Injil Matius mencatat kisah Yesus memberi makan lima ribu orang dalam pasal 14:13-21. Melihat orang banyak yang besar jumlahnya, hati Yesus tergerak oleh belas kasihan. Ia mengajar dan menyembuhkan mereka. Dan rupanya sejumlah besar orang ini tidak kunjung pergi, meski hari mulai menjelang malam. Kondisi ini yang membuat para murid meminta agar Yesus menyuruh orang banyak itu pulang – sebab tempat itu sunyi dan tidak ada makanan bagi mereka. Namun justru Yesus menjawab mereka: “Kamu harus memberi mereka makan”.
Kamu Harus Memberi Mereka Makan
Melihat lima ribu orang itu, sebuah kesempatan untuk berbuat sesuatu sudah ada di depan mata para murid: apa yang harus dilakukan bagi mereka yang sedang mendengarkan pengajaran Yesus ini, sedangkan waktu makan hampir tiba. Namun bukan hanya itu rupanya yang terlihat, melainkan juga kemustahilan: bagaimana kita dapat menyediakan makanan untuk lima ribu orang dalam waktu sesingkat itu? Berapa banyak uang yang diperlukan untuk membelinya? – rasanya memang mustahil untuk diwujudkan. Lalu muncullah cara yang lebih masuk akal: suruh saja orang banyak itu pulang!
Saran para murid kepada Yesus untuk menyuruh orang banyak itu pulang, direspons dengan sebuah penegasan bahwa mereka punya tugas untuk dikerjakan, “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan”. Jawaban Yesus ini tentu menghentak para murid. Perikop paralelnya dalam Injil Yohanes pasal 6 mencatat tentang Filipus, salah seorang dari murid Yesus yang berasal dari Betsaida, tempat kejadian ini berlangsung – ia mulai menghitung : jumlah uang sebanyak dua ratus dinar (upah harian seorang pekerja selama dua ratus hari kerja – atau kira-kira upah harian selama tujuh bulan kerja!) pun tidak akan cukup untuk membeli makan bagi orang sebanyak ini.
Ada dinamika yang terjadi di tengah para murid yang mendengar kata-kata Yesus ini, “Kamu harus memberi mereka makan”. Tak hanya Filipus, Andreas pun ikut mencoba mencari jawab atas hal ini. Ia datang kepada Yesus dan berkata, “Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan, namun apa artinya itu untuk orang sebanyak ini?” Andreas mendapati seorang anak yang bersedia berbagi roti dan ikan – ia memberitahukannya kepada Yesus namun tetap memikirkan tentang jumlah yang tak berarti itu. Tentang hal ini Injil Matius mencatat perkataan murid Yesus, “Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan”.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, pernahkah kita menghadapi tantangan seperti para murid itu? Saat kita merasa tidak mungkin melakukan sesuatu dalam kondisi tertentu, dan berharap Tuhan punya cara lain yang bisa menjadi solusi agar kita tidak perlu menghadapi yang satu ini. Kita berkata, “Saya tidak mungkin sanggup, saya hanya punya sedikit kekuatan untuk bertahan, apalah artinya itu dibandingkan dengan persoalan besar ini?”
Apa yang Ada Pada Kita
Perhitungan logika kita tentang besar kecilnya ketersediaan kekuatan untuk menghadapi sesuatu, dapat membuat kita tidak melihat kuasa Allah. Kita berkata, mana mungkin? – di hadapan Allah yang Mahabisa. Sedangkan yang Tuhan kehendaki adalah agar kita membawa apapun yang ada pada kita kepada-Nya, untuk diberkati dan dijadikan-Nya cukup untuk menghadapi setiap tantangan. Ia tidak pernah meminta kita membawa apa yang tidak ada pada kita. Selalu apa yang ada pada kita.
Seorang anak yang membawa apa yang ada padanya kepada para murid. Para murid yang diundang Yesus untuk membawa apa yang ada pada mereka itu kepada-Nya. Dan terjadilah mukjizat itu. lima ribu orang makan sampai kenyang, dan masih terdapat sisa sebanyak dua belas bakul.
