Stres Anak

Stres Pada Anak

dipicu oleh ketidakpahaman orangtua pada anak

Belum ada komentar 70 Views

Anak pun Bisa Stres Orang dewasa cenderung menganggap dunia anak- anak bebas dari stres. Dunia mereka dibayangkan penuh dengan kesenangan, kebahagiaan, dan kegembiraan. Tanpa tanggung jawab. Anak-anak tidak harus bekerja dan tidak pusing dengan tagihan yang harus dibayar, jadi apa yang harus dikhawatirkan? Riset menyatakan bahwa anak balita juga mengalami stres. Perpisahan dengan orangtua menimbulkan kecemasan. Perubahan suasana yang ekstrim juga menjadi sumber stres balita. Perasaan tidak nyamannya ditunjukkan dengan menangis. Ketika anak-anak bertambah besar, tuntutan akademis dan sosial, dalam rangka beradaptasi, memicu stres.

Stres dapat memengaruhi siapa pun yang merasa kewalahan, bahkan anak anak. Banyak anak yang terlalu sibuk sehingga tidak lagi punya waktu untuk bermain atau santai sepulang sekolah. Anak yang merasa kewalahan dengan jadwal kegiatannya sehingga menolak untuk diajak pergi atau sekadar bersenang-senang, dapat berujung pada stres. Perlu disadari juga bahwa beberapa hal yang bukan masalah besar bagi orang dewasa dapat menyebabkan stres yang signifikan bagi anak-anak.

Gejala Stres Pada Anak
Meskipun tidak selalu mudah mengenali stres anak, tapi melalui beberapa perilaku tertentu dapat diindikasikan bahwa ia mengalami stres. Beberapa gejala berbeda pada anak usia dini dan usia sekolah. Anak anak yang lebih kecil tidak mudah mengatakan apa yang mereka rasakan. Sedangkan anak-anak usia sekolah dapat lebih mengungkapkannya, terutama apabila mereka tumbuh dalam keluarga yang mengenalkanperasaan (naming feeling) pada anak, seperti takut, marah, sedih, kecewa, sakit, dll.

Pada usia dini, indikasi stres anak dapat dikenali dari perubahan perilaku jangka pendek—seperti perubahan suasana hati, merengek, rewel, gampang menangis, mudah marah, perubahan pola tidur, ngompol (usia > 4 tahun), mengisap jempol, memutar mutar rambut, berbohong, menggertak atau menempel (tidak mau pisah) dengan orangtua.

Pada usia sekolah, sama halnya dengan usia dini, anak juga mengalami perubahan perilaku jangka pendek, seperti perubahan suasana hati (moody), berulah, sakit perut, sakit kepala, kesulitan konsentrasi, tidak mau menyelesaikan tugas sekolah, menarik diri, memutar-mutar rambut, berbohong, menggertak dan menentang otoritas, mimpi buruk, prestasi akademis menurun drastis, atau menunjukkan perilaku yang mundur pada tahap perkembangan sebelumnya (regresi), seperti mengisap jempol, ngompol, atau BAB di celana.

Penyebab Stres Anak
Banyak hal yang menjadi penyebab stres anak, kebanyakan dari luar dirinya. Respons orangtualah yang justru menjadi sumber stresnya, seperti:

Tuntutan Akademis. Banyak anak yang mengeluh tuntutan pelajaran di sekolah yang sangat berat, sehingga mereka tidak sempat menjalani kehidupan lain di luar sekolah. Sekolah tidak lagi menyenangkan dan menggembirakan, sehingga ada saja hal yang timbul jika hendak berangkat sekolah, seperti mulas, pusing, marah marah atau bahkan muntah-muntah. Bagaimana respons orangtua? Marah marah dan menghukumnya supaya mau masuk sekolah? Tekanan terhadap anak makin bertambah.

Lingkungan. Konsumsi berita yang menyeramkan tentang bencana alam, perkelahian, perang, terorisme, atau tontonan yang keras dan vulgar yang tidak sesuai dengan usia anak, bisa menimbulkan efek yang buruk baginya. Ia merasa ngeri, ketakutan dan mengkhawatirkan keselamatannya sendiri dan orang orang yang dicintainya. Efeknya, ia bisa sulit tidur atau gelisah berhari-hari. Orangtua yang tidak tanggap terhadap hal ini akan tetap menikmati tontonan itu (meskipun anak berada di sampingnya) demi up-date informasi yang menyenangkannya.

