Mengenal Orang Farisi

Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus

Belum ada komentar 2224 Views

Arti Kata Farisi
Kata Farisi—yang sering diterjemahkan sebagai ‘memisahkan/terpisah’— menunjukkan sikap segolongan orang yang memisahkan diri dari pengajaran—bahkan pergaulan— bangsa non Yahudi yang mereka anggap ‘mencemari’ idealisme tradisi Yahudi. Dengan demikian mereka melihat diri mereka sebagai kelompok yang berada di atas orang biasa, karena mereka menjaga dan mematuhi hukum agama. Sebenarnya terjemahan ini tidak begitu akurat. Kata Farisi berasal dari bahasa Ibrani םישורפ p’rushim, dari perush, yang berarti ‘penjelasan.’ Jadi kata Farisi berarti ‘orang yang menjelaskan’ ( שרפל lefareish – menjelaskan). Sedangkan ‘memisahkan’ berasa dari kata שירפהל lehafrish, dari akar kata yang terkait kata dalam bahasa Aram, upharsin (dan membagi) dalam tulisan di dinding dalam Kitab Daniel 5:25. Melihat peran dan pekerjaan yang mereka lakukan di tengah umat dan masyarakat sebagai penegak hukum Taurat yang sangat teliti, pengamat pelaksanaan hukum Taurat, dan berlaku sebagai polisinya orang Yahudi, maka arti sebagai ‘orang yang menjelaskan’ jauh lebih tepat daripada ‘orang yang memisahkan diri’, yang sekadar sebagai gambaran sikap mereka dalam bermasyarakat.

Kemunculan Mereka

Kaum Farisi diperkirakan mulai muncul pada abad 2 SM, pada masa Bait Allah ke-2. Mereka merupakan perkembangan dari kelompok Hasidim, yakni kelompok yang menganggap diri sebagai orang beragama yang saleh. Kelompok Hasidim memisahkan diri dari orang biasa. Sebagai pemimpin spiritual Yahudi, mereka membentuk sistem hukum yang diinterpretasikan dan harus dipatuhi oleh kelompok mereka dengan tujuan untuk menjaga agar mereka tidak melanggar Torah. Pemikiran dasar orang Farisi berakar pada zaman Ezra dan Nehemia. Ezra dan Nehemia menguraikan secara rinci dan menafsirkan hukum yang tidak tertulis itu. Mereka melarang perkawinan campuran. Nehemia memberlakukan peraturan bagi Sabat dan memberlakukan persembahan persepuluhan. Dapat dikatakan bahwa kaum Farisi mengikuti jejak-jejak Ezra dan Nehemia. Ezra dan Nehemia telah menetapkan ulang kedudukan Torah pada masyarakat Yahudi keturunan Yehuda.

Trauma Masa Pembuangan

Dalam gulungan naskah-naskah Laut Mati, kaum Farisi dikatakan sebagai kaum yang suka mencari dan memerhatikan hal-hal yang sangat kecil. Mereka menjadi pengamat pelaksanaan hukum yang sangat teliti, karena mereka memiliki kerangka berpikir bahwa Allah mencintai orang yang taat hukum dan menghukum yang tidak patuh. Mengapa perlu ada upaya seperti itu? Sebab bangsa Yahudi mengalami trauma yang sangat dalam mengenai pembuangan. Mereka tidak bisa beribadah dan menjumpai Allah dengan lebih baik di Bait Suci Nya. Mereka tidak bisa melaksanakan peribadahan secara bebas. Apabila penguasa yang memerintah mereka tidak menyukai praktik ibadah keagamaan mereka, bukan bantuan fasilitas yang didapatkan, melainkan hukuman dan persekusi, bahkan ancaman genosida.

