Makanan berformalin sebetulnya potret dari kondisi mayoritas rakyat yang tidak punya pilihan dalam menyusun menu hariannya. Daya beli rata-rata masyarakat yang belum tinggi menyuburkan industri makanan rumahan yang nakal, ketika permintaan makanan berharga rendah masih dicari orang. Sudah barang tentu lantaran kebanyakan masyarakat awalnya memang tidak tahu seberapa besar bahaya makanan yang ditambahi ini-itu bahan berbahaya, termasuk formalin.
Berbahayakah formalin dalam makanan harian kita?
Memang belum tentu. Bahwa formalin dalam makanan dosisnya benar sangat kecil, dan sifat formaldehyde langsung terurai begitu masuk termakan. Jadi sesungguhnya kejahatan formalin tidak seburuk yang dikira. Lalu harus bagaimana sikap kita sekarang?
Banyak yang belum tersingkap ihwal efek buruk bahan kimia bukan laik makan, termasuk bumbu, penyedap, pewarna, pengawet, bahkan di luar yang sekarang dianggap aman sekalipun. Seperti halnya dengan obat. Awalnya dinilai aman, namun setelah sekian lama pemakaian, barulah muncul sifat jeleknya, lalu obat ditarik dari peredaran. Hal serupa juga mungkin untuk bahan kimiawi dalam makanan yang masih dipakai sampai sekarang. Mana tahu kalau nantinya tergolong bahan berbahaya juga.
Jadi sikap kita terhadap makanan berformalin, sekalipun terbukti masih aman dicampurkan dalam makanan harian kita, seberapa bisa kita jauhi sajalah. Bagaimana pun formalin dan pecahannya tetap termasuk bahan kimiawi, yang mestinya tidak perlu mencemari sel-sel tubuh kita, karena asing menerimanya.
Bagaimana tahu kalau suatu makanan pilihan kita bebas formalin?
Itu susahnya. Tidak gampang mengenali makanan berformalin, hanya dari wujud tanpa menganalisisnya. Tidak selalu bisa diendus dari baunya, atau dari rasanya. Namun satu hal mungkin dapat dipatok untuk mencurigainya, yakni bila harga makanan yang kita beli tergolong tidak masuk akal seturut perhitungan ekonomi. Bila makanan sejenis lebih murah dari pesaingnya.
Tapi rakyat kebanyakan jelas tetap tidak punya pilihan. Sikap pemerintah yang harus turun tangan melakukan langkah-langkah agar semua jenis makanan, atau apa pun yang dikonsumsi publik sebaiknyalah tidak diformalin.
Tapi industri rumahan ada ratusan ribu. Bagaimana mungkin tangan pengawasan pemerintah bisa menjangkau yang sebanyak itu, selain dengan cara membuat konsumen lebih cerdas dan kritis memilih makanan yang akan dikonsumsinya. Hukum saja belum tentu bergigi kalau daya beli masyarakat masih rendah, dan pengawasan masih ompong.
Bukan cuma formalin sebetulnya. Kita masih dirongrong oleh begitu beragam jenis bahan kimiawi berbahaya yang mencemari makanan dan minuman kita. Selama kondisi masyarakat masih kurang informasi seperti sekarang, tubuh mereka masih terus akan dirusak oleh bahan kimiawi dalam penganan harian mereka. Ambil contoh, saus tomat dan sambal murah, yang konon isinya ubi, cukak, dan zat warna (konon) tekstil (rhodamine B). Zat warna ini populer dipakai buat sirop, limun, lipstik, pemerah pipi, yang dijajakan sebagai jajanan murah.
Boraks sebagai pengawet juga tak layak dipakai, selain meruahnya pemakaian penyedap dalam jajanan dan menu restoran. Bukan sedikit penganan jajanan juga diimbuhi macam-macam bahan kimiawi (berbahaya), tanpa terkontrol oleh pemerintah. Membuat limun jajanan sekolah dengan air mentah, ditambah pemanis buatan (sacharine dan aspartame, yang belakangan, juga kedapatan tidak menyehatkan), selain memakai pewarna tekstil juga.
Begitu juga dengan petis, terasi, selain ikan asin, kerupuk murah, sudah barang pasti bisa juga memakai bahan bukan yang menyehatkan. Di negara maju beragam pula jenis makanan publik yang mengandung dioxane, salah satu kimiawi dalam makanan-minuman yang perlu dijauhi juga. Bahan tersebut konon juga mencemari makanan bayi.
Kita juga mengenal kecap murah, selain camilan produksi rumahan yang tidak jelas bahan maupun campurannya. Di kita tidak ada ketentuan memasang label pada kemasan makanan maupun minuman. Alih-alih menyebutkan takaran isinya, kandungannya pun hanya pabriknya yang tahu. Ketentuannya, bahkan berapa banyak garam dapur ditambahkan pun mestinya tertera dalam label kemasannya.
Jadi sekali lagi, kiat dan strategi menghadapi kondisi simpang-siur makanan dan jajanan berbahan kimiawi berbahaya, harus disikapi dengan seberapa bisa menjauhkan semua jenis makanan olahan (pabrik, industri rumahan), dan memilih jenis makanan yang lebih alami, seperti ubi, singkong, pisang rebus, atau talas kukus, kalau bukan kacang rebus, dan bubur kacang hijau.
Kalau takut ikan laut diawetkan dengan formalin, pilih dulu ikan tawar, seperti lele, mas, gurame, belut, tawes, tembakang, atau patin. Banyak pilihan untuk tidak terbawa arus kenakalan pengusaha makanan yang culas. Juga bagi masyarakat kebanyakan. Membuat jajanan dan menu harian serba alami jauh lebih menyehatkan ketimbang tidak mau repot membeli makanan dan minuman jadi, instant, atau siap saji.
Kesehatan kita sebetulnya otobiografi dari apa yang selama ini kita konsumsi. Rapor kesehatan kita ditentukan pula oleh isi meja makan kita, dan apa saja jajanan yang kita beli secara serampangan. Tumpukan kimiawi dari makanan harian yang tertimbun di tubuh itulah yang kelak menjadi sarang penyakit. Bukan satu-dua penyakit, bisa jadi semua jenis penyakit besar, termasuk kanker. Salam.
Dr. Handrawan Nadesul
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.