Pojok Parenting: Papa Mama, Minta Maaf Dong!

Belum ada komentar 23 Views

Hal yang tabu pada zaman saya masih kecil adalah Papa-Mama minta maaf kepada anak. Semuanya salah anak, dan orang yang harus minta maaf adalah anak. Namun benarkah demikian?

Bayangkan Papa dan Mama seharian bekerja, lalu seorang anak merengek minta diperhatikan dan digendong. Papa dan Mama marah, karena ternyata ada adik yang harus lebih banyak digendong, karena masih bayi. Lalu si kakak menjerit histeris karena ingin diperhatikan. Siapa yang dimarahi? Siapa yang tidak berperilaku baik? Siapa yang harus menjaga tingkah lakunya? Lagi-lagi si kakak yang masih kecil harus minta maaf dan menjaga diri agar menjadi anak yang manis.

Atau saat seorang ibu mencari anaknya yang hilang di tengah mal. Ia berteriak mencari anak itu, memanggil sekuriti, bahkan mengumumkannya ke segala penjuru agar anak tersebut ditemukan. Tiba-tiba seorang bapak melihatnya sedang bermain di pinggir kolam ikan mal, mencoba untuk meraih salah satu ikan berwarna oranye yang ada di dalam kolam tersebut. Si mama menghampiri anak itu dan, entah karena takut anak itu benar-benar hilang atau marah karena anak itu tidak taat, langsung membentaknya, “Ke mana saja kamu? Merepotkan semua orang saja!” Menurut Saudara, siapa yang merepotkan? Mama yang terus menerus belanja sambil membawa anaknya, tanpa memerhatikan apa yang dilakukan anak itu untuk membunuh waktu, atau si anak yang benar-benar tidak tahu diri karena sudah diajak ke mal, tetapi masih menyusahkan orangtuanya?

Peristiwa terakhir terjadi di seputar meja makan. Seorang anak duduk bersama 10 orang dewasa yang sedang makan dan minum dengan senangnya, karena mereka jarang sekali bertemu setelah sekian lama berpisah. Mereka mulai menceritakan masa kecil mereka bersama, lalu masa remaja dan masa mereka berpacaran, dan sekarang memiliki anak yang sudah beranjak dewasa. Anak berusia 4 tahun itu duduk sendirian di tengah orang dewasa yang tertawa dengan lepasnya. Ia hanya diberikan sebuah puding yang dingin. Mulanya ia melumatkan puding itu. Sesekali mamanya membereskan puding tersebut. Lama-lama anak itu berdiri di atas kursinya. Ia berusaha keluar dari kursinya, tetapi si mama mendudukkannya kembali.

Akhirnya tanpa mamanya melihat ulahnya lagi, ia merosot keluar kursi sambil membawa sebuah lap makan di perutnya, dan berceceranlah makanan yang tersisa di bajunya. Dengan kesal, si mama memanggil anak itu dan berkata, “Apa susahnya sih duduk menunggu di sini?” lalu dengan terpaksa ia mengambil sebuah gawai dan mulai memberikan tayangan-tayangan yang membuat anak itu duduk kembali.

Salah siapakah anak itu pergi dari kursinya dan meninggalkan makanan yang ada di meja makan? Salah siapakah kalau saat ia berada di bangku SD, ia sangat bergantung pada gawai? Saat ia main, makan, bahkan sekolah online pun ia masih bermain gawai.

PAPA-MAMA BELUM SEKOLAH

Terus terang tidak ada orangtua yang mewajibkan diri untuk sekolah dan tidak pernah ada sekolah menjadi orangtua sebagai syarat seseorang menikah dan punya anak. Akhirnya yang diupayakan adalah satu sesi di Bina Pranikah tentang Parenting atau Pendidikan Iman Anak. Itu pun hanya satu sampai dua jam saja.

Akibatnya, saat kita memiliki anak dengan karakteristik dan keahlian yang berbeda di dalam rumah kita, kita tidak mahir menghadapinya. Kita bingung kalau kita berbeda pendapat dengannya, kita bingung kalau ia tidak mengikuti yang kita mau, kita marah kalau ia memberontak terhadap aturan yang kita tetapkan. Lalu bagaimana?

Papa-Mama pasti perlu memilih: apakah Papa-Mama akan terus belajar dari kesalahan dan trial— error sendiri, atau ada langkah yang lebih pasti untuk mulai belajar pendidikan anak. Untuk itu diperlukan usaha tambahan untuk mencari solusi, dan bukan semata-mata menyalahkan anak. Karena sesungguhnya tujuan kita memiliki anak di dalam Tuhan adalah menularkan hidup harmonis secara bersama di dalam rumah kita, sekaligus mempromosikan pentingnya toleransi, cinta kasih, kepedulian dan kerukunan untuk membangun keluarga di dalam Tuhan.

Sayangnya, tujuan itu tidak didukung oleh upaya-upaya yang berarti. Bagaikan sebuah sekolah tanpa kurikulum dan guru yang terlatih, kita membesarkan anak-anak kita di rumah dengan ilmu dan pengalaman minim yang kita miliki dari rumah tangga orangtua kita sebelumnya. Sebagian memang berhasil membuat anak-anak mereka taat atau kuliah dengan lancar, tetapi tidak sedikit pula anak-anak remaja dan pemuda yang merasa frustrasi menjalani hidup mereka karena tidak memiliki bekal pengalaman di rumah masa kecil mereka dalam mengolah emosi, menghadapi konflik dan menemukan jati diri mereka sesuai dengan talenta yang Tuhan berikan kepada mereka. Jika hal ini terjadi, apa yang dapat kita lakukan untuk membantu anak anak kita di masa depan?

MINTA MAAF SAJA CUKUP?

Orangtua minta maaf kepada anak? Ini sudah mulai dibiasakan oleh beberapa orang. Namun apakah minta maaf saja cukup? Tidak. Anak anak butuh orangtua yang terdidik untuk mengarahkan mereka untuk bertanggungjawab dan mampu mengambil keputusan etis dengan baik dan bijaksana.

Bisa saja kita berkata bahwa didikan orangtua kita sebelumnya itu baik, karena kita berhasil menjadi orangtua yang punya uang, berkarier, dan memiliki banyak materi untuk menyediakan kesejahteraan anak anak kita. Namun di dunia yang lebih kritis saat ini, kita perlu ilmu tambahan dan dukungan dari komunitas yang memang berjuang bersama untuk menolong anak anak kita bertumbuh dan berjuang menghadapi hidup mereka. Kita perlu belajar seperti apa pendidikan untuk mengolah emosi anak, bagaimana menolongnya bertumbuh secara iman atau spiritual, kita juga perlu mendampinginya untuk menghadapi dunia sosialnya yang penuh dengan tantangan dan cobaan.

Jadi mari kita terus belajar dan mengupayakan bersama. Anak anak bukan hanya membutuhkan orangtua yang punya uang, jabatan, pekerjaan tetap, melainkan juga orangtua yang memiliki pengetahuan dan pengalaman membesarkan mereka untuk mencintai Tuhan dan mengalami cinta-Nya. Salah satunya, orangtua yang bersedia untuk terus belajar.

Minta maaf… sudahkah kita terus belajar? Mari kita upayakan bersama!

|PDT. RIANI J. SUHARDJA

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori anak