Memandang Kesehatan Mental dari Sudut Pandang Hak Anak

Belum ada komentar 38 Views

Menurut WHO, kesehatan mental adalah kondisi kesejahteraan yang memungkinkan seseorang memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Potensi tersebut antara lain kekuatan, kelebihan, bakat, dan minatnya. Dapat dikatakan bahwa orang yang mampu mengenali potensinya dapat menghadapi tekanan hidup, mampu bekerja dengan produktif, berperan serta dalam komunitasnya, dan memiliki kesehatan mental yang baik. Tentu semua hal tersebut tidak mudah diwujudkan setiap waktu dan dalam segala keadaan, tetapi orang yang memiliki kesehatan mental yang baik setidaknya akan mampu memaksimalkan potensinya dalam menjalani kehidupan.

Lalu Apa Hubungannya Dengan Hak Anak?
Sejak lahir, setiap anak, tanpa terkecuali, memiliki hak-hak yang melekat di dalam dirinya. Tugas kita sebagai orang yang berada di dekatnya adalah membantu memaksimalkan potensi tersebut sehingga ia bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal itu dapat terjadi melalui tanggung jawab kita, apakah itu sebagai orangtua yang memenuhi kebutuhan dasarnya, atau orang dewasa yang melindunginya dari segala bentuk kekerasan.

Berdasarkan perspektif hak, setiap tindakan untuk menjamin kelangsungan hidup anak dan perkembangannya harus dilandasi oleh 3 prinsip dasar. Octarra, dkk. (2010) di dalam buku “Seluk Beluk Hak Anak” menjelaskan ketiga prinsip tersebut sebagai berikut:

  1. Kepentingan terbaik bagi anak. Pertimbangan utama di dalam setiap hal atau keputusan yang menyangkut hidup anak ditujukan untuk memberikan hal yang terbaik baginya.
  2. Tidak diskriminatif. Artinya, setiap anak memiliki hak yang sama, terlepas dari latar belakangnya. Status sosial-ekonomi, disabilitas, ada atau tidak adanya orangtua, dsb, tidak boleh menghambat pemenuhan hak-haknya.
  3. Penghargaan terhadap pendapat anak. Anak bisa dan boleh berpendapat, dan pendapatnya perlu didengar dan dihargai, terutama jika menyangkut kehidupannya. Mendengar dan menghargai pendapat tersebut perlu dilakukan dengan mempertimbangkan usia dan tingkat kematangan anak.


Ketiga prinsip ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan dalam menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Ketiga prinsip ini juga perlu diterapkan dalam konteks kesehatan mental. Misalnya, dalam kasus kekerasan yang dialami oleh anak—terutama jika hal tersebut mengancam keselamatannya—ia perlu diberi pertolongan. Pemberian pertolongan itu hendaknya mempertimbangkan ketiga prinsip hak anak, yaitu melihat apa yang terbaik baginya— dalam hal ini keselamatannya— tidak membeda-bedakan atau tidak mendiskriminasinya dalam memberikan pertolongan dan mendengarkan pendapatnya, yaitu apa yang ia ingin kita lakukan untuk membantunya.

Setiap hak memunculkan sejumlah kebutuhan. Kebutuhan ini tidak sama dengan keinginan. Misalnya, hak anak atas tumbuh kembang akan memunculkan kebutuhannya akan makanan bergizi. Sedangkan keinginan adalah ketika ia ingin steak karena melihat temannya makan steak.

Di dalam setiap tahap perkembangan, seorang anak memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Kebutuhan tersebut sangat tergantung pada tahap perkembangannya dan berubah seiring dengan tumbuh kembangnya. Hak dan kebutuhan inilah yang kemudian menjadi stimulus untuk melindunginya dalam memiliki kesehatan mental yang baik. Meskipun akan ada situasi di mana tidak semua kebutuhannya dapat terpenuhi, kita bertanggung jawab membantu memenuhinya, karena itu adalah hak anak tersebut. Kebutuhan yang tidak terpenuhi secara tidak langsung dapat menyebabkan munculnya respons-respons psikologis yang—jika tidak tertangani dengan baik—akan membuat kesehatan mentalnya terganggu.

Sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 20 menyebutkan bahwa, “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.” Bahkan pasal 45 menyebutkan bahwa, “Orangtua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan.” Artinya, setiap orang yang berada di sekitar anak bertanggung jawab memenuhi hak-hak yang terkait dengan perlindungannya, termasuk menjaga kesehatannya secara fisik dan mental.

Gambar ini menjelaskan bahwa pemenuhan hak anak yang berada di lingkaran terdalam perlu dilindungi dan difasilitasi. Lingkaran lingkaran di luarnya adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Keluarga sebagai pihak yang paling dekat dengan anak memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam memenuhi hak anak, tanpa terkecuali kesehatan mentalnya. Tentunya masing-masing pihak ini memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda, tetapi perlu ada kerja sama dari semua pihak. NHS Health Scotland di dalam buku “Good Mental Health for All” menjelaskan mengenai hubungan sebab-akibat pemenuhan kebutuhan, lingkungan dan kesehatan mental seperti pada gambar di bawah ini.

Gambar menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan dan pengalaman individu dapat menyebabkan ketidaksetaraan dalam kesehatan, termasuk kesehatan mental. Misalnya, perkembangan kognitif anak yang tidak mendapat akses pendidikan dan kualitas pendidikan yang baik akan terganggu, dan hal ini berdampak pada kesejahteraan dan harapan hidupnya. Contoh lain adalah anak yang rentan mengalami kekerasan di tempat tinggal atau sekolah, sehingga berdampak pada kesejahteraan dan harapan hidupnya. Atau anak yang tidak terpenuhi rasa amannya di dalam keluarga karena kedua orangtuanya sering bertengkar di depan matanya. Akibatnya terjadi kesenjangan hubungan di dalam keluarga yang berdampak pada kesejahteraan hidup anak. Juga anak yang menjadi korban perundungan (bullying) di sekolah, sehingga mengalami stres dan depresi. Jika saja ada orang dewasa yang bertanya dan mendengarkan anak (prinsip partisipasi dalam hak), maka minimal ia merasa tertolong dan dilindungi.

Data UNICEF—salah satu lembaga PBB yang menangani isu anak— mengungkapkan bahwa para remaja dapat kehilangan peluang untuk mengembangkan potensi diri mereka. Hampir seperempat dari 46 juta remaja di Indonesia—yaitu sekitar 11,5 juta remaja yang berusia 15-19 tahun tidak bersekolah—dan sekitar 15% menganggur.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa anak yang mengalami kekerasan di rumah memiliki reaksi psikologis yang—jika tidak ditangani dengan baik—akan menimbulkan permasalahan kesehatan mental, terutama ketika beranjak dewasa (Springer, dkk, 2003; Rostami, dkk, 2014; Kisely, dkk, 2018; Kurniasari, 2019; Zhao, 2019). Penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari (2019) menyatakan bahwa dampak kekerasan secara psikologis yang dialami anak akan membuatnya cemas, labil, dan buruk mengendalikan emosi. Ia juga dapat menunjukkan emosi yang negatif, seperti mudah marah atau menangis, dan mengembangkan perilaku agresif, seperti suka menyerang atau marah. Selain itu, ia juga dapat mengalami masalah dengan relasi sosialnya, mengalami kesulitan dalam beradaptasi, dan menarik diri dari pergaulan. Di sisi lain, pada beberapa penelitian terbukti bahwa anak yang memanfaatkan waktu luangnya dengan baik— misalnya bermain—akan berdampak pada kesejahteraan psikologisnya, khususnya dalam meningkatkan kepuasan hidup dan mengurangi stres (Shin&You, 2013; Sharma, dkk., 2015).

