syibolet

Syibolet – tlbv

sebuah antitesis seruan “All Are Welcome”

1 Komentar 352 Views

Bhinneka Tunggal Ika

Semboyan persatuan dan kesatuan yang dihayati dan digunakan oleh para bapak bangsa untuk mewadahi, mengakui, dan menyatukan beragam perbedaan suku-suku bangsa—yang dijadikan aset untuk membentuk bangsa ini—rupanya tidak serta merta dapat dipahami, dihayati dan diwujudkan dalam praktik kehidupan keseharian penduduknya.

Dalam kenyataannya, anak-anak bangsa ini lebih jeli dan lebih peka melihat, merasakan, dan menyuarakan perbedaan ketimbang kesamaan yang ada. Perbedaan suku, budaya, bahasa, kelompok, almamater, keluarga, apalagi agama, sudah cukup menjadi bahan dikotomi kelompok ‘kita’ dengan kelompok ‘lainnya’. Jangankan perbedaan prinsip, perbedaan kecil dalam kesamaan prinsip saja bisa mengantar pihak lain itu menjadi liyan. Menjadi orang lain. Di dalam kelompok lain. Disebut ‘wong liya’, liyan.

Negeri kita rusuh, suku kita terpecah, lingkungan kita terkotak-kotak, kantor kita tersegmentasi, gereja kita tersegregasi, bahkan keluarga kita terpolarisasi karena perbedaan, atas nama perbedaan, dan demi perbedaan. Kita menjadi lebih kreatif dalam memecah karena perbedaan ketimbang membangun dalam perbedaan. Rupanya hal seperti ini telah menjadi pilihan sikap dan kodrat manusia dari dulu, sehingga banyak peristiwa lahir karena seni dan kreativitas membeda-bedakan ini. Mungkin lebih tepat bila dikatakan sebagai demonstrasi kebodohan membeda-bedakan.

S|y|ibolet

Hakim-hakim 12:1-7 mencatat peristiwa perseteruan orang Efraim dengan orang Gilead. Karena congkak, orang-orang Efraim—yang merasa besar dan kuat—menantang Yefta dan orang-orang Gilead (keturunan Manasye dan sebagian juga dari Efraim) yang mereka tuduh tidak mengajak mereka memerangi bani Amon. Perseteruan itu berubah menjadi perang antar suku. Orang-orang Efraim dapat dikalahkan. Ternyata peristiwa tersebut tidak berhenti sampai di situ saja, tapi berbuntut lebih panjang. Orang-orang Gilead menduduki tempat-tempat penyeberangan sungai Yordan untuk menghadang orang-orang Efraim menyeberang. Setiap penyeberang akan ditanya apakah dia dari suku Efraim. Ia akan diminta mengucapkan password:‘syibolet’ – tlbs, shibboleth, artinya bulir gandum atau gelombang (tetapi ini bukan tentang arti kata atau semantik, namun soal pengucapan, lafal). Orang-orang Efraim pada umumnya tidak bisa mengucapkan ‘syibolet’, melainkan ‘sibolet’ – tlbo, chibolleth. Dan itu akan menjadi ‘pass-not-word’ yang membuat mereka ditangkap dan dibunuh. Dalam kasus ini saja terdapat 42.000 orang Efraim yang disembelih karena perbedaan pengucapan tersebut. Mengerikan bukan?

Berkaca dari kejadian itu, syibolet kemudian mengemuka sebagai istilah untuk menyebut kebiasaan atau tradisi penerapan suatu prinsip atau praktik yang dipegang teguh, tetapi yang oleh sebagian orang dianggap tidak tepat atau ketinggalan zaman. Praktik ini diterapkan dengan memakai kebiasaan, frasa, atau penggunaan bahasa sebagai ujian untuk mendapatkan ‘tiket masuk’ dan bisa diakui sebagai anggota kelompok suatu golongan, profesi, atau kelas sosial tertentu. Di sisi lain, bila tidak mampu lolos dari ujian itu, maka akan menjadi batu sandungan. Sebenarnya syibolet hanyalah sebuah penanda identitas yang bersifat linguistik, untuk menentukan siapa yang tergolong ‘kita’ dan siapa yang tergolong ‘mereka.’ Ia tidak bermakna negatif atau positif. Namun, sayangnya syibolet banyak dipakai untuk sebuah tujuan lain—yang lazimnya negatif—untuk mengatakan bahwa ‘mereka’ bukanlah ‘kita’. Penerapan syibolet sering membawa efek yang jauh lebih buruk daripada sekadar menjadi berbeda, karena juga mengarah kepada kecelakaan, bahkan kematian.

Di zaman modern ini pun orang masih menggunakan syibolet sebagai penanda identitas yang mengarah pada penyingkiran pihak lain yang berbeda. Kerusuhan Juli Hitam (Black July) di Sri Lanka pada tahun 1983 terjadi ketika banyak orang Tamil dibasmi oleh anak-anak muda Sri Lanka. Mereka mencegat bis-bis dan memaksa setiap penumpang untuk mengucapkan kata yang memiliki huruf BA yang kental, seperti Baldiya (බල්දියා). Jika seseorang gagal mengucapkannya, maka ia pasti orang Tamil, dan layak dibunuh! Tidak pada zaman itu saja praktik syibolet membawa dampak yang mengerikan. Bahkan pada era digital di negara yang mengklaim peradabannya paling maju sekalipun syibolet ini terjadi secara nyata dan berdampak sangat buruk. Pada tahun 2017, penduduk New Orleans ingin mengusir para pendatang yang hendak mendemo dihilangkannya monumen Robert E. Lee, dengan cara mendesak mereka untuk mengucapkan kata Tchoupitoulas, nama sebuah jalan di kota itu. Ketidakmampuan banyak orang dari luar New Orleans untuk mengucapkannya sesuai dengan dialek setempat, membuat mereka menjadi ‘orang luar.’

