Sebuah kesaksian tentang jemaat ini dari kacamata seorang peserta
Tokoh besar Republik ini pernah berujar, “Untuk menjadi bangsa yang besar, kita tidak boleh meninggalkan sejarah.” Saya sendiri setuju kalau sejarah kita, bahkan keberadaan kita ini semata-mata sebagai sebuah kesaksian tentang Tuhan yang memimpin dan memberkati kita. Dengan pengalaman iman inilah kita membangun sebuah masa depan bersama.
Sejarah bukan sekadar bernostalgia, tetapi merupakan kekuatan untuk melangkah maju dan merajut sebuah masa depan. Sejarah memang bukan cuma sekadar onggokan peristiwa yang makin lama kurang bermakna, tetapi sebuah kesaksian tentang bagaimana Tuhan berkarya dengan luar biasa.
Sebagai pendeta, saya bersyukur kepada Tuhan karena boleh menjadi seorang peserta yang menyaksikan dengan takjubnya bagaimana Ia melakukan sesuatu yang besar melalui kita yang kecil dan tidak berarti ini. Kacamata seorang peserta mempunyai makna, karena cakrawala penglihatannya sangat dekat dan bahkan menyatu dengan yang dilihat dan dirasakan, katakanlah sangat dekat dengan apa yang terjadi.
Gerak Pengembangan Ke Selatan
Jemaat GKI Kebayoran Baru yang berada di wilayah Jakarta Selatan mengamati bahwa gerak pengembangan wilayah ini mengarah ke bagian selatan. Oleh karena itu, selain lebih menggalakkan pelayanan warga jemaat-Nya di bagian selatan GKI Kebayoran Baru, telah disiapkan sebuah sarana, yaitu sebidang tanah seluas 5000 s/d 6000 m2 di Trogong/Cilandak.
Pertumbuhan di daerah selatan ini cukup meyakinkan, karena sekitar tahun 1976 sudah tercatat 200 orang anggota jemaat yang berdomisili di sekitar Terogong, Cilandak, Cipete, Pondok Indah, Cirendeu dan Cinere. Menurut pengamatan Majelis Jemaat, daerah pelayanan ini dirasakan sangat potensial untuk dikembangkan menjadi pos dan selanjutnya cabang (sekarang Bakal Jemaat) dan kalau Tuhan menghendaki, menjadi sebuah jemaat yang dewasa dan mandiri.
Berpindah-Pindah, Tetap Ke Selatan
Meyakini arah pemekaran yang dikehendaki oleh Tuhan, maka walaupun kita mencoba saat itu untuk mulai berkebaktian di Terogong (di atas tanah milik kita), namun rupa-rupanya kehadiran kita membuat masyarakat sekitarnya tidak mengalami kedamaian. Setelah melakukan kebaktian, yang juga dibarengi dengan lemparan-lemparan batu yang menandai sebuah penolakan, kami tidak mundur dan menetapkan untuk pindah ke tempat lain.
Rumah keluarga Pdt. JH Wirakotan (emeritus) di Jl. Anggur III/29-Cipete, Sekolah Joint Embassy School (sekarang: Joint International School), merupakan saksi-saksi bisu dari sebuah perjalanan panjang pelayanan menuju sebuah jemaat.
Lalu, kita berkebaktian di Sekolah Tirta Marta BPK-Penabur dan tidak terlalu lama, kita mulai membangun sebuah gedung gereja dan akhirnya, kita menempati GKI Pondok Indah (dulu: GKI Kebayoran Selatan).
Apa Arti Sebuah Nama
Mengapa Kebayoran Selatan? Karena nama ini resminya bukan nama lokasi, bukan juga nama jalan, sehingga harus diakui akan membuat bingung petugas kelurahan atau polisi lalu lintas. Di peta resmi yang ada, juga tidak pernah tercantum nama Kebayoran Selatan.
Memang pemberian nama ini berlatar belakang sangat sederhana, yaitu ketika GKI Kebayoran Baru bermaksud untuk ‘memekarkan diri’ dan menetapkan supaya pemekaran diarahkan ke selatan, maka GKI Kebayoran Baru saat itu menyatakan pelayanan ini sebagai pelayanan di selatannya GKI Kebayoran Baru, oleh karena itu dinamakan GKI Kebayoran Selatan. Sederhana bukan!?