Namun sebaliknya, tidak semua anak yang memiliki mental illness atau disabilitas terpenuhi haknya. Misalnya hak untuk bersekolah. Berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS 2015) 57% anak usia sekolah penyandang disabilitas tidak bersekolah. Gambar sebab-akibat di atas dan beberapa hasil penelitian yang dijelaskan sebelumnya dapat membantu kita melihat bahwa banyak pihak yang bertanggung jawab dalam pemenuhan hak anak. Masing-masing pihak memiliki peran dalam memenuhi hak anak. Perlu disadari bahwa keluarga, sekolah, komunitas, bahkan pemerintah seharusnya menjadi pihak-pihak yang dapat membantu anak dalam mengembangkan potensi dirinya. Namun pihak-pihak tersebut juga bisa memberikan risiko bagi perkembangan anak, termasuk perkembangan mentalnya. Perlu ada kerja sama dari setiap pihak untuk mendukung pemenuhan hak anak sehingga dapat membantunya mengembangkan potensi yang dimilikinya.

Beberapa contoh di atas menjelaskan bahwa setiap anak memiliki faktor faktor yang dapat memengaruhi kesehatan mentalnya, baik yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari pihak-pihak yang berada di sekitarnya, seperti keluarga, sekolah, komunitas, masyarakat, bahkan pemerintah. Beberapa contoh faktor-faktor tersebut misalnya penilaian anak tentang dirinya sendiri, perlakuan salah dari keluarga, kondisi keluarga yang tidak harmonis, dll. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi pencetus, pendorong, pemicu seseorang anak mengalami gangguan dan hambatan dalam pertumbuhannya. Namun jika faktor faktor itu ditangani dengan baik, maka anak akan dibantu untuk berkembang dengan optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Tentu, selain faktor-faktor yang dapat menghambat perkembangan anak untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya, ada juga faktor faktor yang mendukungnya untuk berkembang dengan baik. Beberapa contoh faktor-faktor tersebut antara lain: kondisi keluarga yang harmonis, kondisi ekonomi keluarga yang stabil, dukungan dari teman sebaya, guru dan staf sekolah yang ramah, dll. Jika bisa difasilitasi, faktor-faktor pendukung tersebut akan membuat anak merasa nyaman dan sejahtera, dan membantu mencegah terjadinya gangguan dalam perkembangannya, termasuk kesehatan mentalnya.

Lalu Bagaimana Caranya Agar Seorang Anak Dapat Memiliki Mental yang Sehat?
Beberapa contoh yang dapat dilakukan oleh semua pihak untuk membantu anak agar memiliki kesehatan mental yang sehat antara lain:

• Mengajarkan anak untuk memiliki identitas diri yang baik.

Mazmur 139: 5 (BIMK) “Engkau menciptakan setiap bagian badanku, dan membentu aku dalam rahim ibuku.”

Identitas setiap manusia hanya ditentukan di dalam Tuhan. Apa pun yang orang katakan tentang diri anak seharusnya tidak merusak identitasnya di dalam Tuhan. Ajarkanlah dia untuk tidak membiarkan perkataan orang lain atas dirinya menentukan hidupnya.

Roma 12:2 (TB) “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”

Ketika membaca ayat ini, kita sering kali berfokus pada pembaharuan budi dan pikiran kita, tapi melupakan kalimat sebelumnya, yaitu jangan serupa dengan dunia ini. Artinya, ajarkanlah anak untuk tidak menjadi sama dengan dunia dengan meyakini dan melakukan apa yang orang lain katakan tentang dirinya. Ajarkanlah dia untuk tidak mengikuti pandangan orang lain dalam melihat identitas dirinya. Karena jika mengikuti pandangan orang lain, ia tidak akan mengerti siapa dirinya sendiri dengan benar seperti Tuhan melihat dirinya. Jika anak tidak memiliki gambaran diri yang sehat, maka ia akan lebih mudah mengalami tekanan, cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain, dan mengalami kesulitan untuk menjaga hatinya. Jika hal tersebut terjadi, maka kesehatan mentalnya akan terganggu.

• Kenalilah apa yang membuat anak nyaman atau tidak nyaman. Kemampuan anak untuk mengenali situasi atau lingkungan yang membuatnya merasa nyaman dan tidak nyaman merupakan salah satu hal yang dapat dilakukannya untuk melindungi dirinya sendiri.

Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan anak juga perlu mengenali apa yang membuatnya merasa nyaman dan tidak nyaman. Jika kita mampu mengetahui hal tersebut, maka kita akan mudah membantunya dalam memaksimalkan potensi yang dimilikinya.

Anak yang berada dalam situasi tidak nyaman akan memberikan reaksi-reaksi tertentu yang—jika tidak ditangani dengan baik— akan berdampak pada kesehatan mentalnya.

• Kenalilah respons-respons anak. Ajarkanlah dia untuk mengenali respons-responsnya dalam berbagai macam peristiwa. Respons-respons tersebut mencakup respons emosi, pikiran, dan perilaku yang muncul. Anak yang mampu mengenali respons responsnya sendiri dapat menjaga dan merawat dirinya. Ia akan dapat mengelola respons-respons tersebut. Artinya, ia akan menjadi pribadi yang tangguh dan dapat beradaptasi dengan baik.

Ajarkanlah anak bahwa ia tidak pernah bisa mengontrol hal-hal di luar dirinya. Ajarkanlah bahwa ia hanya bisa mengontrol responsnya terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Bagaimana ia merespons masalah dalam hidupnya itu berhubungan dengan kondisi kesehatannya, termasuk kesehatan mentalnya.

Ajarkanlah anak bahwa respons responsnya yang mungkin negatif atas peristiwa yang tidak nyaman baginya itu adalah hal yang wajar. Prinsip “it’s ok to be not ok” perlu diajarkan kepadanya, karena respons yang dikeluarkannya adalah hal yang wajar jika ia berada di situasi yang tidak nyaman. Namun sebagai orang yang terdekat dengannya, kita perlu membantunya mengatasi responsnya terhadap situasi yang tidak menyenangkan itu, sehingga ia bisa kembali kepada respons sebelum ia mengalami situasi yang tidak menyenangkan.

Pengkotbah 3:1 (TB) “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.”

Wajar bagi anak jika ia mengalami fase naik-turun dan situasi yang nyaman atau tidak nyaman dalam hidupnya. Segala sesuatu ada masanya. Sama seperti kisah Yesus dan murid-murid-Nya yang diombang-ambingkan badai ketika sedang berada di perahu, hidup manusia pun naik-turun. Semua ada masanya. Ketika perahu mereka diombang-ambingkan, Yesus sedang tidur di buritan kapal. Dia sama sekali tidak mengalami ketakutan karena Dia sadar bahwa segala sesuatu ada waktunya. Pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan anak sangat perlu mengenali respons respons anak. Jika mereka mampu mengetahuinya, mereka akan mudah membantunya dalam memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Mereka akan menyadari perubahan-perubahan pada dirinya. Perubahan sekecil apa pun—terutama yang bersifat negatif—akan lebih mudah dan cepat mendapat pertolongan yang dibutuhkannya.

• Ajarkanlah anak untuk mengungkapkan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialaminya. Mengungkapkannya merupakan salah satu tanda bahwa ia bisa menerima dirinya apa adanya. Itulah tanda bahwa ia peduli pada dirinya sendiri. Keterbukaan adalah awal terjadinya pemulihan dan perubahan.

Namun kita juga mempersiapkan diri dengan meningkatkan kapasitas kita, karena sewaktu waktu ketika anak mengungkapkan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialaminya, kita sudah siap. Kesiapan untuk memberikan respons dan tanggapan yang mendorongnya terus mengembangkan potensinya, sangat dibutuhkan pada kondisi ini. Jika kita tidak siap atau salah memberikan respons, hal itu akan berdampak pada anak itu sendiri.

