Setiap acara kegiatan di gereja, apakah itu Paska, Bulan Keluarga, Bulan Budaya atau Natal, selalu diberi tema, dan semua kegiatan yang dilakukan dalam acara itu berhubungan dengan tema yang telah ditentukan. Bahkan dalam beberapa tahun ini selaIu disertai dengan lagu tema yang bagus.
Namun sayangnya—yang saya amati—antara satu tema dan tema lainnya tidak berhubungan, tidak sinambung, masing-masing berdiri sendiri. Kalau meminjam istilah strategi tinjunya Moh. Ali adalah “hit and run”. Biasanya, kalau kegiatan itu sudah selesai maka tema yang diusung untuk kegiatan tersebut pun segera terlupakan. Coba saja tanyakan kepada seorang warga jemaat, apa tema bulan Paska yang lalu, biasanya sih lupa, wong kalau ditanya tema khotbah minggu lalu saja lupa kok.
Sayang sekali semua upaya, tenaga, waktu dan biaya yang telah dikeluarkan untuk mendukung tema tersebut, seperti merekam video kesaksian, membuat skenario drama dan sebagainya, menguap begitu saja.
Ada baiknya—sesekali dalam kegiatan lain—tema-tema tersebut diingatkan kembali kepada jemaat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Pdt. Joas dalam salah satu khotbahnya baru baru ini yang menyinggung tentang “Gaya Hidup Ugahari”.
“Gaya Hidup Ugahari” atau “Gaya Hidup Cukup” adalah tema bulan budaya tahun lalu. Apakah gaya hidup seperti ini sudah dapat dipahami oleh jemaat? Hemat saya sih belum, karena “kampanye” mengenai “Gaya Hidup Cukup” ini hanya dilakukan sebulan saja, itu pun tidak setiap hari. Supaya gaya hidup ini dapat benar-benar diinternalisasi—yaitu dihayati sebagai suatu nilai yang berharga untuk diwujudkan dalam sikap dan perilaku—maka perlu di”kampanye”kan lebih sering dalam berbagai kesempatan. Proses internalisasi ini penting, karena penghayatan dan pemahaman seseorang itu berbeda-beda antara satu dan yang lain, sehingga perlu dilakukan secara terus-menerus.
“Gaya Hidup Cukup” ini sering kali kontradiktif dengan kenyataan yang ada di sekeliling kita, sedemikian rupa sehingga dapat mengintimidasi kita. Contohnya adalah fenomena “Mas mas dan mbak-mbak SCBD”. Menurut Prof. Rhenald Kasali, mereka adalah para pekerja yang berkantor di sekitar SCBD Jakarta. Mereka memaksakan diri atau terpaksa mengikuti tren dan cara berpakaian para pekerja di SCBD, seperti tas, sepatu, jam tangan dan sebagainya, padahal gaji mereka hanya sedikit lebih tinggi saja dari UMR. Bisa dibayangkan kondisi keuangan mereka yang boleh jadi lebih besar pasak dari tiang. Kalau saja mereka bisa menghayati “Gaya Hidup Ugahari”, mungkin akan banyak membantu.
Tema dibuat untuk suatu tujuan, paling tidak untuk bisa dipahami, dihayati, dimengerti dan diharapkan dapat dihidupi dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dan terlihat dalam sikap dan perilaku. Untuk mencapai tujuan itu, perlu dibuatkan program-program agar proses internalisasi dapat terlaksana dengan baik. Proses ini harus dengan sengaja dilakukan karena perbedaan perbedaan seperti yang dituliskan di atas. Itulah sebabnya antara satu tema dan tema yang lain harus sinambung, tidak bisa berdiri sendiri.
Pada awal tahun 2022 gereja memiliki tema besar yaitu “Visi Kerajaan Allah”, di mana tema ini akan disosialisasikan dalam tema-tema khotbah dan dalam pembinaan-pembinaan yang dilakukan dalam waktu satu tahun. Hal ini tentunya akan sangat baik. Untuk mempercepat terjadinya proses internalisasi oleh jemaat, tema itu harus dicacah menjadi subtema yang lebih kecil lagi, sehingga semua kegiatan yang dilakukan oleh setiap Bapel—bahkan sampai kegiatan terkecil pun—harus bermuara kepada tema besar tersebut.
Hal ini tentu tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi kita memiliki para pakar yang mumpuni di Mabid Pengembangan Jemaat, dan percayalah bahwa mereka akan merealisasikan, mengoordinasikan dan mengawal seluruh kegiatan untuk mewujudkan tema besar tersebut sehingga benar-benar dihidupi dengan baik oleh jemaat. Untuk mengetahui apakah tema ini dapat atau sudah diinternalisasi dengan baik oleh jemaat, tentu perlu juga dilakukan pengukuran terhadap perubahan yang diharapkan. Kalau tidak, ya akan sia-sia saja.
Demikian pun dengan lagu tema yang bagus-bagus itu. Jangan biarkan lagu lagu itu menjadi semacam “Lomba Cipta Lagu Tema”, mencoba untuk menciptakan lagu yang lebih bagus dan lebih bagus lagi. Atau lagu-lagu itu hanya akan menjadi tebak-tebakan dalam “Berpacu Dalam Melodi” dalam acara-acara kebersamaan, atau menjadi “Tembang Kenangan”. Secara sengaja, ada baiknya lagu lagu itu dinyanyikan dalam acara acara formal seperti kebaktian atau persekutuan, sebagai pengingat bahwa ada tema tertentu yang pernah diangkat dalam sebuah kegiatan. Menciptakan lagu tema yang mudah dinyanyikan, mudah diingat, juga tidak mudah, tetapi sudah terbukti bahwa di gereja kita banyak yang berpotensi menjadi pencipta lagu, baik melodi, aransemen maupun liriknya. Salam damai.•
|SINDHU SUMARGO
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.