Oleh karena itu, pada saat kepada saya (yang pernah menjadi bagian GKI Kebayoran Selatan, sebagai pendeta konsulen) ditanyakan, “Apakah nama GKI Kebayoran Selatan bisa diubah?” Secara spontan dan tegas saya mengatakan, “Kenapa tidak bisa?” apalagi kalau warga jemaatnya menghendaki sebuah perubahan dengan nama yang lebih tepat, dan lokasinya memang sudah berubah. Lalu, setelah melalui percakapan-percakapan yang intens, diubahlah nama GKI Kebayoran Selatan menjadi GKI Pondok Indah, sampai saat ini. Lebih tepat dan lebih dapat dipertanggungjawabkan, dan tentu lebih keren.
Ketika Batu Utama Diletakkan
Sebagai penasihat Panitia Pembangunan, alm. Pak Radius Prawiro memanggil saya (Pdt. M.A. Christian) dan bertanya, “Apa artinya peletakan batu utama.” Memang istilah ini adalah hasil kesepakatan kita yang sangat concern pada pembangunan gedung gereja saat itu, untuk menempatkan Tuhan di atas segala-galanya, juga pada saat kita hendak memulai pembangunan ini, yang harus menjadi konsentrasi (baca: utama) adalah Tuhan dan bukan batu yang pertama, itu yang penting.
Setelah menerima penjelasan ini, ia mengerti sepenuhnya bahwa memang pengalaman hidup berjemaat harus berani menjadikan Tuhan sebagai yang utama, yang terpenting dan menentukan, juga dalam mengawali pembangunan ini.
Sejak mulai berencana dan merindukan adanya sebuah gedung gereja, saat itu kami sepakat untuk menggeser kelebihan yang ada pada diri kita dan menempatkan Tuhan sebagai yang segala-galanya. Kita meniadakan diri kita sendiri sebagai yang terpenting dan menggantikannya dengan Tuhan yang utama, terpenting dan menentukan.
Oleh karena itu, batu utama yang hendak dicanangkan adalah ayat firman Tuhan (bukan sekadar batu, bata, apalagi kepala kerbau), sebuah ayat yang menandai keyakinan kita bersama dalam mengawali pembangunan sebuah ‘rumah Tuhan’ (gedung gereja).
Yang kami kerjakan, ENGKAU yang mengerjakan bagi kami (Yesaya 26:12b)
Masih banyak lagi yang dapat diceritakan dalam perjalanan 25 tahun ini, walaupun selalu ada kekuatiran bahwa makin banyak kita bercerita tentang diri kita, lebih banyak pula kita cenderung mengetengahkan diri kita sendiri dan mengecilkan Tuhan yang telah mengerjakan banyak hal bagi kita dan melalui pekerjaan kita.
Kalau ini yang terjadi, mumpung kita menyadarinya, kita harus segera menyetopnya, dan mengatakan: Terpujilah Nama Tuhan. Pdt. MA Christian (emeritus)
Benih-Benih Yang Berkembang Menjadi GKI Pondok Indah
Waktu saya diminta untuk menuliskan sesuatu bagi Kasut tentang tahun-tahun sekitar keberadaan jemaat baru di daerah Pondok Indah, termasuk pendirian dan pembangunan gedung gerejanya, maka saya hanya bisa mengucapkan rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan, bahwa Tuhan berkenan memakai kami, hamba-hamba-Nya yang kecil dan tidak berarti ini, mengajak semua insan untuk mengagungkan asma-Nya, karena semua yang terjadi ini adalah maha karya-Nya dan menggenapi semua janji yang terungkap kepada kami.
Saat itu adalah tahun-tahun 1978-1981 dan saya sedang melaksanakan tugas mengabdi kepada Tuhan dan jemaat-Nya di GKI Kebayoran Baru sebagai Penatua. Waktu itu semua kebaktian yang diadakan di gedung gereja GKI Kebayoran Baru sudah penuh sesak, sedangkan perluasan/pemekaran tidak dapat dilakukan, karena tanah gereja bukan milik GKI, melainkan milik Yayasan PSKD. Perizinan untuk mendirikan gereja baru juga amat sulit diperoleh dan masih terbatas sebagai wacana.
Dalam keadaan yang serba buntu inilah Majelis GKI Kebayoran Baru mengambil beberapa keputusan yang merupakan hasil doa yang lama dan mendalam dengan memohon bimbingan Tuhan, Yesus Kristus dan Roh Kudus:
- Wilayah GKI Kebayoran Baru dipecah menjadi dua: empat wilayah di bagian selatan dijadikan wilayah de facto bagi Gereja Kebayoran Selatan yang akan didirikan;
- Jemaat dari empat wilayah yang dipisah, disosialisasikan untuk beribadah di daerah baru.
Banyak resistensi yang terjadi di dalam pelaksanaan keputusan-keputusan tersebut karena jemaat enggan meninggalkan zona nyaman mereka.
