Jean kembali menghela napas panjang. Sambil menyelipkan seikal rambut hitam di belakang telinganya, ia mengerutkan kening melihat tumpukan kartu Natal yang menunggu ditandatangani. Apa gunanya? Bagaimana ia bisa menandatangani satu nama saja? Perlu dua orang untuk menjadi “pasangan”, padahal ia hanya seorang diri.
Perceraiannya secara sah dari Don telah membuat hatinya hampa dan tidak lengkap. Mungkin ia tidak akan mengirimkan kartu tahun ini dan juga tidak akan menghias rumah. Sejujurnya, bahkan menghias pohon pun rasanya tidak ingin dilakukannya. Ia telah membatalkan diri untuk ikut dalam caroling dan pertunjukan Natal yang diadakan gerejanya. Natal adalah untuk berbagi, dan tak seorang pun dimilikinya untuk berbagi dengannya.
Bel pintu yang berdering nyaring itu mengejutkannya. Jean berjalan ke pintu dalam kaus kaki yang tebal, membukanya dan segera diterpa oleh hawa dingin malam Desember. Ia mengintip ke kegelapan teras yang kosong. Alih-alih sebuah wajah ramah ―yang dibutuhkannya saat ini― ia hanya menemukan tas hadiah berwarna hijau ceria tergantung di pagar teras. “Dari siapa?” pikirnya dengan heran. “Dan mengapa?”
Di bawah cahaya terang dapur, ia mengeluarkan segenggam serpihan kertas berwarna emas, dan mencari hadiah itu. Namun justru jari-jarinya menemukan sebuah amplop di bawah. Di dalamnya ada surat yang diketik. Apakah ini sebuah cerita….?
“Anak laki-laki kecil itu baru saja tiba di panti asuhan Denmark, dan Natal sudah dekat,” Jean membaca. Ia tertarik pada kisah itu, dan duduk di kursi dapur.
“Dari anak-anak yang lain, ia mendengar cerita tentang pohon yang menakjubkan, yang akan muncul di aula pada malam Natal dan tentang banyaknya lilin yang akan menerangi cabang-cabangnya. Ia mendengar cerita tentang donatur misterius yang memungkinkan hal itu terjadi setiap tahun.
Mata anak kecil itu terbelalak hanya dengan memikirkan semua keindahan itu. Pohon-pohon Natal yang pernah dilihatnya melalui jendela-jendela berkabut di rumah-rumah lain. Masih ada lagi, cerita anak-anak itu. Ada lagi? Oh, ya! Sebagai gantinya bubur yang sehari-hari dihidangkan di panti asuhan, mereka akan mendapatkan sup yang sedap baunya dan roti berkerak yang hangat pada malam istimewa itu.
Yang terakhir, dan yang terbaik dari semuanya, kata mereka lagi, masing-masing akan mendapat hadiah, dan ia akan bergabung dengan barisan anak-anak itu untuk menerima hadiah ….
Jean membalik halaman kertas itu. Alih-alih menemukan kelanjutan ceritanya, ia terkejut membaca: “Setiap orang perlu merayakan Natal. Anda setuju, kan? Tunggulah Bagian Kedua.” Ia melipat kembali kertas itu sementara senyum menyembul di sudut mulutnya.
Keesokan hari Jean begitu sibuknya sehingga ia sama sekali lupa pada cerita itu. Malam itu ia bergegas pulang dari kantornya. Jika ia cepat sampai di rumah, mungkin masih ada waktu untuk menghias dinding luar perapian. Ia mengeluarkan kotak untaian bunga, hanya untuk menjatuhkannya ketika bel pintu berbunyi. Ketika ia membuka pintu, ia menemukan sebuah tas hadiah berwarna merah. Dengan tak sabar ia meraihnya dan mengeluarkan selembar kertas.
… sebuah jeruk untuk dirinya sendiri, “ Jean membaca. “Jeruk? Hadiah itu jeruk?” pikirnya tak percaya.