Pembuangan ke Babel dipahami sebagai akibat dari kegagalan Israel mematuhi hukum Taurat. Mereka tidak mampu menaati secara konsisten dan detail hukum-hukum yang telah Allah firmankan kepada mereka. Itulah yang membuat Allah murka dan membuang mereka ke Babel. Karena itu, agar tidak terulang lagi kejadian traumatis yang pernah mereka alami, mereka kemudian membuat rincian tertulis dari hukum tak tertulis tersebut agar mereka dapat mematuhinya secara taat dan tepat, demikian pemikiran orang Farisi.

Hukum Lisan dan Hukum Tertulis

Orang Farisi membedakan hukum tertulis dan hukum lisan. Ketaatan pada hukum tak tertulis (lisan – Oral Law) lebih ditekankan. Hukum tertulis harus dipelajari dan ditafsirkan dalam terang tradisi lisan untuk memenuhi konteks zaman yang berubah ubah. Jika Torah tidak ditafsirkan, maka hukum tersebut tidak akan kontekstual lagi. Oleh karena itu, mereka juga memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menafsirkan Torah. Sistem hukum yang dibentuk diinterpretasikan dan harus dipatuhi agar mereka tidak melanggar Torah. Terkadang muncul banyak perbedaan dalam tafsiran hukum sehingga sering menimbulkan perdebatan di antara kaum Farisi sendiri. Kepandaian kaum Farisi dalam menafsir ini diperoleh dari proses pendidikan agama secara akademis.

Dari sinagoga, mereka belajar, fokus pada sekolah anak-anak, dan melakukan pekerjaan misionaris untuk menyebarkan firman Tuhan. Hanya orang-orang dari keluarga Farisi tua yang bisa menjadi bagian dari elit imamat ini. Sekolah seperti Hillel dan Shammai mulai berkembang pada abad ke-1 SM di kota Yavneh.

Kedudukan Sosial

Meskipun Farisi sering dianggap sebagai sebuah denominasi dalam agama Yahudi, tetapi kedudukan sosial dan keyakinan mereka berubah-ubah dalam perjalanan waktu, bersamaan dengan perubahan dalam kondisi politik dan sosial di Yudea. Mereka bisa menjadi sebuah partai politik, sebuah gerakan sosial, dan bahkan sebuah aliran pemikiran di antara orang-orang Yahudi. Pada masa pemerintahan Yohanes Hirkanus (135-104 SM), kaum Farisi mulai menunjukkan pengaruh di kalangan masyarakat. Mereka juga memiliki pengaruh di bidang politik, terutama pada masa Salome Alexandra (76-67 SM). Namun, setelah Roma berkuasa pada tahun 63 SM, mereka kembali pada peranan asli mereka sebagai kelompok yang menjelaskan hukum secara terinci, dan arbitrator perselisihan-perselisihan dalam komunitas Yahudi.

Sebenarnya mereka tidak sepenuhnya lepas tangan terhadap masalah masalah politik. R. Simeon ben Gamaliel I dan beberapa pemimpin Farisi lainnya memberontak terhadap Romawi pada tahun 66-70 M. Pemberontakan ini dipicu oleh kekurangajaran Gessius Florus—wakil Roma yang memerintah Yudea—yang merampas benda-benda perak dari Bait Allah ketika pemasukan pajak menurun. Karena tindakan balasan Florus dianggap sangat keterlaluan, maka pemberontakan meluas, seperti menghidupkan bara yang sudah lama tersimpan dalam sekam. Pasukan Romawi menanggapinya dengan lebih keras lagi, dan berakibat pada penghancuran Yerusalem serta Bait Alah sehingga rata dengan tanah pada tahun 70M oleh Jendral Titus Flavius Vespasianus.

Namun demikian, di atas semua itu perhatian utama orang-orang Farisi adalah membuat orang-orang Yahudi mengikuti firman Tuhan dalam semua aspek kehidupan mereka. Mereka memberlakukan semua hukum, baik mengenai kehidupan spiritual atau hal-hal normal yang biasa.