Teknologi. Anak-anak yang hidup dengan teknologi merasakan kontribusi positifnya dalam hidup keseharian mereka. Namun tak dapat dimungkiri, banyak pula dampaknya yang membuat mereka stres karena terpaksa menerima konten-konten yang tidak sesuai usia mereka ketika menikmati gawai untuk belajar, bermain, atau bersantai. Munculnya pop-up iklan yang mengandung kekerasan, pornografi, judi, dan sikap anti sosial, potensial membuat anak-anak stres karena belum bisa mengolah informasi dengan baik dan benar sesuai usia mereka. Orangtua terkadang kurang mampu berperan dalam membendung masuknya informasi yang demikian, karena motivasi untuk membawa anak anak dalam kecanggihan teknologi menggunakan gawai adalah supaya mereka bisa tenang dengan diri mereka sendiri dan tidak terlalu merusuhi orangtua.

Teman. Isu paling menonjol pada anak remaja adalah pertemanan. Diterima dalam pertemanan menjadi hal paling diharapkannya melebihi kebutuhan lainnya. Dalam upaya untuk bisa diterima, ia berusaha beradaptasi dengan nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya. Ketidaksesuaian nilai yang bertentangan dengan sikap moralnya akan menjadi sumber stres baginya, apalagi jika tekanan itu sangat besar. Apabila orangtua cukup membekalinya dengan nilai-nilai alkitabiah yang dihidupi dalam keluarga, ia tidak akan terlalu bingung dan stres menentukan sikap dalam pertemanannya.

Kepribadian. Masing-masing anak punya perbedaan ketahanan terhadap stres. Ada yang dari lahir memiliki daya tahan terhadap stres cukup tinggi, tetapi ada juga yang tidak tahan terhadap stres atau toleransinya terhadap stres rendah. Mereka yang toleransinya tergolong rendah terhadap stres, begitu mendapat sedikit stres saja sudah depresi. Ketidakmampuan orangtua mengenal ketahanan anak terhadap stres dan cenderung menyamaratakannya atau membanding-bandingkannya dengan anak lain menjadi sumber stres tersendiri bagi anak.

Kondisi Keluarga. Keluarga yang mengalami saat-saat buruk seperti perceraian, konflik orangtua, sakit serius, kematian salah satu anggota keluarga, atau berpindah-pindah rumah, dapat menjadi pemicu stres bagi anak. Orangtua yang tidak memahami hal ini, dan bahkan menganggapnya sebagai hal biasa, akan menciptakan sumber stres yang tidak pernah surut bagi anak-anak mereka.

Orangtua. Tuntutan orangtua menjadi isu utama. Riset menunjukkan banyaknya orangtua yang memberikan tekanan terhadap anak. Harapan yang tidak realistis menciptakan tekanan dan menumbuhkan kecemasan kinerja pada anak-anak mereka. Misalnya, menuntut anak agar berprestasi cemerlang sehingga dapat masuk ke sekolah paling bergengsi atau mendapatkan beasiswa terbaik. Hal itu tidak menimbulkan masalah jika anak menikmatinya, tetapi bagaimana jika ia ternyata tidak memiliki kemampuan untuk itu? Hal itu pasti akan berdampak buruk baginya, baik dalam jangka pendek atau panjang. Ketika mendapati anak tidak sesuai dengan ekspektasi mereka, orangtua bukannya berinstropeksi diri, tapi justru menyalahkan anak dengan mengatakan bahwa ia terlalu santai, tidak menghargai orangtua, hanya bermain-main di sekolah, dsb. Solusi yang mereka ambil adalah bahwa anak harus diikutkan les ini dan itu untuk meningkatkan nilainya. Dengan alasan ini, anak hidup dalam suasana menghadapi pelajaran sekolah dari pk. 7.00-16.00 di sekolah, pk.17.00-20.00 di tempat les selama 6 hari seminggu. Setiap hari anak belajar dari pk. 7.00- 20.00 kecuali hari Minggu. Namun pada hari Minggu, ia diwajibkan les renang dan les piano ##???*** …

Bahaya Tuntutan Tinggi
Tuntutan yang terlalu tinggi kepada anak akan memberikan tekanan yang besar kepadanya dan mendatangkan stres. Bahaya yang mungkin timbul dan dialaminya adalah:

Penyakit Mental. Anak-anak yang merasa berada di bawah tekanan konstan dapat mengalami kecemasan konstan. Jumlah stres yang tinggi juga dapat menempatkan mereka pada risiko yang lebih besar terkena depresi atau masalah kesehatan mental lainnya. Singkatnya, anak-anak di bawah tekanan konstan memiliki kecenderungan penyakit mental yang lebih tinggi.

