sendiri jawabnya. Terima kasih atas kesabaran Bapak Pendeta membimbing saya.
Tommy J. Sulaksono
Jawab:
Pak Tommy yang baik, Saya senang dengan pertanyaan Bapak yang dilatarbelakangi kerinduan Bapak untuk menaati Firman Tuhan. Memang sudah seharusnyalah kita sebagai anak-anak Allah Bapa selalu belajar untuk menaati Firman-Nya. Nah. Berkaitan dengan hukum Sabat, ada dua alasan mengapa kita harus melakukannya:
1. Manusia itu selalu butuh keseimbangan dan istirahat. Jadi jangan terus bekerja tanpa henti, sedangkan Allah yang Maha Kuasa saja juga berhenti mencipta di hari yang ketujuh/Sabat (Keluaran 20:11). Hari Sabat menjadi hari di mana manusia berhenti dari segala kesibukannya dan fokus beribadah kepada Tuhan.
2. Dalam kitab Ulangan, kita mendapatkan alasan yang berbeda berkaitan dengan hukum Sabat. Kali ini bangsa Israel diajak untuk mengingat akan segala kelelahan mereka bekerja ketika masih menjadi budak di tanah Mesir. “Sebab harus kau ingat, bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir…” (Ulangan 5:15). Dalam kitab Ulangan, yang harus beristirahat bukan hanya diri kita masing-masing, melainkan juga budak/pekerja yang kita miliki, bahkan binatang peliharaan (yang dalam konteks waktu itu untuk bekerja juga) – Ulangan 5:14. Nah, dalam kitab Ulangan, pelaksanaan Sabat adalah dengan mengingat yang lain, yang membutuhkan. Bukan hanya kita yang butuh istirahat, melainkan semua butuh istirahat. Hukum Sabat dalam kitab Ulangan terarah kepada kemanusiaan dan alam semesta.
Apakah keduanya (Keluaran dan Ulangan) berlawanan? Sama sekali tidak! Karena ibadah kepada Tuhan itu aplikasinya memang bukan hanya beribadah di Bait Allah/ Gereja, melainkan juga melayani kemanusiaan. Melayani mereka yang butuh ditolong. Kita bisa bandingkan dengan pernyataan Tuhan Yesus: “… sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40).
Nah, berkaitan dengan aplikasi Sabat inilah, Yesus menentang ajaran yang hanya memfokuskan pada ‘tidak boleh bekerja’ (termasuk menolong orang). Yesus bukannya tidak menghargai hukum Sabat, melainkan justru sangat menghargai hukum Sabat dan mengarahkannya secara benar. Sabat itu penting untuk kemanusiaan. Selalu saja ada orang yang perlu ditolong. Kita yang diberkati harus memakai berkat itu untuk memberkati yang lain. Karena itu Yesus juga menyembuhkan pada hari Sabat. Dalam perkembangannya, Sabat memang tidak hanya merujuk pada hari ketujuh, tetapi setiap hari butuh Sabat. Selalu saja ada banyak orang yang perlu ditolong dan itu menjadi keseimbangan hidup kita yang bukan hanya berfokus kepada diri sendiri, melainkan juga kepada yang lain.
Tentu beribadah di Bait Allah/Gereja juga menjadi bagian dari hukum Sabat yang tidak boleh kita lupakan. Bukankah Yesus juga selalu setia beribadah di Bait Allah/Sinagoge dan mengajar di sana?
Nah, setelah kita memahami apa arti Sabat, sekarang saya akan menjawab pertanyaan Bapak secara teknis:
1. Dalam sistem kalender kita, hari ketujuh tetap hari Sabtu. Hari Minggu adalah hari pertama. Pada masa lalu, hari minggu disebut ‘Ahad’, berasal dari kata ‘Ehad’ yang berarti ‘satu/pertama’ dalam hitungan Ibrani.
2. Nah, jika demikian, mengapa ‘Sabat’ dalam agama Kristen jatuhnya hari Minggu? Karena Yesus bangkit pada hari ketiga, yang jatuhnya hari Minggu. Karena itu para Bapa Gereja sepakat untuk memakai hari Minggu sebagai hari pelaksanaan ibadah mingguan. Namun harus diingat, bahwa Sabat itu sejatinya tidak bisa dibatasi hanya pada hari Minggu. Yang penting adalah keseimbangan antara diri sendiri dan sesama manusia. Itulah Sabat yang Tuhan harapkan!
3. Tentu hukum Sabat masih sangat relevan, tetapi pelaksanaannya tidak dibatasi oleh hari. Bahwa pada hari Minggu kita dipanggil untuk beribadah, itu adalah bagian dari Sabat, tetapi ‘menjadi berkat bagi yang lain’ tidak terbatas hanya pada hari Minggu.
4. Sabat adalah soal ‘keseimbangan hidup’. Bukan soal boleh atau tidak boleh. Sabat adalah soal berkarya bagi kemanusiaan dan alam semesta. Nah, lakukan saja itu!
5. Yesus tidak meremehkan Sabat, tetapi meletakkan Sabat pada tempat yang sebenarnya. Masakan tidak boleh menolong orang pada hari Sabat? Apa betul itu kehendak Tuhan?
6. Kerinduan untuk menaati kehendak Tuhan kadang-kadang membawa kita pada kebimbangan, apa yang harus dilakukan? Apalagi ketika kehendak Tuhan itu dilakukan dalam sebuah batasan hari. Puji Tuhan, Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa yang Tuhan kehendaki sejatinya adalah ‘Mengasihi Allah dan sesama’ dan itu tidak dibatasi dalam hari tertentu saja. Kita bisa menerjemahkan sendiri apa yang harus kita lakukan untuk mengasihi Allah dan sesama.
Demikian jawaban saya, semoga membantu ya?•
|PDT. EM. RUDIANTO DJAJAKARTIKA
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.