Menyejajarkan Tradisi dengan Firman Tuhan

Pandangan orang Farisi dalam hal keagamaan adalah mereka percaya bahwa Firman yang tertulis memang diwahyukan oleh Allah. Pada saat pelayanan Kristus di dunia, Firman yang tertulis ini adalah apa yang kita sebut saat ini sebagai Perjanjian Lama (TaNaKH). Namun mereka juga memberikan otoritas yang sama untuk berbagai tradisi. Mereka mencoba mempertahankan pandangan mereka tentang tradisi tersebut dengan merujuk kepada Musa.

Berkembang selama berabad-abad, berbagai tradisi ini ditambahkan ke dalam kitab mereka. Sebenarnya hal tersebut dilarang oleh Tuhan, seperti yang dituliskan dalam Ulangan 4:2 ini, “Janganlah kamu menambahi apa yang kuperintahkan kepadamu dan janganlah kamu menguranginya, dengan demikian kamu berpegang pada perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan kepadamu.”

Namun di samping tendensi kerohanian yang kuat, kaum Farisi kemudian juga berkembang menjadi arogan dan menekankan formalitas yang berlebihan. Mereka mensyaratkan detail-detail seremonial sampai mengabaikan ketentuan hukum moral yang lebih penting, yang berlandaskan kasih dan keadilan. Inilah yang dikecam oleh Yesus (Mat 23:23-28), dan karena kecaman ini, mereka ingin menangkap dan membunuh-Nya.

Di mata mereka, Yesus melanggar hukum Taurat, dengan melakukan pekerjaan pekerjaan-Nya, yaitu menyembuhkan orang pada hari Sabat, berteman dengan pemungut cukai dan perempuan berdosa, dan bahkan terlebih-lebih lagi mengaku sebagai Anak Allah. Mereka tidak bisa mengerti ucapan Yesus bahwa Dia berasal dari Allah Bapa, dan bahwa sebelum Abraham ada, Dia telah ada. Walaupun mereka menantikan Mesias, tetapi gambaran dan harapan mereka tentang Mesias adalah sebagai pemimpin/raja, sehingga mereka tidak bisa menerima Yesus yang tampil tidak sebagai raja, tetapi sebagai seorang yang miskin, tukang kayu dari Nazareth.

Pekerja Kelas Menengah

Sebagian besar orang Farisi merupakan pekerja kelas menengah, berbeda dengan kelompok orang Saduki yang berasal dari kelas atas. Karena itu orang Farisi lebih sering berinteraksi dengan rakyat kecil. Selain itu, masyarakat umum juga lebih menghargai kaum Farisi daripada orang Saduki.

Meskipun orang Farisi adalah kelompok minoritas di Sanhedrin (semacam dewan mahkamah agama di masyarakat Yahudi), dan hanya sejumlah kecil yang menjadi imam, mereka sepertinya lebih punya pengaruh besar dalam pengambilan keputusan di Sanhedrin ketimbang kelompok Saduki. Hal ini disebabkan karena orang Farisi memiliki dukungan masyarakat.

Tipe-tipe Orang Farisi

Dalam kisah Injil, pada umumnya orang Farisi tampil menjadi lawan Yesus. Namun, kadang-kadang ada orang Farisi yang tampil menjadi kawan Yesus (mengundang Yesus makan di rumahnya—Luk. 7:36; 11:37; 14:1), mengingatkan Yesus bahwa Herodes akan membunuh-Nya (13:31), Nikodemus yang menjumpai Yesus (Yoh. 3:1) dan juga Yusuf dari Arimatea yang memberikan kuburnya untuk Yesus. Mereka bukannya tidak tampil konsisten dan mudah berubah sikap, tetapi orang-orang Yahudi sendiri mengetahui dengan baik bahwa ada orang Farisi yang jahat dan orang Farisi yang baik. Dalam Talmud (catatan tentang diskusi para rabi yang berkaitan dengan hukum Yahudi, etika, kebiasaan dan sejarah) ditulis tentang pembagian orang Farisi yang digolongkan menurut 7 (tujuh) kelas yang berbeda.