Masalah Harga Diri. Mendorong anak anak untuk berprestasi dapat merusak harga diri mereka. Stres yang terus menerus mengganggu pembentukan identitas mereka dan menyebabkan mereka merasa tidak cukup baik.

Kurang tidur. Anak-anak yang merasakan tekanan terus-menerus untuk berhasil di sekolah dapat begadang belajar dan sebagai hasilnya, kesulitan untuk cukup tidur.

Risiko Cedera. Atlet yang merasakan banyak tekanan dapat terus berpartisipasi dalam olahraga meskipun mengalami cedera. Mengabaikan rasa sakit atau kembali ke olahraga sebelum cedera sembuh dapat menyebabkan kerusakan permanen. Banyak tekanan mendatangkan risiko cedera lebih tinggi.

Curang. Ketika fokusnya adalah pada prestasi, alih-alih belajar, anak-anak akan lebih cenderung menyontek. Kemungkinan kecurangan akan meningkat demi sebuah nilai yang lebih tinggi. Entahkah itu dilakukan oleh seorang anak kecil yang melihat sekilas jawaban teman sebelahnya pada suatu ujian, atau seorang mahasiswa yang membayar seseorang untuk menuliskan makalah/tugasnya, kecurangan adalah hal yang umum di antara anak-anak yang merasakan tekanan untuk berkinerja baik.

Menolak Berpartisipasi. Ketika anak anak merasa bahwa tujuan mereka harus selalu ‘menjadi yang terbaik’, mereka tidak akan berpartisipasi jika mereka tidak akan bersinar. Seorang anak yang bukan pelari tercepat dapat berhenti bermain sepak bola, dan seorang anak yang bukan penyanyi terbaik di grup dapat keluar dari paduan suara. Sayangnya, itu berarti mereka tidak akan mengambil kesempatan untuk mengasah keterampilan mereka.

Menuntut Anak
Sebenarnya bolehkah menuntut anak? Sangat boleh dan harus! Namun ada syarat yang harus dipenuhi apabila orangtua hendak menetapkan tuntutan/target kepada anak. Ada empat prinsip yang harus menyertai tuntutan itu agar mencapai hasil yang optimal.

Pertama, harus ada Kasih dan Penerimaan Penuh. Sebelum tuntutan diberikan, anak perlu mengetahui dan merasakan cinta kasih orangtua yang menerimanya secara total. Maksudnya, ia selayaknya memiliki keyakinan bahwa ia tetap dikasihi orangtuanya meskipun belum tentu mampu mencapai standar tersebut. Tanpa ragu ia dapat berkata bahwa cinta kasih orangtua kepadanya tidak tergantung apakah ia mendapat nilai 9 atau 5. Sebelum menerima tuntutan, anak perlu menyadari bahwa orangtua telah menerimanya apa adanya, atas dasar satu alasan: sebab ia adalah anak yang mereka kasihi.

Tanpa landasan kasih dan penerimaan penuh, anak akan cenderung mengaitkan perfoma dengan kasih orangtua, bahwa ia hanya akan dikasihi apabila ia berhasil. Tanpa adanya penerimaan dari orangtua, tuntutan akan menjadi dingin dan kehilangan unsur kemanusiaan. Tuntutan yang didahului kasih dan penerimaan justru akan dapat memotivasi anak berprestasi. Ia sadar bahwa keberhasilannya mencapai tuntutan itu akan menyenangkan hati orangtua, bukan untuk mendapatkan kasih mereka.

