Banyak pertanyaan soal yang satu ini. Apakah sehabis selesai vaksinasi kita perlu memeriksa antibodi? Adanya informasi yang simpang siur, ditambah adanya tawaran untuk diperiksa, membingungkan masyarakat. Untuk menjawabnya, kita membahasnya di sini.
Antibodi spesifik terhadap COVID-19 bisa terbentuk sehabis sakit COVID-19, bisa juga sehabis divaksinasi. Perlu waktu 1-3 minggu untuk membentuk antibodi setelah terinfeksi. Demikian pula kira-kira sehabis divaksinasi.
Antibodi sendiri bisa dari selaput lendir saluran napas, bisa juga dari cairan darah (humoral antibody), selain dari sel darah putih (T-cell).
Begitu virus COVID-19 memasuki tubuh, ia langsung diserang antibodi di selaput lendir saluran napas. Kalau virus masih bisa lolos dari sergapan awal, sistem imun cellular mengepung untuk menetralkannya. Apakah serangan virus akan berakhir dengan jatuh sakit, atau batal sakit, atau sakitnya ringan, sedang, berat atau kritis, itu ditentukan oleh seberapa besar dosis virus yang masuk, dan seberapa kuat sistem imun. Tanpa masker, sekali bernapas 20 virus terlontar dari hidung dan mulut pengidap COVID-19. Batuk melontarkan 200-an virus, dan bersin 2.000-an virus. Di sini nilai manfaat masker menyaring, sehingga sekurang kurangnya virus yang lolos memasuki tubuh kita tidak sebanyak itu.
Seiring bertambah umur, sistem imun lansia makin melemah. Kalau tubuh dimasuki virus COVID, penyakitnya cenderung memberat, atau kritis, kalau bukan berujung kematian.
Normalnya, sistem imun tubuh didukung oleh diet harian, kecukupan vitamin-mineral, selain seberapa sehatnya status kesehatan. Menu harian lengkap (balance diet) termasuk protein telur, khusus kecukupan vitamin C, D, zinc, dan probiotik, kian menunjang terbentuknya sistem imun yang tangguh. Makin sehat status kesehatan, cukup tidur, rutin bergerak badan, terbebas dari stres, makin menopang kukuhnya sistem imun tubuh.
Sudah disebut di atas, dosis virus yang memasuki tubuh bisa dikurangi dengan cara mematuhi protokol kesehatan, khususnya memakai masker, selain membatasi masuk area publik, khususnya ruang publik yang tertutup ber-AC.
Makin sedikit dosis virus COVID-19 memasuki tubuh, makin kecil kemungkinan kita sakit COVID-19. Kasus COVID-19 asymptomatic (yang acap rancu dengan orang tanpa gejala atau OTG) terjadi karena kendati tubuh dimasuki COVID-19, tapi tidak bergejala karena peperangan melawan virus COVID-19 yang memasuki tubuh dimenangkan oleh sistem imun tubuh. Sekali lagi, ini untungnya kalau sistem imun tubuh terbilang tangguh. Hal yang sama kita peroleh apabila kita sudah divaksinasi. Kendati dimasuki virus pun, kita tidak perlu sakit. Atau kalau sampai sakit pun, sakitnya tergolong ringan.
Antibodi yang dinilai di laboratorium bisa kualitatif, dengan laporan ya atau tidak, untuk melihat adakah perubahan kekebalan atau serokonversi dalam darah. Atau bisa juga dinilai secara kuantitatif, dengan menghitung seberapa titer antibodi dalam darah, baik sehabis sakit COVID-19, atau sehabis divaksinasi.
Tes menghitung antibodi ada beberapa versi. Karena itu dinilai tidak tepat mengambil konklusi untuk tujuan mendiagnosis apakah pernah infeksi ataukah tidak. Pertama, oleh karena kita tidak sepenuhnya tahu berapa lama antibodi masih hadir dalam darah sehabis terinfeksi. Kedua, kita juga belum sepenuhnya tahu berapa banyak antibodi yang dibutuhkan untuk mampu menetralkan virus COVID-19 yang memasuki tubuh pada kali berikutnya (reinfection). Itulah alasan mengapa pihak otoritas CDC (Pencegahan Penyakit Menular AS) menyerukan agar orang tidak perlu memeriksa kadar antibodi COVID-19 setelah divaksinasi.