“Jeruk! Untuk dirinya sendiri? Ya, kata yang lain meyakinkannya. Masing-masing akan mendapat satu. Anak itu memejamkan matanya sambil membayangkan semua keajaiban ini. Ada pohon, lilin, makanan yang mengenyangkan, dan sebuah jeruk untuk dirinya sendiri.
Ia mengenal bau jeruk itu, manis dan menyengat, tapi cuma baunya. Ia telah mencium bau jeruk di kios-kios pedagang di pasar. Ia bahkan pernah berani menggosokkan salah satu jarinya pada kulit buah yang mengkilat dan berbintik-bintik itu. Selama berhari-hari ia berkhayal bahwa tangannya masih berbau jeruk. Tapi untuk mencicipinya, memakannya? Alangkah nikmatnya.
Cerita itu tiba-tiba berakhir, tapi Jean tidak kecewa. Ia tahu bahwa cerita itu akan dilanjutkan.
Keesokan malamnya, dengan cemas Jean menunggu bunyi bel pintu. Ia tidak dikecewakan. Namun kali ini tas dengan hiasan timbul berwarna emas itu lebih berat daripada tas-tas sebelumnya. Ia menyobek amplop yang diletakkan di atas kertas tisu.
Malam Natal berlangsung tepat seperti yang dijanjikan kepada anak-anak. Wangi cemara bersaing dengan harumnya masakan domba dan roti tawar buatan sendiri. Puluhan lilin menerangi ruangan dengan lingkaran –lingkaran cahaya emas. Anak itu menyaksikan dengan takjub ketika setiap anak bergiliran memperoleh sebuah jeruk dan dengan sopan berkata “terima kasih”.
Barisan itu maju dengan cepat, dan segera ia berada di depan pohon yang menjulang tinggi dan kepala sekolah yang tampak mengesankan.
“Sayang sekali, Nak, sayang sekali. Tapi kami menghitungnya sebelum engkau datang. Tampaknya tidak ada jeruk lagi. Tahun depan. Ya, tahun depan engkau akan menerima sebuah jeruk.”
Dengan patah hati dan tangan hampa, anak yatim piatu itu berlari menaiki tangga untuk menyembunyikan wajah dan air matanya di bawah bantal.
Tunggu! Ini bukan kelanjutan cerita yang diharapkannya. Jean merasakan kepedihan anak itu, kesepiannya.
Anak itu merasa sentuhan lembut di punggungnya. Ia mencoba untuk menghentikan isaknya. Isaknya makin berkurang dan akhirnya ia menarik kepalanya dari bawah bantal.
Ia sudah menciumnya terlebih dulu sebelum melihatnya. Sebuah serbet diletakkan di atas kasur. Terselip di dalamnya sebuah jeruk yang sudah terkupas, baunya manis menyengat. Jeruk itu terdiri atas irisan-irisan yang dikumpulkan anak-anak lainnya. Setiap anak memberi seiris, sehingga bersama-sama irisan-irisan itu membentuk sebuah jeruk yang utuh.
Sebuah jeruk untuk dirinya sendiri.
Jean mengusap air mata yang menetes di pipinya. Dari bagian bawah tas hadiah itu ia mengeluarkan sebuah jeruk―sebuah jeruk cokelat berlapis kertas timah―yang sudah terbagi-bagi dalam beberapa irisan. Dan untuk pertama kalinya dalam sekian minggu, Jean tersenyum. Benar-benar tersenyum.
Ia mulai membuat salinan dari cerita ini, dan membungkus satu per satu irisan jeruk coklat itu. Ada Bu Potter di seberang jalan, yang untuk pertama kali setelah 58 tahun memperingati Natal seorang diri. Ada Melanie di ujung jalan, yang akan menjalani radiasi untuk kedua kalinya. Temannya lari pagi, Jan, orangtua tunggal dari seorang remaja yang sulit. Pak Bradford yang kesepian dan kehilangan penglihatannya, dan Sue, satu-satunya orang yang merawat ibunya yang sudah tua ….
Seiris darinya mungkin bisa mengutuhkan hati mereka.
Carol McAdoo Rehme – terjemahan bebas
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.