Kedua, harus ada Target yang Spesifik. Tuntutan yang efektif berorientasi pada target tertentu. Tidak jarang orangtua melakukan kesalahan yang umum terjadi, yakni menuntut anak menjadi ‘lebih baik, lebih rajin, lebih pintar, berprestasi lebih tinggi’, dan lain sebagainya. Tuntutan dengan target yang terlalu luas akan membuat anak hilang arah dalam mengejar sasarannya. Ia perlu mengerti dengan jelas apa yang dituntut orangtuanya, sehingga ia tahu apa yang harus dilakukannya. Anak akan lebih memahami tuntutan orangtua apabila tuntutan itu dijabarkan sespesifik mungkin.

Atasan yang meminta bawahannya untuk ‘lebih giat’ bekerja hanya akan membuat bawahannya bingung. Ukuran ‘lebih giat’ sangatlah subjektif dan tidak jelas. Lain halnya bila tuntutan itu dibuat dengan lebih jelas, misalnya meminta anak buahnya menjual produk dua kali lebih banyak, atau menambah jumlah pelanggan tiga kali lipat.

Ketiga, harus Realistis dan Sepadan dengan Kemampuan. Untuk memacu prestasi, tuntutan yang diberikan seyogyanya sedikit di atas kemampuan anak. Apabila di bawah atau pas dengan kemampuannya, tuntutan itu tidak akan memacunya karena ia tidak perlu berusaha keras memajukan dirinya. Sebaliknya, tuntutan yang jauh melampaui kemampuan anak akan mengecilkan semangatnya. Ia mesti melihat bahwa tuntutan yang diberikan kepadanya masih dalam batas kemampuannya. Jika tidak, ia justru tidak akan berkemauan untuk menggapainya.

Kesalahan umum yang dilakukan orangtua adalah menuntut anak menjadi seperti diri mereka dan menuntut anak menjadi pelengkap kekurangan mereka. Masalahnya, anak tidak selalu mewarisi bakat orangtua dan tidak selalu mempunyai minat yang sama dengan mereka. Kalaupun ia menyukai piano, itupun tidak berarti bahwa ia akan dapat bermain sebaik orangtua. Anak belum tentu memiliki tingkat kepandaian yang sama dengan orangtua. Di sisi lain, orangtua yang merasa diri kurang, sering menjadikan anak sebagai penyambung kekurangan mereka, agar keinginan mereka yang belum tercapai bisa diwujudkan oleh anak. Masalahnya, anak belum tentu mempunyai kemampuan dan minat untuk itu. Memahami kemampuan dan minat anak menjadi hal terpenting di sini. Tuntutan yang efektif adalah tuntutan yang realistis, yang tidak akan menciptakan frustasi pada diri anak.

Keempat, harus memberi Ruangan untuk Gagal. Kegagalan anak dianggap mencoreng konsep dan penghargaan diri yang sebelumnya dimiliki orangtua. Itulah sebabnya tidak mudah bagi orangtua menerima kegagalan anak. Kegagalan mengecewakan hati orangtua karena anak tidak dapat memenuhi tuntutan atau harapan mereka. Padahal ketidakmampuan menerima kegagalan ini sering hanya menimbulkan perasaan yang tidak nyaman bagi orangtua karena mengingatkan mereka pada kegagalan-kegagalan mereka sendiri. Anak tidak selayaknya diberi standar sukses dengan tidak pernah gagal, sebab seperti halnya orangtua, anak juga bukanlah makhluk yang sempurna. Jadi anak pun mesti diberi kemungkinan untuk gagal dalam upayanya memenuhi tuntutan orangtua.

Kerelaan orangtua untuk menerima kegagalan anak akan membuat anak rileks, dan sikap rileks ini justru akan membuatnya lebih kreatif. Anak akan dapat mengupayakan prestasinya dengan lebih tenang karena tidak dikejar-kejar oleh rasa takut gagal. Ia perlu menyadari bahwa kegagalan adalah bagian dan konsekuensi dari hidup. Penting bagi anak untuk tahu dan paham bagaimana menerima dan mengoreksi diri, bukan menyangkali atau menyesali diri tanpa berkesudahan. Ia harus tahu bahwa yang terpenting adalah usahanya, bukan hasil akhirnya, dan bahwa selama ia telah berusaha sebaik mungkin, kegagalan akan diterima dengan lapang dada oleh orangtuanya.

