Look deep into nature, and then you will understand everything better. – Albert Einstein
Itulah salah satu motivasi kami untuk berpartisipasi dalam acara RWD (Run With Demud) Trail pada hari Sabtu, 29 Juli yang lalu. Selain bertujuan untuk menjaga kesehatan tubuh dengan cara berolahraga, kegiatan ini juga memberikan kami kesempatan untuk meningkatkan kualitas spiritual kami. RWD Trail membuat kami “berhenti” sejenak dari semua rutinitas kami untuk kembali ke alam (back to nature) dengan mengeksplorasi, mengagumi, dan menikmati karya cipta Tuhan yang luar biasa kami rasakan melalui keindahan alam di negeri Indonesia ini.
RWD kali ini berbeda dengan tahun-tahun lalu, yang biasa menggunakan rute lari di sekitar GKI Pondok Indah dengan jalanan yang beraspal dan padat pengguna jalan (kendaraan bermotor). Kali ini RWD diadakan dengan konsep trail, yaitu hiking di daerah Sentul dengan medan yang beraspal, berbatu, dan berlumpur. Rute hiking bermula dari Warung KM 0 Bojong Koneng, naik/mendaki menuju Pondok Pemburu yang berjarak kurang lebih 5,5 km, lalu kembali turun ke tempat awal, sehingga total perjalanan yang ditempuh sekitar 11 km.
Kegiatan ini diikuti oleh 25 peserta dari berbagai kalangan, dari anak-anak hingga orang dewasa. Bahkan ada yang mengikutsertakan seluruh keluarga intinya. Acara ini dipandu oleh Thomas Suhardja dengan dibantu oleh Garrar, Willy, dan Kara. Para peserta berkumpul di GKI Pondok Indah pada pukul 5 pagi untuk berangkat pada pukul 05.30 dan tiba di tempat tujuan (Warung KM 0) pada pukul 06.45. Pada pukul 07.00 seluruh peserta memulai hiking dan pada pukul 09.00 tiba di Pondok Pemburu.
Pada pertengahan perjalanan, masing-masing diminta untuk mengambil silent moment di suatu tempat. Silent moment di sini mengambil saat di mana kami belajar mendengar apa yang ingin Tuhan sampaikan kepada kami. Tiap detik kehidupan kami diisi dengan kebisingan. Dalam saat hening, apa yang ingin Tuhan sampaikan kepada kami? Setelah beristirahat sejenak selama 30 menit, para peserta berjalan kembali dan tiba di Warung KM 0 kurang lebih pukul 11.00. Acara ini pada umumnya berjalan dengan baik dan kondisi cuaca pada saat hiking cukup mendukung, walaupun sedikit mendung.
Ada kejadian menarik di akhir acara, yaitu ketika perjalanan turun dari Pondok Pemburu. Salah satu peserta tersesat, karena memilih jalan yang salah. Walaupun agak menimbulkan kepanikan teman-teman lainnya, tapi secara keseluruhan semua merasa senang dan puas dengan acara RWD Trail ini. (Natasha)
Catatan Seorang Pelari Dalam RWD
Running is not about being better than someone else.
It is about being better than you used to be – fb.com/lifeinthedayofarunner
Sebelum matahari menampakkan sinarnya, sekelompok pemuda berkumpul pukul 5 pagi di GKI Pondok Indah untuk bergegas menuju Sentul City dengan mobil dan berhenti di Km 0—begitu sebutan titik start para peserta yang ingin berlari trail di bukit Sentul. Kami tergabung dalam komunitas lari Run with Demud (RWD) GKI Pondok Indah. RWD Trail 2017 adalah sebuah acara Dewasa Muda yang dikemas unik—karena biasanya kami berlari di jalanan seputaran Pondok Indah. Kali ini Tim RWD memberanikan diri mencoba rute baru sepanjang 10 km di bukit Sentul—bukit yang kami tidak pernah tahu namanya.
Kelompok Berlari dan Berjalan
Untuk pelari biasa, 5 km berarti berlari antara 30-40 menit. Namun karena terjalnya bukit—elevation gain hingga lebih dari 400 m—perjalanan berlari ditempuh dalam waktu 1 jam lebih. Kelompok Berlari dipimpin oleh Willy dan Budi.
Tanjakan kombinasi aspal, bebatuan dan tanah, ditempuh oleh kelompok lari Run With Demud tanpa mengenal lelah. Tidak lupa kami selfie di sebuah titik persinggahan, sambil menyaksikan keindahan ciptaan Tuhan dan merasakan sejuknya udara pegunungan.