All Are Welcome

Dalam rangka menghidupi visi GKI Pondok Indah yakni: Hidup, Terbuka, Partisipatif dan Peduli (HTTP), panitia Bulan Budaya mengangkat tema All Are Welcome yang secara khusus memberikan penekanan pada upaya pengejawantahan bagian visi ‘Terbuka.’ Seruan ini tidak saja memberikan perhatian dan ajakan untuk menyambut hangat upaya membangun kebersamaan dengan lingkup eksternal—mengingat kita hidup di tengah komunitas, suku bangsa dan keyakinan yang beragam di Indonesia—tapi juga di lingkup internal, mengingat keragaman selera dan minat pelayanan, usia dan generasi jemaat, komunitas-komunitas basis, serta program-program pembinaan yang memerlukan keterlibatan dan peran serta yang saling bersilangan.

Kehidupan internal yang tak luput dari syibolet dalam berbagai hal ini membutuhkan upaya penerimaan nyata, pengakuan yang jujur, dan kesediaan untuk bertobat secara tulus. Hal ini diperlukan agar bisa bersinergi dengan pihak eksternal dalam menghasilkan karya kebersamaan yang menopang dan memperkukuh sendi-sendi persatuan dan menerima berkat Tuhan. Sebelum persoalan syibolet di lingkungan internal ini diselesaikan, rasanya sulit bisa mengatakan secara tulus kepada pihak eksternal: ‘welcome to our community’.

Bahwa kita telah diperdamaikan dengan Allah dalam kondisi ketika masih berdosa, seperti yang tertulis dalam Roma 5:8, Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa, adalah demonstrasi kasih yang tidak pandang bulu dan tak bersyarat. Kasih yang sangat pantas dan paling layak mengucapkan: all are welcome. Kasih yang tidak memedulikan—bahkan menjauhkan syibolet—dalam aplikasinya. Berkaca dari cara dan prakarsa Tuhan dalam merangkul dan menerima kita, demikianlah hendaknya kita mau dan mampu secara proaktif berprakarsa untuk merangkul saudara-saudara seiman—yang dijadikan liyan karena syibolet—dalam pelayanan bersama kepada Tuhan dan umat-Nya. Upaya dan kesediaan menjadi proaktif ini sekaligus menghidupi pesan Rasul Paulus dalam Roma 12:18, Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!

Secara khusus yang disorot kali ini adalah tentang keragaman antar generasi. Meskipun topik syibolet ini tidak secara khusus menyisihkan mereka yang berbeda generasi sebagai liyan dalam pergaulan keseharian, tapi perbedaan ini sering tampak dalam pengambilan keputusan bersama yang berkaitan dengan selera, pengalaman, kebiasaan, dan pola pikir yang dipengaruhi oleh rentang era dan masa dalam kehidupan masing-masing. Perbedaan ini kadang-kadang bisa sangat tajam, bahkan ekstrem, sehingga sangat memperlambat eksekusi sebuah keputusan karena memperdebatkan hal-hal yang tidak esensial. Pengalaman traumatis dan tidak menyenangkan ini sering menjadi alasan untuk menolak kerja sama.

Memang tidak mudah menerima perbedaan. Sangat diperlukan kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita tidak sempurna. Dalam kekurangan itulah kita membutuhkan kelebihan orang lain untuk menyempurnakannya, demikian pun sebaliknya. Hal yang tak kalah penting adalah kesadaran diri akan eksistensi dan keberadaan kita di hadapan Tuhan. Kita—yang hanya bak sebutir debu di hadapan-Nya—ternyata sangat dikasihi, dihargai, dan dipelihara-Nya. Karenanya kita sungguh tidak berhak mengecilkan keberadaan dan peran orang lain yang juga sama-sama dipelihara-Nya. Kesadaran-kesadaran ini memungkinkan kita untuk saling menyapa, belajar, dan memahami dalam perbedaan yang ada. Bukan untuk memperbesar dan mempertentangkannya, melainkan untuk saling melengkapi dan merayakannya dalam pelayanan bagi kemuliaan-Nya. Mari sambut sesama kita dalam keragaman perbedaannya. All are welcome!

>> SUJARWO

(Terinspirasi Pdt. Joas Adiprasetya dalam Pemahaman Alkitab yang mengguncang nalar dan mengusik nurani).

1 Comment

  1. Ratih Gunadi

    Saya sedang bersaat teduh dari erikop ini. Tidak paham arti shibolet. Dan menemukan artikel yang mencerahkan dalam mengatasi keinginan untuk ekslusif.Terima kasih pak Jatwo dan Pdt Yoas

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Artikel Lepas
  • Kami Juga Ingin Belajar
    Di zaman ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, manusia justru diperhadapkan dengan berbagai macam masalah...
  • KESAHAJAAN
    Dalam sebuah kesempatan perjumpaan saya dengan Pdt. Joas Adiprasetya di sebuah seminar beberapa tahun lalu, ia menyebutkan pernyataan menarik...
  • Tidak Pernah SELESAI
    Dalam kehidupan ini, banyak pekerjaan yang tidak pernah selesai, mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai pekerjaan rumit seperti mengurus...
  • Mengenal Orang Farisi
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Arti Kata Farisi Kata Farisi—yang sering diterjemahkan sebagai ‘memisahkan/terpisah’— menunjukkan sikap segolongan orang yang memisahkan diri dari pengajaran—bahkan pergaulan—...
  • Mengenal Sosok Herodes
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Herodes dalam Injil Banyak orang tidak terlalu menaruh perhatian pada sosok Herodes dalam Injil. Kebanyakan mereka hanya tahu bahwa...