anggota keluarga

Revolusi Mental Berbasis Keluarga Dalam Rangka Mewujudkan Indonesia Sejahtera

Belum ada komentar 337 Views

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

(Roma 12:2)

Pendahuluan

“Berubah oleh pembaharuan budi” sudah diingatkan Firman Tuhan di dalam Roma 12:2b. Suami, istri, dan anak-anak sebagai keluarga yang mengalami pembaharuan budi akan hidup penuh kasih sayang dan menjadi saksi Kristus di tengah lingkungan, pergaulan tempat kuliah, sekolah. Mereka berbuah di mana saja, termasuk di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keluarga merupakan pilar pembangunan bangsa, lingkungan yang pertama dan utama, yang berperan penting dalam memenuhi kebutuhan asah, asih, dan asuh di antara sesama anggotanya. Keluarga juga merupakan tumpuan untuk mengembangkan dan menyalurkan potensi setiap anggotanya. Presiden Joko Widodo, pada hari Keluarga Nasional tanggal 1 Agustus 2015 di Tangerang Selatan-Banten, mengatakan bahwa “dalam menanam nilai-nilai budi pekerti dan sistem pendidikan di Indonesia, keterlibatan keluarga tidak kalah pentingnya, karena keluarga Indonesia menjadi tiang negeri yang kuat dan kokoh menuju Indonesia maju dan sejahtera. Keluarga adalah garda terdepan pembangunan sosial dan kesejahteraan rakyat.”

Apabila keluarga gagal membentuk karakter anak-anak sejak dini, hal itu akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu perlu diadakan revolusi mental berbasis keluarga.

Situasi Kependudukan di Indonesia Saat Ini

Berdasarkan hasil sensus penduduk Indonesia tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia 237,6 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk Indonesia 4,5 juta setiap tahun dengan laju pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu 1,49% per tahun. Pada tahun 2016, jumlah penduduk Indonesia mendekati angka 255 juta. Jumlah penduduk yang besar tersebut menimbulkan berbagai persoalan antara lain, masalah kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, transportasi, krisis lahan pertanian, krisis ketersediaan air bersih, konflik sosial, dll. Karena daya dukung alam dan daya tampung lingkungan saat ini kurang seimbang, hal itu bisa juga berdampak pada stabilitas keamanan.

Berdasarkan proyeksi penduduk pada tahun 2015, jumlah remaja Indonesia mencapai lebih dari 66 juta jiwa, atau 25% dari jumlah penduduk Indonesia (sumber: Bappenas, BPS, UNFPA 2013) artinya, 1 dari setiap 4 orang penduduk Indonesia adalah remaja. Jumlah remaja yang besar tersebut, ditambah dengan permasalahan di atas, diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan apabila sumber daya manusia (SDM) remaja dapat ditingkatkan, mereka menunda usia perkawinan, terhindar dari narkoba dan seks bebas. Berdasarkan SDKI 2012, di Indonesia age specific fertility rate (ASFR) untuk kelompok umur 15-19 tahun secara umum turun tidak signifikan dari 51 ke 48 per 1000 perempuan (SDKI 2007 dan SDKI 2012). Hal ini jauh dari angka yang diharapkan oleh rencana strategis BKKBN, yakni 38/1000 perempuan (pada tahun 2019). Remaja yang sudah melahirkan di Indonesia pada usia 15-19 tahun naik dari 8,5% menjadi 9,5%, (SDKI 2012). Pada tahun 2013, 22% dari 4 juta penduduk Indonesia terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, atau kurang lebih 880.000 penyalahgunaan napza (narkoba, psikotropika dan zat adiktif lainnya) dilakukan oleh pelajar, remaja dan mahasiswa (BNN 2013).

Kemudian berdasarkan hasil laporan perkembangan HIV dan AIDS triwulan 3 tahun 2014 Kemenkes, masalah besar yang dihadapi saat ini adalah kasus AIDS kumulatif tahun 1987 s/d Maret 2015 sebanyak 66.835 kasus. 32,2% di antaranya berada pada kelompok usia 20-29 tahun dan 3,1% lainnya pada kelompok usia 15-19 tahun (Kemenkes RI Maret 2015). Total fertility rate (TFR) 2,6 dari target 2,1. Remaja Indonesia dapat pula menjadi sasaran utama ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya (ipoleksosbud). Objek/sasaran proxy war masuk ke semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demikian pula angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI 2012), 359 per 100.000 kelahiran hidup dari target 102/100.000 KH (MDG’S 2015), angka kematian bayi 32 per 1000 kelahiran hidup disebabkan oleh masalah neonatal (SDKI 2012).

Penduduk usia lanjut sebanyak 18 s/d 20 juta makin meningkat dari tahun ke tahun sehingga perlu membentuk kelompok senior/sesepuh/lansia tangguh dalam rangka mewujudkan keluarga yang berketahanan/harmonis.

Merespons situasi tersebut, gerakan revolusi mental merupakan gerakan yang tepat yang dilandasi cita-cita mulia untuk mengantar rakyat dan bangsa Indonesia menjadi negara adi daya dan Indonesia sejahtera.

Mengapa Harus Revolusi Mental?