Sebagian pendapat mengenai hal ini mengatakan bahwa letak mukjizatnya adalah pada hati setiap orang yang tergerak untuk berbagi, sehingga semua menjadi kenyang. Hal itu bisa saja terjadi demikian. Namun kita juga tidak mengabaikan catatan Yohanes dalam Yoh. 6:11, “Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ, demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu, sebanyak yang mereka kehendaki” – catatan ini menjelaskan bahwa memang Ia memperbanyak jumlah itu. Namun apapun bentuknya, hasil dari mukjizat itu nyata yaitu lima ribu orang menjadi kenyang dan masih terdapat sisanya cukup banyak.
Apa yang ada pada kita, yang dapat kita serahkan kepada Yesus? Ini bukan tentang besar atau kecilnya sesuatu yang kita punyai. Juga bukan tentang berapa banyak kesalahan yang pernah kita buat selama ini. Ini adalah tentang tekad ke depan untuk menjawab tantangan yang ada bagi kita: seberapa pun kekuatan kita, bawalah kepada-Nya, Ia akan memberkatinya dan menjadikan hal itu selalu cukup untuk menjalani setiap tantangan. Seburuk apapun kita melihat pengalaman hidup yang telah kita lalui, bawalah hidup kita kepada Tuhan, Ia akan menolong kita untuk bangkit, belajar dari setiap kesalahan namun tetap menemukan semangat yang baru untuk melangkah dan menjadi berkat bagi sesama.
You Share, You Care
Melalui mukjizat lima roti dan dua ikan ini, Yesus berbagi kehidupan dengan banyak orang. Berawal dari belas kasihan, dan dilanjutkan dengan tindakan nyata bagi kebutuhan mereka akan makanan. Dia adalah Tuhan yang peduli, dan mau berbagi. Bahkan diri-Nya seutuhnya Ia berikan bagi keselamatan dunia. Namun apakah kita yang telah menerima kepedulian-Nya itu juga telah meneladani apa yang diperbuat-Nya?
Kiranya seperti seorang anak yang membawa lima roti dan dua ikan yang menjadi perbekalannya itu kepada Yesus, kita pun rindu untuk berbagi sebagai wujud kepedulian kita bagi sesama. Berbagi, tidak selalu berupa sesuatu yang tampak besar dan sulit untuk dilakukan. Mungkin yang sedang membutuhkan sentuhan kasih kita adalah orang-orang di dalam rumah kita sendiri, yang merindukan saat-saat kebersamaan dalam suasana yang penuh cinta. Maukah kita berbagi dengan mereka dan tidak hanya memikirkan kesibukan kita sendiri? Mungkin yang sedang menantikan sapaan sederhana dari kita adalah seorang warga jemaat yang duduk di samping, atau di depan atau di belakang kita di gereja. Maukah kita peduli menyapa mereka, dan tidak hanya merasa cukup karena diri kita sendiri sudah beribadah di gereja? Mungkin juga, kita sedang dinantikan oleh teman-teman untuk mau terlibat memberi diri melayani di ladang Tuhan melalui talenta kita. Maukah kita peduli terhadap kebutuhan yang ada dengan memberi diri untuk melayani? Dan masih banyak lagi kesempatan yang Tuhan hadirkan bagi kita untuk mau berbagi.
Dalam hidup ini, semua bukan milik kita. Semuanya adalah dari Tuhan, dan Tuhan ingin kita mempergunakan apa yang Ia percayakan kepada kita itu bukan sekadar demi kepentingan diri kita sendiri melainkan sesuai dengan kehendak-Nya. Bawalah setiap talenta kita kepada-Nya. Bawalah seluruh hidup kita kepada-Nya. Ia akan menjadikan kehidupan kita lebih berarti dengan menjadi berkat bagi banyak orang. Tuhan sudah berbagi kehidupan dengan kita, maukah kita dipakai-Nya untuk berbagi kehidupan dengan sesama? Selamat berbagi!•
» Pdt. Helen Aramada
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.