Hadapan

PRIORITAS: Kaya Di Hadapan Allah

Belum ada komentar 789 Views

A. APA PRIORITAS HIDUPMU?
Saudara, pernahkah seseorang mendatangi Anda dan memohon, “Saya butuh bantuan, bisakah kaukatakan kepada pacarku untuk lebih mengasihiku? Bisakah kaukatakan kepada kakakku untuk meminjamkan mobilnya kepadaku?”

Saya percaya, jika Tuhan Yesus berkunjung ke kota Anda, Anda pasti akan menggunakan kesempatan yang terbatas dan berharga ini untuk mengatakan (mungkin memohon) apa yang menjadi prioritas Anda sendiri, bukan?

Seseorang merasa dirinya telah dirugikan oleh saudaranya karena hak atas warisan ayahnya telah dicurangi. Melihat Yesus berkunjung, ia mengambil kesempatan tersebut untuk mendapatkan bantuan dari-Nya. Ia memerintah (bukan meminta) Yesus, “Guru, KATAKANLAH kepada Saudaraku” (Luk. 12:13). Bukankah kita juga sering bersikap demikian? Tuhan, berikan aku kesuksesan dalam pekerjaanku! Tuhan, berikan aku seorang pasangan hidup yang mencintaiku! Kita “memerintah” Tuhan melakukan banyak hal, seolah-olah Dia adalah bawahan kita.

Yesus merespons permintaannya dengan dingin, “Saudara, siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?” (Luk. 12:14). Apa perasaan kita saat mendengarkan respons Yesus? Bukankah ketika seseorang meminta bantuan, kita harus menolongnya? Mengapa Yesus tidak berkenan menolong? Saya percaya, Yesus bersikap dingin karena orang ini mempunyai prioritas yang salah. Yesus seolah-olah tidak menghiraukan orang tersebut dan berkata kepada orang banyak di sekitar itu, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala KETAMAKAN, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, HIDUPNYA TIDAKLAH BERGANTUNG dari kekayaannya itu” (Luk. 12:15).

Mengapa harus berjaga-jaga dan berwaspada terhadap ketamakan? Apakah ketamakan sedemikian berbahaya? Gordon Gekko (1987) berpendapat bahwa ketamakan itu baik untuk pertumbuhan perekonomian dan perkembangan sosial. Bukankah ketamakan meningkatkan produksi dan konsumsi? Namun ketamakan berpotensi menjadikan seseorang buas, licik dan jahat. Ketamakan membuat seseorang menjadi egois. Pada hakikatnya, ketamakan atau kerakusan lahir dari kecemasan, kerapuhan dan gambar diri yang terluka. Ketamakan meningkatkan stres, keletihan, kecemasan, keputusasaan dan depresi. Dari sisi lingkungan hidup, ketamakan mendatangkan kerusakan yang bersifat catasthropic, bencana besar.

B. BUKAN KEKAYAANNYA, MELAINKAN KEBODOHANNYA
Saudara, bukankah uang sungguh amat penting bagi kita? Apa perasaan Anda ketika kehabisan uang? Bukankah setiap kita membutuhkan uang untuk kebutuhan kesehatan, pendidikan dan tempat tinggal yang makin mahal? Pernahkah Anda berpikir, mengapa Tuhan menugaskan Adam untuk bekerja? Bukankah lebih baik baginya jika ia cukup menikmati hari-harinya dengan bersenang-senang? Namun, bekerja merupakan mandat atau penugasan dari Sang Pencipta sendiri (Kej. 2:15).

1. Orang itu menganggap hidup adalah tentang dirinya sendiri

Perhatikan pikirannya:
Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku. Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; Aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! (Lukas 12:17-19)

Dari apa yang dikatakannya, kita dapat menyimpulkan bahwa filosofi orang kaya yang bodoh ini adalah “Aku bekerja, aku menyimpan, aku memperkaya diri dan aku bersenang-senang. It is all about me!” (Luk. 12:17-19)

Apa filosofi kehidupan Anda? Apakah kita seperti Scar di film Lion King yang menganggap bahwa hidup ini tidak adil dan menyimpan kepahitan? Life is not fair! Atau kita mengonsumsi lebih dari yang kita butuhkan? Atau apakah kita seperti Pumba dan Timon yang memandang hidup ini hanya untuk makan, tidur dan bersenang-senang? Atau dalam bahasa Yesaya, “Marilah makan, dan minum, sebab besok kita mati!” (Yes. 22:13). Hakuna Matata, there is nothing to worry. Hakuna Matata penting sebagai kehidupan yang seimbang (a balance life). Namun apabila Hakuna Matata menjadi prioritas, maka hidup menjadi pelarian dari kenyataan. Atau apakah kita menganut filosofi bahwa hidup ini adalah sebuah tugas, mandat dan tanggung jawab (accountability) seperti Mufasa?