Pertama, Orang-orang Farisi Pundak/Bahu. Mereka sangat teliti memelihara hukum Taurat. Reputasi mereka terkenal dalam kesucian dan kebaikan. Namun mereka membawa ke sana-kemari perbuatan-perbuatan baik mereka di atas pundak untuk dipamerkan kepada orang lain. Farisi yang menyombongkan kebaikan kebaikannya.

Kedua, Orang-orang Farisi yang Berdarah atau Memar. Mereka senantiasa memalingkan wajah untuk menghindari melihat perempuan. Seorang Rabbi Yahudi tidak akan pernah berbicara dengan seorang perempuan di jalan, sekalipun itu adalah saudara kandungnya, atau istrinya, bahkan ibunya. Namun beberapa orang Farisi tertentu malah bertindak lebih ekstrem. Mereka tidak mau melihat atau menengok perempuan di jalan. Mereka bahkan menutup mata untuk menghindar dari melihat perempuan. Mereka membentur-benturkan muka mereka ke tembok-tembok atau rumah rumah dan melukai diri mereka serta memperlihatkan luka itu sebagai tanda khusus dari kesalehan mereka yang luar biasa.

Ketiga, Orang-orang Farisi Berpunuk. Mereka adalah yang senantiasa berjalan dengan membungkuk dalam kerendahan hati yang berpura-pura dan munafik, sambil mengangguk anggukan kepala seolah-olah bijaksana. Kerendahan hati mereka memualkan. Ketidakpedulian, kepatuhan, dan ketidaktulusan, sering membuat referensi untuk ‘kerendahan hati mereka’ sendiri.

Keempat, Orang-orang Farisi yang Menghitung-hitung. Mereka adalah orang Farisi yang senantiasa menghitung-hitung perbuatan perbuatan baik mereka, dan seolah olah sedang mencari perhitungan laba-rugi dengan Allah. Mereka percaya bahwa setiap perbuatan baik yang mereka lakukan akan menambah utang Allah bagi mereka. Bagi mereka, agama selalu merupakan perhitungan rugi-laba.

Kelima, Orang-orang Farisi yang Takut-takutan. Adalah mereka yang senantiasa berada dalam ketakutan akan murka Allah. Mereka memandang agama dalam pengertian upaya penghakiman, serta melihat hidup sebagai upaya untuk menghindarkan diri dari hukuman itu. Bukannya ditolong, mereka justru diburu-buru oleh agama mereka.

Keenam, Orang-orang Farisi yang Menanti Sedikit Saja atau Farisi Tunggu Dulu. Adalah mereka yang senantiasa mendapat alasan untuk menunda perbuatan baik sampai esok hari. Mereka mengaku dalam pengakuan iman mereka sebagai Farisi yang paling taat, tetapi selalu menemukan cara untuk tidak melakukan. Mereka berbicara, tapi tidak melakukan.

Ketujuh, Orang-orang Farisi yang Mengasihi Allah. Mereka adalah tiruan dari Abraham yang hidup dalam iman dan pengasihan. Mereka adalah orang-orang Farisi yang benar-benar dan sungguh-sungguh mengasihi Allah dan menemukan sukacita dalam menaati hukum Taurat Allah, seberapa pun sulitnya. Mereka mematuhi Allah karena mereka sangat mengasihi-Nya.

Dalam setiap satu orang Farisi yang baik terdapat enam orang Farisi yang tidak baik. Pada akhirnya kita tahu dari golongan mana di antara para Farisi itu yang mengagumi dan yang menghormati Yesus.

Perbedaan dengan Orang Saduki

Meskipun Orang Saduki dan Farisi merupakan kelompok berkuasa di Israel, tetapi ada persamaan dan perbedaan yang hakiki di antara kedua kelompok ini.