• Ajarkanlah anak untuk memiliki pola pikir yang berkembang (growth mindset), yaitu yang didasarkan pada keyakinan diri bahwa ia memiliki kualitas yang dapat diolah melalui beberapa cara, sesuai dengan karakter dan kebutuhannya. Terlepas dari situasi dan kondisi apa pun yang dialaminya, ajarkanlah bahwa ia mampu mencapai apa yang diinginkannya. Anak yang memiliki pola pikir yang berkembang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  • Percaya bahwa ia dapat menjadi siapa pun/apa pun.
  • Selalu bersemangat untuk mengembangkan diri dan tetap melakukannya, sekalipun berada dalam situasi yang tidak nyaman.
  • Menikmati kegagalan dan proses dalam hidupnya.
  • Pola pikir ini membuatnya fokus pada upaya peningkatan.
  • Kegiatan, capaian, dan kinerjanya tidak akan terganggu oleh penilaian orang lain terhadap dirinya

• Ajarkanlah anak untuk tidak fokus pada masalah yang dialaminya, tetapi fokus pada Tuhan. Kisah ketika Yesus dan murid murid-Nya di dalam perahu yang diombang-ambingkan ombak dan Dia tetap tidur di buritan, mengajarkan kita untuk tidak fokus pada masalah yang sedang kita alami. Secara logika, ketika kita berada di tengah badai besar hingga air masuk ke dalam perahu dan berpotensi membuat kita tenggelam, kita akan terbangun. Namun sebaliknya Yesus tetap tidur, karena Dia sadar bahwa Bapa selalu bersama-Nya dalam menghadapi setiap permasalahan yang dihadapi-Nya.

Mark 4:39 (NKJV) “Then He arose and rebuked the wind, and said to the sea, ‘Peace, be still!’ And the wind ceased and there was a great calm.’”

Yesus menggunakan kata “damai” sebelum menghardik angin. Kata damai itulah kunci dalam menghadapi badai kehidupan.

Yohanes 14:27 (TB) “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.”

Ayat tersebut mengingatkan kita bahwa Tuhan menganugerahkan damai sejahtera-Nya kepada kita, sehingga kita tidak perlu takut pada badai yang sedang kita alami. Tuhan selalu menjaga kita. Dengan menyadari bahwa Yesus selalu bersama kita dalam setiap situasi yang kita alami, kita akan merasakan kedamaian.

• Ajarkanlah anak untuk terus bersyukur di dalam hidupnya, apa pun situasi yang sedang dialaminya. Badai di dalam hidup akan selalu ada, tapi kita bisa memilih untuk tidak diam saja hingga badai itu berlalu. Anak perlu menyadari bahwa ia bisa memilih untuk melakukan sesuatu, dan tetap bersyukur atas apa pun yang sedang dialaminya. Dari mulut keluar kelimpahan. Semua perkataan yang dikeluarkannya mempunyai kuasa. Apa yang keluar dari mulut kita bisa mengubah pikiran kita. Untuk itu butuh pikiran yang selalu dipenuhi dengan rasa syukur atas apa pun yang terjadi di dalam hidup kita.

“In order to maintain transformation, we need to renew our mind” (Dr. Robi Sonderegger)

Kita—sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan anak—perlu juga mengenali diri kita, pola menghadapi stres, kemampuan mengelola stres, dll, karena perlindungan anak dimulai dari diri kita. Jika kita memiliki kesehatan mental yang kurang baik, maka akan sulit bagi kita untuk bisa menjaga anak tetap memiliki kesehatan mental yang baik.

• Bentuk sebuah keluarga dan komunitas yang baik bagi anak. Pergaulan akan membentuk tolak ukur yang akan dipakai oleh anak di dalam hidupnya. Kalau ia memiliki keluarga dan komunitas yang mendukungnya, ia pun dapat mengembangkan potensinya.

Sama seperti tempat gym yang menyediakan instruktur untuk membantu kita mencapai tujuan kita, itulah peran keluarga dan komunitas bagi anak. Peran keluarga dan komunitas akan membantunya mencapai tujuan yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Keluarga dan komunitas juga perlu menyemangati dan memberikan apresiasi kepadanya ketika ia mampu meraih pencapaian yang diharapkannya.

Keluarga dan komunitas yang baik akan mengajarkan tindakan baik dan benar yang perlu dilakukannya sesuai dengan apa yang Tuhan ajarkan. Anak juga perlu memiliki keluarga, teman, dan komunitas yang selalu ada untuknya, terutama ketika ia sedang mengalami masa sulit di dalam hidupnya. Ia perlu memiliki orang-orang yang sama sama bisa saling menguatkan.