Majelis (yang jumlahnya masih sedikit, kurang dari 10 orang) bekerja sebisa-bisanya dengan gaya “pengungsi” dan setiap hari Minggu mengusung sendiri mimbar dan kursi-kursi, beralih-alih tempat di rumah warga jemaat yang menyediakan kediamannya untuk ibadah pada hari itu. Belakangan, setelah sebagian gedung Sekolah Tirtamarta mulai bisa dipakai, keadaan menjadi lebih tolerable dan kehadiran jemaat mulai bertambah. Gedung gereja baru masih tetap in status nascenti (sedang berkembang), baru ada Panitia Pembangunannya saja dengan ketua Bapak Drs. Jacob Tobing dan wakil ketua Dr. J. Widyaharsana, plus Panitia Teknis, Ir. Hargianto dan Ir. Eveline, plus Panitia Pendanaan serta Sosialisasi, termasuk pasukan ibu-ibu yang sangat aktif. Di sini dari permulaan tampak tangan Tuhan dalam karya besar-Nya karena terjadi kemajuan yang pesat di dalam segala bidang. Di bidang kerohanian kami didampingi dengan setia oleh pendeta konsulen, Pdt. M.A. Christian, sampai datangnya pendeta pertama, Pdt. Agus Susanto.
Nama GKI Kebayoran Selatan akhirnya diganti dengan GKI Pondok Indah yang jemaatnya penuh kasih, peduli dan terus bersaksi bagi-Nya, sehingga jelaslah bahwa hal ini merupakan pekerjaan Tuhan yang luar biasa, seperti yang dikatakan di dalam Yesaya 26:12b, “… Sebab segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukannya bagi kami.” (Dr. J. Widyaharsana).
Jakob Tobing*: GKI PONDIN, SELAMAT HUT KE-25
Ada beberapa cerita ringan tentang GKI Pondin yg berulang tahun ke-25 pada tanggal 20 Juni 2009. Di berbagai kalangan Kristen, nama GKI Pondin sudah sering disebut. Umumnya sih yang baik-baik saja.
Jemaat GKI Pondin dikenal sebagai jemaat yang kaya. Menurut cerita yang pernah saya dengar, sekali persembahan di GKI Pondin bisa mencapai Rp. 500 juta. Cerita ini tentu penggelembungan fakta. Mungkin cerita itu dimulai dengan percakapan seseorang bahwa persembahan di GKI Pondin biasanya berkisar pada angka Rp. 40 juta sebulan sekali kebaktian. Terus ada 3 kali setiap hari Minggu. Dalam sebulan 12 kali. Ketemulah angka Rp. 500 juta sekali kebaktian itu. Orang yang mendengar, meneruskan cerita itu dengan bumbu-bumbu penyedap, termasuk bumbu rasa kagum. Mungkin begitu.
Cerita lain lagi adalah sebuah “legenda“. Katanya pernah ada tukang beca (Apa iya tahun 1988, waktu gereja mulai dipakai masih ada tukang beca), karena sering melihat jemaat beribadah hari Minggu, melalui jendela gereja yang besar-besar dan selalu terbuka (dulu), lantas terpanggil dan masuk Kristen. Mungkin Anda tidak pernah mendengar, tetapi saya pernah ditanya seseorang dengan kagum, apakah cerita itu benar. Terus terang, saya susah menjawabnya dan tidak ingin mengganggu rasa kagum penanya.
Ada juga cerita tentang banyaknya saudara-saudara kita warga Muslim, berjilbab, berkopiah atau tidak, yang mendatangi gereja. Ke klinik. GKI Pondin dikenal akrab dengan lingkungannya. Banyak terlibat dan peduli dengan lingkungannya. Ya, ada nada kagum dari orang lain yang menceritakannya. Memang, GKI Pondin lumayan terkenal.
Liturginya terasa semakin kental. Ada kedalaman tertentu. Di samping liturgi standard GKI, ada yang khas. Ada meja perjamuan yang selalu tersaji di depan mimbar. Ada lilin yang dinyalakan sebelum ibadah dimulai. Demikian pula Alkitab besar yang selalu terbuka di atas meja perjamuan. Simbol bahwa perjamuan dengan menu sabda Tuhan akan segera dimulai. Peralatan baptis dan perjamuan kudus selalu ditampilkan. Suasana yang ditampilkan sepertinya agar kebaktian tidak terbatas pada kegiatan mendengarkan firman Tuhan dan melantunkan puji-pujian serta doa, tetapi juga mendorong pengalaman batin perjumpaan dengan-Nya.