Orang Saduki adalah kelompok orang kaya kelas atas, yang bekerja sama dan berhubungan erat dengan penjajah Roma. Mereka bekerja keras untuk menjaga perdamaian dengan mengakomodasi berbagai keputusan Kekaisaran Roma. Karena itu mereka diberi kekuasaan menjadi imam kepala dan imam besar dan merupakan mayoritas dari 70 kursi anggota majelis yang berkuasa, yang disebut Sanhedrin. Namun orang-orang Saduki tampaknya lebih peduli pada urusan politik dibandingkan agama.

Orang Saduki tidak berhubungan baik dengan rakyat kecil. Sebaliknya, rakyat kecil pun tidak menghargai mereka. Meskipun kelompok Saduki merupakan kelompok mayoritas di Sanhedrin, tetapi pendapat kelompok Farisi yang minoritaslah yang paling banyak dijadikan dasar pengambilan keputusan, karena mereka mendapat dukungan dan kepercayaan rakyat.

Jika orang Farisi memosisikan tradisi yang tidak tertulis sebagai otoritas yang bobotnya dianggap sama dengan Firman Tuhan, orang Saduki hanya memegang Firman yang tertulis, yang berasal dari Allah. Orang Saduki menjaga otoritas Firman Tuhan yang tertulis, terutama Kitab Musa (dari kitab Kejadian sampai Ulangan). Meski mereka memegang teguh soal ini, pandangan mereka tentang doktrin jelas tidak seutuhnya benar. Berikut daftar singkat dari kepercayaan mereka yang bertentangan dengan Alkitab:

  1. Mereka sangat bersandar pada diri sendiri sehingga menyangkal ket erlibatan Allah dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Mereka menyangkal soal kebang kitan orang mati (Mat. 22:23; Mar. 12:18-27; Kis. 23:8).
  3. Mereka menyangkal soal ke hidupan kekal. Mereka meyakini bahwa setiap jiwa akan binasa setelah kematian, sehingga mereka menyangkal adanya hukuman atau upah apapun setelah kehidupan di dunia ini.
  4. Mereka menyangkal adanya dunia spiritual, termasuk keberadaan malaikat ataupun iblis (Kis. 23:8).

Karena orang Saduki lebih peduli pada politik dibandingkan agama, mereka tidak peduli dengan keberadaan Yesus. Mereka baru mulai terganggu ketika merasa bahwa Yesus mungkin menimbulkan keresahan bagi Roma. Pada saat inilah orang Saduki dan orang Farisi bersatu dan bersekongkol menghukum mati Kristus. Orang Saduki juga ikut terlibat dalam kematian Yakobus menurut sejarawan Yosefus (Kis. 12:1-2).

Orang Saduki musnah pada tahun 70 M. Karena keberadaan golongan ini terkait hubungan politik dan pastoral dengan Roma, maka ketika Roma menghancurkan Yerusalem dan Bait Suci pada tahun 70 M, orang Saduki pun ikut dibinasakan.•

|Sujarwo

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Artikel Lepas
  • Kami Juga Ingin Belajar
    Di zaman ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, manusia justru diperhadapkan dengan berbagai macam masalah...
  • KESAHAJAAN
    Dalam sebuah kesempatan perjumpaan saya dengan Pdt. Joas Adiprasetya di sebuah seminar beberapa tahun lalu, ia menyebutkan pernyataan menarik...
  • Tidak Pernah SELESAI
    Dalam kehidupan ini, banyak pekerjaan yang tidak pernah selesai, mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai pekerjaan rumit seperti mengurus...
  • Mengenal Sosok Herodes
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Herodes dalam Injil Banyak orang tidak terlalu menaruh perhatian pada sosok Herodes dalam Injil. Kebanyakan mereka hanya tahu bahwa...
  • T.E.M.A
    Setiap acara kegiatan di gereja, apakah itu Paska, Bulan Keluarga, Bulan Budaya atau Natal, selalu diberi tema, dan semua...