• Terapkan pengasuhan yang positif. Pengasuhan yang positif dilakukan untuk mendukung perkembangan anak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Bersikaplah positif dengan menghindari kekerasan atau hukuman, dan didiklah dia dengan cara yang menyenangkan.

Kasih yang bekerja di sebuah keluarga dipenuhi rasa tanggung jawab: dari orangtua kepada anak, anak kepada para saudara, dan sebaliknya. Kasih yang berdasarkan kasih Tuhan akan mengikat setiap level dalam hubungan keluarga.

Psalm 127:3-5(MSG) “Don’t you see that children are GOD’s best gift? The fruit of the womb his generous legacy? Like a warrior’s fistful of arrows are the children of a vigorous youth. Oh, how blessed are you parents, with your quivers full of children! Your enemies don’t stand a chance against you; you’ll sweep them right off your doorstep.”

| NILLA IUSTITIANI, Peneliti lepas yang bergerak di isu perlindungan anak dan pengembangan komunitas

Sumber bacaan:

Friedli, L. (2009) Kesehatan mental, ketahanan, dan ketidaksetaraan – sebuah laporan untuk WHO Eropa dan Yayasan Kesehatan Mental. London / Kopenhagen: Yayasan Kesehatan Mental dan WHO Eropa. Diakses dari http:// www.mentalhealth.org.uk/publikasi /? entryid5=68603

Kisely, S., Abajobir, A.A., Mills, R., Strathearn, L., Clavarino, A., Najman, J.M. (2018). Child Maltreatment and Mental Health Problems in Adulthood: Birth Cohort Study. Cambridge University Press, 213(6): 698-703. DOI: https://doi. org/10.1192/bjp.2018.207

Kurniasari, A. (2019). Dampak Kekerasan Pada Kepribadian Anak. Sosio Informa. 5(1), 15-24

NHS Health Scotland. (2016). Good Mental Health for All. Edinburgh: NHS Health Scotland

Octara, H.S., Nurpatria, I., Moeliono, L. (2010). Seluk Beluk Hak-hak Anak: Berdasarkan Konvensi Hak Anak dan Kaitannya dengan Undang-undang Perlindungan Anak. Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Ong, D. A., Bergeman, S. C., Bisconti, T. L., & Walles, K. A. (2006). Psychological Resilience, Positive Emotions, and Succesful Adaptions to Stress in Later Life.

Journal of personality and social psychology, 91(4), 730-749

Rostami, M., Abdi, M., Heidari, H. (2014). Study of Various Types of Abuse during Childhood and Mental Health. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 15, 671-676

Ruswahyuningsih, M.C. & Afiatin, T. (2015). Resiliensi pada Remaja Jawa. Gadjah Mada Journal of Psychology, 1(2), 96-105

Sharma, N.K., Praveen, Jena, P.C. (2015). Effect of Leisure Time Activities on Mental Health of Orphan Children. International Journal of Sport Studies, 5 (1), 12-18

Shin, K. & You, S. (2013). Leisure Type, Leisure Satisfaction and Adolescents’ Psychological Wellbeing. Journal of Pacific Rim Psychology, 7(02), 53-62. DOI: 10.1017/prp.2013.6

Springer, K.W., Sheridan, J., Kuo, D., Carnes, M. (2003). The Long-term Health Outcomes of Childhood Abuse An Overview and a Call to Action. JGIM, 18(10), 864-870. DOI: 10.1046/j.1525- 1497.2003.20918.x

Suteja, J. & Ulum, B. (2019). Dampak Kekerasan Orang Tua Terhadap Kondisi Psikologis Anak dalam Keluarga. Equalita, 1(2), 169-185

Zhao, J., Peng, X., Chao, X., Xiang, Y. (2019). Childhood Maltreatment Influences Mental Symptoms: The Mediating Roles of Emotional Intelligence and Social Support. Frontiers in Psychiatry , 10, 1-8. DOI: 10.3389/ fpsyt.2019.00415

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori anak