Bisa saja terjadi, seseorang yang hasil pemeriksaan antibodinya negatif, dalam status terproteksi terhadap COVID-19. Mengapa bisa begitu?
Oleh karena tes antibodi COVID-19 versi yang berbeda, berbeda pula mendeteksi bagian virus COVID-19 yang tak sama. Ada tes antibodi yang mendeteksi bagian spike (jonjot) protein virus, dan ada juga tes antibodi yang mendeteksi bagian inti nucleocapsid.
Tergantung tes antibodi mendeteksi jenis protein virus yang mana, dan apa merek vaksin yang dipakai, platform pembuatan vaksin dari bahan bagian virus apanya. Kita tahu pembuatan vaksin bisa dari virus yang sudah dimatikan (inactivated), selain vaksin yang dibuat dari asam nukleat (inti), dan dari submit protein.
Jadi mendeteksi antibodi dengan versi spike protein terhadap orang yang divaksinasi dengan vaksin yang dibuat dengan protein nucleocapsid, tidak memberikan hasil yang benar, karena hasilnya bersifat palsu. Kendati antibodinya ada, tapi tidak terdeteksi karena versi tes antibodinya tidak ada kesamaan.
Kasus orang yang sudah divaksinasi tapi pemeriksaan antibodinya negatif, bisa terjadi karena tes antibodi tidak mendeteksi antibodi yang terbuat dari materi vaksin yang sama, karena platform vaksinnya tidak sama.
Hal lain, antibodi hadir dalam darah, namun dosisnya tidak mencapai ambang minimal untuk bisa terdeteksi oleh suatu tes antibodi. Misalnya setelah sembuh, berangsur-angsur antibodi kian menurun dalam darah. Demikian pula antibodi setelah divaksinasi, makin bulan makin menurun. Itu berarti, bila antibodi tidak terdeteksi, belum tentu berarti sama sekali sudah tidak ada antibodi dalam darah.
Tes antibodi yang dilakukan laboratorium untuk menghitung total antibodi, menggunakan versi S-RBD (protein S-Receptor Binding Domain). Namun sekali lagi, WHO dan CDC tidak menganjurkan untuk memeriksanya bila tujuannya hanya untuk menilai hasil vaksinasi.
Apakah nilai S-RBD mencerminkan juga seluruh antibodi yang ada? Selain itu bisa saja tidak mendeteksi adanya antibodi, apabila platform vaksinnya dari protein inti nucleocapsid. Sebaliknya, yang divaksinasi dengan platform protein juga memberi hasil negatif apabila diperiksa dengan tes antibodi versi nucleocapsid.
Jadi supaya tidak membingungkan, tak perlulah memeriksa. Tidak mungkin antibodinya sama sekali nol. Hanya mereka yang non-responder—dan hal itu jarang—yang antibodinya tidak terbentuk. Sekali lagi kita tidak tahu berapa dosis antibodi yang bisa diandalkan untuk melumpuhkan virus COVID-19. Kita juga belum sepenuhnya tahu berapa lama antibodi masih bertahan dalam tubuh dengan dosis yang efektif melumpuhkan COVID-19. Sementara pemeriksaan antibodi baru terdeteksi pada ambang dosis antibodi tertentu, yang mungkin di atas dosis antibodi yang sesungguhnya efektif melumpuhkan COVID-19.
Maka daripada tambah bingung karena susah memahaminya, sebaiknya memilih tidak perlu memeriksa. Lagi pula sebagian besar orang yang divaksinasi, terbentuk antibodinya. Sebagian kecil saja yang dosisnya kecil. Dan dari dosis yang kecil ini kita belum sepenuhnya tahu apa ternyata sudah cukup efektif untuk melumpuhkan COVID-19.•
|DR HANDRAWAN NADESUL
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.