Tahukah Anda, kapan pertama kali kata “roti” (lechem) muncul di Alkitab? Setelah manusia pertama jatuh ke dalam dosa, TUHAN mengatakan, “dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu (lechem)” (Kej. 3:19)

Mengapa Tuhan berbicara tentang mencari roti? Bukankah lebih mudah jika Adam dan Hawa beserta keturunan mereka cukup hidup dengan memetik buah-buahan? Kita mungkin bertanya, “Mengapa roti?” Roti membutuhkan sebuah proses, dari menanam gandum, panen, mengadon roti hingga memanggangnya. Sebuah proses yang tidak dikerjakan sendiri. Work is not a solitary thing.

Bayangkan jika Anda memiliki satu dunia, resor terbaik, pesawat terbang termewah, rumah termegah, semua pabrik yang Anda ingini, mal terbesar dan termewah, mobil termewah. Anda bisa menikmati itu semua seorang diri, tanpa pesaing, sebab Anda adalah satu-satunya penduduk bumi. Apakah Anda akan menikmatinya? Bayangkan diri Anda seperti Will Smith dalam film I am Legend, hanya bedanya tidak ada zombie maupun anjing peliharaan, melainkan diri Anda sendiri dan segala sesuatu untuk diri Anda. Akankah Anda berbahagia dalam keadaan demikian?

2. Dia menganggap kekayaan itu miliknya

Selain memandang hidupnya adalah tentang dirinya, orang kaya yang bodoh ini mengira bahwa harta kekayaannya itu miliknya. Kekayaan itu milik Tuhan, bukan milik kita. Apakah TUHAN menentang kekayaan? Ada baiknya kita memerhatikan struktur dalam Injil Lukas dari perumpamaan Yesus di sini.

  • Kamu sangat berharga! (Luk. 12:1-12)
  • Menjadi kaya di hadapan Allah. (Luk. 12:13-21)
  • Jangan kamu khawatir! Bapa tahu kebutuhanmu! (Luk. 12:22-34)
  • Jadilah pengurus harta kekayaan Bapa yang baik dan setia. (Luk. 12:35-48)

Setelah berbicara tentang orang kaya yang bodoh ini, Yesus membahas tentang kekhawatiran dan sikap yang semestinya kita miliki terhadap kekayaan (Luk. 12:35-48). Prinsipnya adalah bahwa kekayaan itu bukan milik kita, tetapi milik Sang Pencipta. Kita hanya pengurus kekayaan milik Bapa di surga. Dengan kata lain, kekayaan bukan milik kita untuk dieksploitasi. Juga, bukan untuk kita hamburkan atau kita pakai berfoya-foya, tetapi harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Sang Pemilik pada Hari Penghakiman.

Karena kekayaan bukan milik kita dan pekerjaan merupakan mandat dari Allah, maka kita perlu mengoreksi pandangan kita tentang pekerjaan kita. Pekerjaan bukan soal mencari nafkah, juga bukan mencari sesuap nasi. Apabila kita memandang pekerjaan kita sekadar mencari nafkah atau mencari sesuap nasi; pertama, kita tidak percaya pada Tuhan, Sang Penyedia dan Pemelihara, sesuai janji-Nya (Luk. 12:22-23; 29-30). Kedua, kita tidak akan menikmati pekerjaan kita karena pandangan kita hanya tertuju pada omzet atau uang yang ingin kita raih.

3. Dia menganggap bahwa kekayaannya itu untuk melayani dirinya

Business is not about serving me, it is about serving humanity! Wealth is not about being rich and successul, instead it is about being rich in God. It is about caring for humanity (Bisnis itu bukan tentang melayani saya, melainkan melayani umat manusia! Kekayaan itu bukan tentang menjadi kaya dan sukses, melainkan menjadi kaya di dalam Tuhan. Tentang melayani manusia). Daripada bertanya, “Apa pekerjaan Anda?” lebih tepat kita bertanya, “Bagaimana Anda melayani manusia?” Seseorang mungkin menjawab, “Saya melayani agar manusia bisa hidup sehat. Saya melayani kebutuhan pakaiannya agar ia berpenampilan baik. Saya melayani agar masa tua dan kesehatan sesama manusia terjamin.”

Uang merupakan hasil dari bekerja, bukan tujuan kita bekerja. Jadi, pekerjaan adalah pelayanan untuk Tuhan dan manusia. Kata ‘berkat’ dalam bahasa Ibrani ‘baruch’ memiliki akar kata yang sama dengan ‘berech’ atau ‘berlutut’. Berlutut merupakan simbol seorang hamba, atau seorang pelayan. Mungkin kita dapat mengatakan bahwa dengan berlutut kita menerima berkat dari TUHAN, dan dengan berlutut juga kita melayani sesama sebagai ungkapan syukur kepada Allah. Dengan kata lain, berkat harta kekayaan berasal dari Bapa untuk pelayanan kemanusiaan. Ingat kembali apa yang semestinya menjadi prioritas hidup kita. Firman Tuhan menegaskan, “Carilah perkara di atas! Pikirkanlah perkara yang di atas! (Kol. 3:1-14). Akhir kata, pekerjaan dan bisnis bertujuan untuk melayani Tuhan dan sesama. Persahabatan kita dengan Tuhan merupakan landasan untuk pekerjaan dan bisnis kita. Selamat berkarya!

>> Pdt. Lan Yong Xing

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...