Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah. (Roma 15:7)
TIDAK BISA MENERIMA DIRI SENDIRI
Saya pernah punya seorang teman perempuan yang paling takut menimbang berat badannya, sebab selalu melebihi berat badan yang ideal. Begitu pula seorang teman mahasiswi, suatu pagi seusai mandi berteriak-teriak ketika melihat wajahnya sendiri di cermin, sebab kemerahan seperti udang rebus, karena akhir-akhir ini main bola voli di pantai.
Tadi itu adalah tingkah manusia yang tidak bisa menerima dirinya sendiri. Belum lagi ketika ada kelainan atau cacat fisik permanen yang disandangnya. Menerima dengan wajar dan tulus hati saja sulit, apalagi harus bersyukur untuk hidup yang Tuhan berikan. Selalu saja muncul konflik batiniah yang harus diperangi dari waktu ke waktu. Tak dapat saya bayangkan betapa banyak penderitaan batiniah yang dialami, padahal tidak ada gunanya dan malah dapat menyakiti hati Sang Pencipta.
TIDAK BISA MENERIMA ORANG LAIN
Ini lebih sulit lagi. Sudah tidak bisa menerima diri sendiri, masih ditambah tidak bisa menerima orang lain. Biasanya memang seperti itu. Karena merasa kecewa dengan kenyataan yang ditanggungnya, seseorang mudah marah melihat nasib baik yang dinikmati orang lain. Itu yang disebut iri hati atau kecemburuan sosial, yang banyak kita jumpai dalam Alkitab dan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Jika hanya berkecamuk di dalam diri sendiri, dampaknya tidak begitu terasa bagi masyarakat luas, tapi bagaimana jika sampai meluap-luap dalam bentuk kekerasan yang ditujukan kepada orang-orang di sekitarnya?
BAGAIMANA BUNYI FIRMAN TUHAN?
“Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah.” Diawali dengan masing-masing dapat menerima keberadaan dirinya sendiri, Tuhan menghendaki kita kemudian dapat saling menerima yang lain.
Perlu diketahui bahwa setiap keberadaan seseorang itu memiliki riwayat yang sangat panjang dan pelik. Mengapa saya saat ini seperti ini? Hal itu ditentukan oleh begitu banyak faktor. Orang dengan gampangnya mengatakan bahwa itu “sudah dari sononya” atau sudah kehendak Tuhan. Namun itu tidak sepenuhnya benar, pasti ada penyebab-penyebab yang lain, seperti pengaruh atau campur tangan orang lain, bahkan kesalahan diri sendiri. Dua saudara kembar, dengan kondisi dan potensi yang sama, mengapa di kemudian hari nasib hidup mereka bertolak belakang? Karena si kakak rajin menuntut ilmu, sedangkan adiknya hanya main dan berfoya-foya. Setelah si kakak berhasil berpangkat tinggi, sedangkan adiknya menjadi karyawan biasa, apakah si adik boleh menganggap bahwa di sini ada ketidakadilan, lalu merasa iri hati, dan mulai mengkritisi serta menyerang kakaknya?
Kita memuji Firman Tuhan yang sangat indah, menganjurkan agar ada saling penerimaan. Apa pun yang telah terjadi, perbedaan kita tidak perlu memisahkan tapi diupayakan untuk saling menerima. Yang sudah lewat, tak perlu dibesar-besarkan, saling menerimalah. Daripada membicarakan sebab-musabab dari perbedaan yang ada, jauh lebih berguna untuk mensyukuri perbedaan sebagai anugerah Tuhan. Perbedaan yang justru berdaya guna untuk saling melengkapi. Apa artinya “saling melengkapi”? Artinya semua pihak mempunyai kekurangan dan kelebihan sehingga bisa berbagi, seperti ajaran Kristus itu.