Beberapa kali kebaktian “istimewa” seperti kebaktian Malam Natal, tidak tampil dengan suasana tradisional. Tanpa lagu Malam Kudus, misalnya. Sebagian merasa terusik, kok tidak ada nyanyian wajib itu. Sementara di mall pujian itu terus diputar. Ya, ada usaha untuk mengajak jemaat menyelam ke pengertian yang sesungguhnya dari kedatangan Kristus, bukan sekadar pesta dan acara. Agar tidak tertawan oleh budaya Barat, dari mana umumnya Kristen datang ke sini. Boleh juga. Hanya perlu bijak. Yang memimpin memang harus berjalan di depan. Tetapi jangan berjalan terlalu jauh di depan. Di tikungan bisa tidak terlihat. Yang ikut di belakang bisa hilang pegangan.
Satu cerita terakhir. Interior gelas-pateri di belakang mimbar khotbah terlihat beda dari kebanyakan gereja. Tema yang biasa adalah ”Salib Tuhan”. Tetapi di GKI Pondin temanya adalah pokok anggur yang berbuah lebat.
Lambang salib, lambang keselamatan oleh darah Kristus tentu selalu penting. Di gereja GKI Pondin juga ada, bahkan ada di puncak menara lonceng.
Pantia Pembangunan GKI Pondin dulu mengusulkan tema pokok anggur yang berbuah itu kepada Majelis adalah untuk mengingatkan kita, jemaat yang telah ditebus dengan darah Kristus yang mengucur di kayu salib, agar berbuah. Perikop Yohannes 15:1-8 menegaskan kita hanya akan berbuah, yang berkenan kepada-Nya dan mendatangkan kekaguman yang pantas, bila senantiasa melekat pada Yesus Kristus yang telah mati di kayu salib. Selamat Ualng Tahun ke-25 GKI Pondok Indah. (YT)
E. Dharma Suria: AJAIB BENAR ANUGERAHNYA
Pada waktu itu saya adalah salah seorang penatua (dahulu: majelis) dari GKI Kebayoran Baru. Karena saya berdomisili di Pondok Indah, maka saya ditugaskan sebagai majelis wilayah Kebayoran Selatan, yaitu Pondok Indah. Dirasakan bahwa kebaktian Minggu di GKI Kebayoran menjadi terlalu penuh, maka harus ada pemekaran dengan mendirikan pos baru di wilayah selatan yang kemudian akan menjadi cabang, lalu gereja yang mandiri untuk menampung anggota yang tinggal di selatan.
Berkat rasa kepedulian dari Bapak Soedarjo (alm.) kami mendapat sebidang tanah di daerah Trogong di tengah kampung, di mana kami dalam rangka Paskah tahun itu mengadakan Kebaktian Syukur. Di tengah kebaktian kami dihentikan dengan lemparan batu dari penduduk sekitar, suatu tanda bahwa kehadiran sebuah gereja ditentang, tidak dikehendaki mereka. Dengan berat hati kami membatalkan rencana kami membangun sebuah gedung gereja di tempat itu dan kebaktian Minggu kami pindahkan ke halaman belakang kediaman Pdt. Wirakotan di Jalan Anggur, Cipete.
Pengunjung gereja makin meningkat, kami memerlukan tempat ibadah yang lebih besar, maka kemudian kami mendapat izin memakai ruang olah raga di sekitar JIS di Jl. Trogong untuk sementara waktu.
Tuhan mendengar doa-doa kami sampai pada akhirnya melalui Ibu Eveline Tedjasukmana, kami mendapat sebidang tanah di dalam kawasan Pondok Indah dari MK (Metropolitan Kencana). Setelah mendapat perizinan membangun dan lain-lain, langsung dimulailah pembangunan gedung gereja yang sekarang telah berdiri megah.
Sambil menunggu gereja dibangun, kebaktian Minggu pindah lagi ke aula Sekolah Tirta Marta dengan Pdt. MA. Christian sebagai pendeta konsulen. Akhirnya dalam tahun 1984 bulan Juni, GKI PI diresmikan sebagai gereja penuh dan mandiri.
Inilah kisah singkat pembangunan gereja kita, GKI PI yang dulunya kami dambakan hanyalah sebuah gereja kecil di Trogong masuk gang di tengah kampung, tetapi melalui liku-liku serta banyak kesulitan dan pergumulan, Tuhan memperkenankan kita berkebaktian di gedung gereja yang besar dan megah di kawasan elite seperti sekarang ini. Inilah pekerjaan Tuhan yang merupakan anugerahNya bagi kita yang besar dan ajaib. Memang Tuhan memberikan lebih daripada yang kita minta dan Tuhan memberikan yang terbaik kepada anak-anak-Nya. (E.DS)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.