Salah Kirim

Salah Kirim

Belum ada komentar 36 Views

Sudah sejak lama kami mempunyai restoran atau warung makan langganan di dekat rumah, yang beberapa makanannya cukup enak. Nasi tim ayamnya menjadi favorit kami kalau sedang batuk atau demam. Porsinya tidak terlalu besar tetapi rasanya istimewa. Kami sering memesan makanan di restoran ini dan selama ini pelayanannya cukup baik, dalam arti cepat dan sesuai dengan apa yang kami pesan, dan belakangan kami lebih sering minta diantar daripada membeli langsung. Restoran ini selalu menjadi andalan manakala di rumah tidak ada makanan atau kalau hari raya di mana kebanyakan rumah makan tutup.

Beberapa waktu yang lalu, seperti biasa kami memesan makanan dari restoran langganan ini, dan begitu makanan sampai, oleh asisten rumah tangga langsung dipindahkan ke piring dan disajikan di meja makan. Pada waktu kami lihat, ternyata makanan yang ada di meja tidak sesuai dengan pesanan kami, jadi kami telepon kembali ke restoran dan ternyata memang pesanan kami itu tertukar dengan pesanan orang lain. Tak lama kemudian datang seorang ibu — mungkin juru masaknya — yang membawa pesanan kami dan pesanan yang salah dibungkus dan dibawa kembali. Kami surprise juga dengan kedatangan si ibu ini, mungkin mereka juga mendapat telepon dari pelanggan yang merasa pesanannya tertukar.

Kami jadi teringat sebuah peristiwa salah kirim yang pernah dialami oleh kakak kami, bukan makanan tetapi obat, sebuah kesalahan yang cukup fatal. Kakak kami seorang dokter. Dia membuat resep dan minta agar obat untuk anaknya yang sedang sakit itu dikirim ke rumah. Pada waktu obat itu diantar, kakak kami kebetulan sedang tidak di rumah dan diterima oleh asisten rumah tangga. Waktu kakak kami datang dan melihat obat yang dikirim, dia langsung tahu bahwa obat itu salah. Dilihat dari warna labelnya, obat itu adalah obat luar, bukan untuk diminum. Bisa dibayangkan kalau obat itu sempat diberikan kepada anaknya. Ternyata memang apotek itu salah kirim obat.

Saat ini, kalau kita menebus obat, terutama di rumah sakit, ketika obat diserahkan, petugas selalu menanyakan nama dan tanggal lahir si pasien, baru kemudian menjelaskan cara minumnya, berapa kali sehari dan sebagainya. Itulah salah satu cara supaya tidak memberikan obat yang salah. Selalu ada konfirmasi terhadap si penerima sesuai dengan resep yang diberikan.

Di zaman yang serba digital, yang memberi kemudahan dalam berbagai hal, kita dapat melakukan semua hal dari rumah dengan hanya mengandalkan HP, mulai dari belanja keperluan sehari-hari, beli makanan, beli kopi, beli barang-barang elektronik sampai beli tiket pesawat, kereta api atau bioskop, pesan hotel, pesan taksi dan sebagainya. Berbagai aplikasi bisa diunduh untuk membuat hidup menjadi lebih mudah. Dengan semua kemudahan ini, kemungkinan salah kirim juga akan makin besar. Faktor manusia masih memegang peran yang penting. Di belakang semua kemudahan itu, ada orang orang yang mengerjakan apa yang kita pesan, dan mereka belum tentu terdiri atas para ahli.

Beberapa waktu yang lalu saya melihat seorang pengemudi ojek online membeli sebuah semangka di supermarket. Saya membayangkan apa yang terjadi kalau buah semangka itu tidak manis atau masih mentah atau sudah busuk, siapa yang akan di complain?

Kita juga sering mendengar bahwa ada yang belanja online tetapi barangnya tidak dikirim, atau ketika barangnya diterima, tidak sesuai dengan pesanan atau sulit sekali meminta refund atas barang yang tidak sesuai dengan yang dibeli. dan sebagainya. Ada lagi kemudahan untuk pengantaran obat yang tersedia di banyak rumah sakit, jadi kita tidak perlu menunggu lama di rumah sakit, dan bisa langsung pulang. Memang untuk si pasien diberi kemudahan untuk tidak usah menunggu, karena menunggu obat biasanya perlu waktu. Masalahnya, bagaimana kalau terjadi salah kirim? Apakah kurir bisa menjelaskan ini obat apa dan bagaimana cara penggunaannya? Kalau ada kesalahan siapa yang akan dituntut?

Di balik kemudahan ini, ada kemungkinan risiko yang bisa terjadi. Jadi ada baiknya kita tidak sepenuhnya mengandalkan aplikasi.

Untuk mengurangi kemungkinan salah kirim, belanjalah sesekali ke supermarket atau ke pasar, main-main ke mal supaya bisa sight seeing dan berinteraksi dengan orang-orang lain. Coba sekali-sekali makan di warung bubur ayam, warung mi ayam atau makan ketupat sayur di Pasar Modern atau makan di warung Pecel Madiun. Kita bisa melihat keramaian dan keunikan para pedagang menawarkan dagangan mereka. Kita juga bisa menemukan makanan-makanan langka yang tidak dijual di tempat lain, seperti kue serabi tradisional, yang apinya masih menggunakan kayu bakar, dengan topping gula merah atau oncom pedas.

Daripada terus diam di rumah saja main HP, tidak ke mana-mana, makan terus, lama kelamaan kita jadi seperti ayam broiler lo, yang makin lama semakin tambun. Jangan-jangan suatu saat nanti ke gereja juga bisa secara online… Salam damai!•

» Sindhu Sumargo

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Artikel Lepas
  • Kami Juga Ingin Belajar
    Di zaman ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, manusia justru diperhadapkan dengan berbagai macam masalah...
  • KESAHAJAAN
    Dalam sebuah kesempatan perjumpaan saya dengan Pdt. Joas Adiprasetya di sebuah seminar beberapa tahun lalu, ia menyebutkan pernyataan menarik...
  • Tidak Pernah SELESAI
    Dalam kehidupan ini, banyak pekerjaan yang tidak pernah selesai, mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai pekerjaan rumit seperti mengurus...
  • Mengenal Orang Farisi
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Arti Kata Farisi Kata Farisi—yang sering diterjemahkan sebagai ‘memisahkan/terpisah’— menunjukkan sikap segolongan orang yang memisahkan diri dari pengajaran—bahkan pergaulan—...
  • Mengenal Sosok Herodes
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Herodes dalam Injil Banyak orang tidak terlalu menaruh perhatian pada sosok Herodes dalam Injil. Kebanyakan mereka hanya tahu bahwa...