Ada dua hal penting lagi dalam Firman Tuhan tadi:
PERTAMA: “Sama seperti Kristus juga telah menerima kita”. Penerimaan, telah dan selalu dilakukan oleh Kristus terhadap kita. Itulah penerimaan dengan setulus hati-Nya. Di mata Tuhan Yesus, semua orang sama dan unik, tak ada duanya. Manusia tidak dicipta seragam tapi beraneka ragam, dalam kesukuan maupun kepribadian. Hal itu tentu bukan karya yang mudah atau asal-asalan saja. Jika kemudian Tuhan Yesus melakukan penerimaan, itu karena kita mendapat penghargaan yang sama dan diperlakukan sama pula. Darah kudus Kristus terkucur merata untuk kita semua.
KEDUA: “Untuk kemuliaan Allah”. Keanekaragaman bukan dimaksudkan demi kesemrawutan, melainkan bagi kemuliaan Allah. Agar Allah dimuliakan, sebab walau berbeda dalam banyak hal, namun serba positif adanya. Yang berbeda-beda itu bicara tentang kekayaan Allah, secara lahiriah maupun rohaniah. Berbeda-beda menunjukkan “kepandaian” Allah dalam karya penciptaan maupun pengendaliannya. Masing-masing tidak membesarkan diri atau golongan sendiri, tetapi dapat memuliakan Allah. Jadi keberanekaragaman kita bukan sekadar hebat dalam jumlah, melainkan juga dalam kekuatan spiritualitas.
Dalam Buku Champion ada cerita sebagai berikut:
Pada suatu hari, sebuah mobil terperosok di sebuah jalan pedesaan. Makin digas oleh si pengemudi, makin terbenam mobil itu di dalam lumpur. Sambil menunggu pasrah, si pengemudi melihat seorang tua dan seekor keledai tua berjalan ke arahnya. Ia bertanya, “Pak, apakah ada orang yang mampu mengeluarkan mobil saya dari lumpur?” Si petani berkata, “Si Hitam ini pasti dapat menarik mobil Anda keluar dari lumpur.” Dengan tampang tidak percaya anak muda itu berkata, “Apakah Bapak yakin si Hitam ini mampu?” (dengan tatapan pasrah dan tidak percaya). “Saya yakin,” sahut petani tua itu. Setelah mengikat tali ke tubuh si keledai, si petani berteriak, “Ayo tarik Abu! Ayo tarik Putih! Ayo tarik Coklat! Ayo tarik Hitam!” Si Hitam pun mengeluarkan seluruh kekuatannya dan berhasil menarik keluar mobil itu. Anak muda itu tercengang dan berterima kasih kepada si petani dan keledainya, tapi kemudian ia bertanya,”Mengapa Anda memanggil beberapa nama sebelum memanggil si Hitam?” Si petani tersenyum dan berkata,”Si Hitam ini sudah tua dan mulai rabun. Selama ia merasa ada keledai-keledai lain yang juga ikut menarik dalam satu tim, ia yakin dan bersemangat untuk menarik apa saja.”
Tepat sekali, ada dua hal penting yang dapat kita renungkan dari cerita ini. Pertama, kekuatan satu tim pasti akan melebihi kekuatan dari satu individu, dan hal kedua yang terpenting, bahwa keyakinan bekerja dalam satu tim yang solid dapat mencapai hasil yang terbaik bagi semua anggota tim.
Kita menyimak di sini bahwa seekor keledai yang sangat sederhana, dan hanya melalui imajinasinya, telah berhasil mengumpulkan kekuatannya untuk menyelesaikan tugas besarnya. Bagaimana jika kita di dalam suatu kesungguhan, dan bukan petani tua yang menjadi pemimpin kita, tetapi Yesus Kristus?
Ada baiknya jika pada akhirnya kita juga membaca Roma 15:11. Dan lagi:”Terpujilah Tuhan, hai kamu semua bangsa-bangsa, dan biarlah segala suku bangsa memuji Dia.”
Tuhan Yesus yang mengasihi umat manusia di dunia ini tentunya sering membayangkan dan merindukan sekiranya di dunia ini tidak ada iri hati dan kekerasan di antara umat manusia karena alasan perbedaan. Alangkah manisnya dan indahnya manakala seluruh umat manusia dapat saling menerima dan bersama-sama memuliakan Allah dalam kasih Kristus yang besar itu.•
» Pdt. Em. Daud Adiprasetya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.