Dalam hening kami menatap jauh ke depan, melihat pegunungan hijau dan pohon-pohon besar. Kenikmatan tidak terbayarkan menyaksikan keindahan ciptaan Tuhan dan sekaligus disapa oleh-Nya. Sebuah pengalaman spiritual terbaik di tengah kelelahan berlari, berdialog dengan Sang Pencipta dan berefleksi syukur atas kesempatan yang Tuhan berikan kepada kami setiap hari untuk berjalan bersama-Nya.
Sementara kelompok lainnya – kami sebut kelompok berjalan, dipimpin oleh Garrar dan Kara, menyusul di rute yang sama, menuju satu titik pertemuan yang disebut Pondok Pemburu. Titik pertemuan terkenal bagi para pelari, karena tempatnya yang unik: kebun dan rerumputan tertata rapi, batu besar untuk beristirahat, bale bengong di depan pondok, dan seruput kopi teh ‘free flow’ dari sang penjaga rumah. Tentu hal tersebut dilakukan dengan memberi sedikit uang terima kasih atas keramahtamahannya.
Beberapa dari kami melepas lelah dengan berfoto, beberapa lainnya mencoba berjalan-jalan di sekeliling pondok dan bermain di aliran sungai kecil sambil mencebur kaki. Sementara bekal roti disantap, beberapa dari kami memesan indomie berbayar, yang disediakan oleh sang penjaga rumah.
Nico Hilang
Kami turun pukul 9.30 pagi, cukup untuk kembali ke Km 0 dan pulang ke Jakarta pada tengah hari. Namun salah seorang anak yang berada di dalam Kelompok Berjalan—Nico namanya—ingin menyusul Kelompok Berlari yang sudah terlebih dahulu berlari menuruni bukit, jauh di depan. Karena ia tidak dapat mengejar Kelompok Berlari, ia akhirnya tersesat di “belokan kandang kambing” dan berbelok ke kiri, sementara rute kembali seharusnya berbelok ke kanan. Jethro—salah seorang dari kami— pertama kali menyadari bahwa Nico tidak ada di dalam Rombongan Berlari dan Rombongan Berjalan.
Alhasil perjalanan pulang tertunda: Garrar, Willy, Thomas, Budi dan Pak Samuel—ayah dari Nico—mencoba mencari dan menaiki kembali bukit yang kami telah turuni. Beberapa saat kami mencari, hasilnya nihil. Nico hilang di salah satu gunung yang kami lewati.
Cemas, lelah, panik dan takut, bercampur menjadi satu. Takut kalau ada kecelakaan, takut kalau Nico ternyata hilang di hutan pegunungan. Masakan seluruh penduduk desa harus dikerahkan mencari? Hari sudah makin mendung. Nico belum ditemukan. Tanpa mengenal lelah, tim pencari berusaha melihat setiap kelokan, jejak, bahkan melongok ke setiap rumah. Kami berlari dan berpisah di setiap kelokan, agar kemungkinan bertemu Nico lebih besar. Tetap saja nihil.
Doa saya hanyalah agar Nico ditemukan dalam keadaan baik—dan bukan kecelakaan. Saya percaya bahwa setiap anggota tim berdoa agar Nico ditemukan. Pembaca jangan bayangkan mudahnya bertelepon, whatsapp, “Send-loc”, GPS atau signal telepon. Nico memang membawa telepon genggamnya, namun signal 2G saja tidak ada di atas sana.
Nico Ditemukan
Singkatnya, setelah 2 jam, Nico berhasil ditemukan. Ia sebelumnya berhasil menemukan signal dan mengirim pesan. Ia berhenti di salah satu desa—5 km dari tempat dirinya berpisah dari rombongan. Tuhan sungguh baik dan mendengar doa kami. Drama “hilang” mengingatkan saya pada ketidakmampuan pelari mencari dengan mengandalkan kekuatan diri. Hanya karena hikmat Tuhan, Nico bisa ditemukan.
Kalau ada satu pelajaran yang saya dapat dari acara ini, saya tidak boleh mengandalkan kekuatan saya untuk menyelesaikan masalah saya. Kemampuan berlari dan mendaki gunung tidak lagi menjadi andalan dan kekuatan kami dalam mencari dan menemukan Nico. Oh ya, bagaimana Nico ditemukan? Kami menyewa ojek dan menjemput Nico pulang.
Puji Tuhan.(Thomas Suhardja)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.