Sebagai umat yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, kita tentu harus terdepan dalam mempraktikkan revolusi mental melalui hidup dalam pertobatan, berubah dan berbuah. Dalam Lukas 13:6-9, Yesus mengatakan perumpamaan tentang pohon ara yang akan ditebang bila tidak berbuah.

Sejarah revolusi mental pada era Bung Karno telah ditindaklanjuti oleh Presiden Joko Widodo dengan mencanangkan gerakan nasional revolusi mental yang mengusung Trisakti dan Nawacita untuk mewujudkan Indonesia hebat. Hal ini sesuai dengan isi pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1946 yang mengatakan bahwa revolusi mental merupakan gerakan hidup baru untuk menggembleng masyarakat Indonesia menjadi manusia berkepribadian baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, dan berjiwa api yang menyala-nyala. Menurut Kepala BKKBN RI, Surya Chandra Surapaty, revolusi mental merupakan penerapan nilai-nilai Pancasila, dan bukan merupakan proyek, penataran atau bersifat seremonial. Gerakan itu harus dimulai dari diri kita sendiri.

Nilai-nilai pendidikan karakter terdiri atas:

  • Olah pikir: cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan reflektif.
  • Olah hati: beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil risiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik.
  • Olah raga: bersih, sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, ceria, kompetitif dan gigih.

Implementasi Program Kemitraan Masyarakat, Pemerintah, dan Gereja

Undang-undang nomor 52 tahun 2009 pasal 47 mengatakan bahwa, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Kebijakan tersebut untuk mendukung keluarga agar dapat melaksanakan fungsi keluarga secara optimal.” Delapan fungsi keluarga yang disosialisasikan untuk diimplementasikan adalah fungsi agama, sosial budaya, cinta dan kasih sayang, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan lingkungan.

Memasuki era Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) sejak 1 Januari 2016, generasi muda dan keluarga-keluarga di Indonesia diharapkan tidak kalah bersaing dengan masyarakat Internasional.

Bonus demografi adalah suatu keuntungan ekonomis yang disebabkan oleh menurunnya rasio ketergantungan sebagai hasil penurunan fertilitas jangka panjang. Menurut Wong Boonsin, dkk (2003), “Bonus demografi adalah kesempatan untuk menjadikan Indonesia lebih sejahtera. Hal ini diproyeksikan oleh pakar demografi akan terjadi pada tahun 2025-2030 ketika jumlah penduduk usia produktif mencapai 70% dari komposisi penduduk, sementara selebihnya tergolong usia tidak produktif (usia 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas). Namun bonus ini dapat lewat begitu saja jika penduduk usia produktif tidak berkualitas.”

Melalui BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), program Pemerintah ini diharapkan dapat bersinergi dengan gereja melalui materi khotbah, pembinaan anak-anak sekolah Minggu, pembentukan pusat konsultasi remaja atau program generasi berencana (genre), dan sosialisasi melalui pertemuan ibadah kelompok senior, agar keluarga kristiani sejak anak-anak masih kecil sampai dewasa, bahkan keluarga Kristen, akan mampu menghadapi ancaman global melalui iman yang kuat kepada Tuhan Yesus Kristus.

Menghadapi ancaman global, pembinaan keluarga perlu mengikuti siklus hidup sejak 1000 hari pertama kehidupan manusia, agar orangtua yang hebat mempersiapkan generasi emas (akses gizi ibu hamil dan bayi, inisiasi dini, konseling ASI eksklusif, KB), pelayanan balita melalui BKB menyeluruh dan integratif (PAUD, posyandu), program peduli remaja (genre: generasi berencana yang menunda nikah dini, menghindari narkoba, HIV/AIDS. Juga perlu diadakan BKR (Bina Keluarga Remaja) dan Pusat informasi konsultasi/konseling bagi remaja dan mahasiswa di sekolah, perguruan tinggi, pondok pesantren, gereja, dan di desa/kelurahan. Program lansia tangguh (Bina Keluarga Lansia) sebagai kelompok senior/sesepuh dapat dijadikan motivator keluarga harmonis dan pemberdayaan ekonomi keluarga melalui usaha peningkatan pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS).

Jika kita semua serius melaksanakan revolusi mental berbasis keluarga dan bersinergi dengan masyarakat dan pemerintah, maka kita siap mewujudkan Indonesia sejahtera.

 

Jakarta, Maret 2016

Mieke Selfia Sangian  Inspektur Utama BKKBN Pusat

 

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Keluarga
  • Menjembatani GAP Antar Generasi
    Friksi dalam Keluarga Di era pandemi ini banyak timbul gesekan di antara anggota keluarga. Apa yang tadinya tidak dianggap...
  • Kekuatan Hidup Harmonis
    Kej. 2:18-24; Mk. 10:2-16
    Manusia itu makhluk yang aneh. Sudah jelas Allah berkata, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja,” atau dalam...
  • Keluarga Harta Paling Berharga
    “Harga dari segala sesuatu adalah sejumlah kehidupan yang kautukarkan dengannya.” ~Henry David Thoreau ~ Hal yang paling menarik untuk...
  • Tanggung Jawab
    Tanggung Jawab Tidak Dapat Diajarkan?
    “Saya ingin anak saya bertanggung jawab. Itu sebabnya saya mewajibkannya melakukan tugas tugas ini setiap hari. Kalau dia tidak...