Peran Orangtua Dalam Mengatasi Stres Anak
Mengingat bagian terbesar stres anak bermula dari ketidaksadaran peran orangtua di dalam stres tersebut, maka orangtua jugalah yang paling bisa diharapkan membantu anak mengatasinya. Berikut beberapa petunjuk yang dapat dilakukan orangtua untuk membantu anak mengatasi stres melalui upaya membangun dan memelihara hubungan baik dengannya agar ia dapat tumbuh sehat dan optimal.

Kenali Anak & Terima Seutuhnya. Setiap anak itu unik. Karenanya tidak layak untuk dibanding-bandingkan, apalagi diminta untuk menyamakan perilaku dan kepribadiannya dengan anak lain. Kelebihan seorang anak bisa menjadi kekurangan bagi anak lainnya, demikian pula sebaliknya. Kenali anak-anak dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Terimalah masing-masing sebagaimana adanya, bahkan dengan segala kekurangannya. Tugas kitalah untuk bersama-sama dengan anak mengatasi kekurangan itu agar tidak menjadi handicap bagi pertumbuhannya.

Berikan Waktu & Hadir bagi Anak. Jika kesibukan dipakai sebagai alasan untuk tidak menyediakan waktu bagi anak, maka patut diingat tujuan dari kesibukan kita itu. Jika jawabnya adalah untuk mencari sumber penghasilan yang lebih baik demi pendidikan dan masa depan anak, bukankah itu berarti sedang mengupayakan hal sekundernya dan meninggalkan subjek primernya? Anak butuh model atau patron, baik dalam cara berpikir, merasa, berespons, dan bertindak. Jika kesibukan menghalangi anak mendapatkannya dari orangtuanya, maka salahkah dia jika mencontoh orang lain? Itukah yang diharapkan? Sediakan waktu untuk menjadi model bagi anak ketika dia membutuhkan kehadiran kita di dekatnya.

Bermain Dengan anak. Bermain dengan anak akan mengikat hubungan orangtua dan anak serta menjembatani gap komunikasi di antara mereka karena jenjang usia yang jauh berbeda. Bermain dengan anak juga akan mengubah suhu emosi yang tidak menyenangkan dan yang cenderung membuat anak berperilaku negatif. Emosi anak diubahkan dan otomatis memengaruhi dan mendorong perilakunya ke arah yang lebih positif. Bermain dengan anak juga bisa melatih daya juang dan penguasaan diri anak. Interaksi ini mampu mengatasi perbedaan yang membuatnya sulit bermain. Keterlibatan orang dewasa yang mempunyai cara berpikir lebih luas sangat dibutuhkan pada saat ini. Hal terpenting yang ingin dinyatakan orangtua ketika bermain dengan anak adalah ‘Aku hadir.’

Memberikan Dorongan Positif. Berdasarkan penelitian, anak sejak usia dini rata-rata menerima enam komentar negatif untuk satu dorongan positif yang diterimanya. Kebanyakan kita dibesarkan dalam lingkungan dengan komentar negatif yang lebih banyak daripada yang positif. Padahal dorongan positif memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membangun rasa percaya diri anak dan memacu semangat agar ia berprestasi lebih baik lagi. Dorongan positif akan membuat anak-anak tumbuh sehat dan optimal.

Menghargai Anak & Menepati Janji. Seperti halnya manusia dewasa, anak juga memerlukan pengakuan atas keberadaan dan kepentingannya. Orangtua yang tidak memahami hal ini akan sering abai terhadap pemenuhan kebutuhan itu. Pemenuhan janji kepada anak tidak kalah nilainya dengan janji kepada atasan atau rekan bisnis. Dalam integritas saat membuat janji dan pemenuhannya itulah terletak sikap pengakuan akan keberadaan dan kepentingan seseorang, termasuk juga anak.

Cinta Tanpa Syarat. Cinta tanpa syarat adalah resep terpenting dalam membangun relasi dengan anak. Kehangatan dan kasih sayang adalah faktor utama dalam membangun relasi dengannya. Sentuhan emosi memberikan dampak besar bagi kehidupannya.•

|| SUJARWO & LINDA
Disarikan dan dituliskan kembali dari materi Seminar Parenting dengan judul ‘Orangtua Pemicu Stres Anak?’ yang disampaikan pada Family Gathering Keluarga Muda GKJ Eben-Haezer di D’Kandang -Depok, 19 November 2019

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori anak