Ayat panduan kita diambil dari 3 Yohanes 15. Surat yang amat pendek, karena hanya terdiri atas satu pasal. Kita juga bisa menyebutnya 3 Yohanes 1:15, “Damai sejahtera menyertai engkau! Salam dari sahabat-sahabatmu. Sampaikanlah salamku kepada sahabat-sahabat satu per satu.”
Kita akan membicarakan sebuah tema yang sangat menarik, yaitu Persahabatan. Sering kali kita memahami bahwa persahabatan merupakan tema yang ringan, yang nyaman kita alami, tapi sebenarnya tema ini jarang kita perdalam, walaupun sungguh-sungguh mengakar kuat di dalam Alkitab kita, bahkan di dalam sejarah kekristenan sepanjang 21 abad ini.
Lima tahun terakhir ini, saya mendedikasikan sebagian besar waktu saya sebagai akademisi, sebagai dosen, untuk meneliti tema persahabatan kristiani. Minggu lalu, selama seminggu saya mengajar satu mata kuliah di Vancouver School of Theology di Kanada dengan tema persahabatan kristiani ini, dan saya melihat bagaimana minat dan antusiasme mahasiswa di sana tentang tema ini, yang ternyata di luar bayangan mereka selama ini tentang persahabatan.
Izinkan saya memulai dengan dua buah gambar. Gambar yang pertama adalah gambar yang ditangkap pada tahun 1889 di Damaskus tentang persahabatan dua orang yang sangat berbeda. Yang pertama bernama Sameer. Ia seorang Kristen, pendek, lumpuh, tak bisa berjalan. Sahabatnya adalah seorang Muslim bernama Mohamed. Ia berbadan tegap, kuat, tapi buta.
Keduanya hidup bersama dalam sebuah gubuk yang kecil. Selama bertahun-tahun Sameer bergantung kepada Mohamed, dan demikian pula sebaliknya Mohamed kepada Sameer. Karena itu, Mohamed menggendong Sameer sehingga mereka berdua bisa pergi ke mana-mana, tapi Sameer memberitahukan Mohamed arah yang harus dijalaninya, ke kanan, ke kiri, dan seterusnya. Persahabatan itu begitu indah, begitu intim, hingga pada suatu ketika, Sameer meninggal secara tiba-tiba. Selama berhari-hari Mohamed mengalami kesedihan yang luar biasa sampai akhirnya ia meninggal juga menyusul Sameer. Mati dalam kesedihan.
Gambar ini saya unggah di facebook saya pada bulan Mei tahun 2016, dan tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan respons. Baru kali ini saya mendapatkan respons yang cukup banyak, 4,9 K, atau 4.900 likes. Foto ini kemudian dibagikan sebanyak 3.000 kali. Bayangkan! Biasanya kalau saya mengunggah foto di facebook, paling banyak cuma 5-6 orang yang memberi like, itu pun anak, istri, orangtua. Ini menandakan bahwa orang suka dengan persahabatan semacam ini. Dunia merindukan relasi semacam ini, sebab sudah terlalu lama kita dilatih, dididik, diasuh dalam sebuah dunia yang penuh isolasi, penuh imunitas, yang mengajarkan anak-anaknya untuk berkata, “Kalau kamu ketemu orang asing, jangan bicara, jauhi!” Kita terlatih untuk makin mengasingkan orang asing. Bahkan mengasingkan orang yang kita kenal. Karena itu gambar ini menjadi semacam harapan tersembunyi, mimpi yang tersimpan dari dunia yang makin jauh ini.
Hal yang menarik dari gambar ini adalah persahabatan dari dua orang yang sama sekali berbeda. Yang satu Muslim, yang lain Kristen. Yang satu mengalami disabilitas di kakinya, dan yang lain di matanya. Ini mengatakan bahwa persahabatan itu lintas kategori, melampaui kategori atau batasan. Betapa mudah kita bersahabat dengan mereka yang sama dengan kita. Sama agama, sama suku, Jawa dengan Jawa ngomong bahasa Jawa dan makan pecel, Batak dengan Batak ngomong bahasa Batak dan makan saksang. Gampang! Kristen dengan Kristen, Muslim dengan Muslim. Namun ketika berbeda, persahabatan menjadi sukar, padahal kalau terjalin, menjadi indah. Dan inilah yang menjadikan persahabatan itu unik. Opa dengan cucu berbeda generasi. Namun apakah mereka bisa bersahabat? Bisa. Orangtua dengan anak tidak bisa dibalik-balik: anak jadi orangtua dan orangtua jadi anak. Namun apakah anak dan orangtua bisa bersahabat? Bisa, dan seharusnya begitu. Persahabatan itu melintasi kategori. Ada CEO dengan office boy. Kedudukan mereka jauh sekali. Namun apakah mereka bisa bersahabat? Bisa. Anda dengan anjing Anda juga bisa bersahabat. Jadi persahabatan itu bahkan menyahabati alam.
Gambar yang kedua adalah gambar yang lebih kuno lagi. Gambar itu dibuat pada abad ke-6, yaitu ikon yang disebut Jesus and His friend, Abbot Mena. Mena adalah seorang abbot atau rahib yang hidup pada abad ke-3 di Etiopia. Inilah satu-satunya ikon yang secara eksplisit menggambarkan Yesus sebagai sahabat, dan karena Abbot Mena begitu spiritual, ia disebut sebagai sahabat Kristus. Mari perhatikan gambar ikon ini. Ada beberapa hal yang menarik sekali di sana. Yang pertama, ada mutuality, keakraban yang diinisiasi oleh Kristus. Coba perhatikan tangan Kristus yang merangkul Abbot Mena. Dia meletakkan tangan-Nya untuk mengatakan, “Ini sahabat-Ku!”. Persahabatan kristiani merupakan rahmat anugerah. Kristus menyahabati kita terlebih dahulu. Itu yang pertama.
Hal kedua yang menarik adalah postur tangan Abbot Mena. Dua jarinya menunjuk kepada Kristus! Kalau Anda belajar ikon gereja Ortodoks, maka dua jari itu selalu menunjuk pada keilahian dan kemanusiaan Yesus. Dengan kata lain, Abbot Mena mempersaksikan bahwa persahabatan ini harus berpusat kepada Kristus. Inilah inti persahabatan kristiani: Berpusat dan terfokus kepada Yesus Kristus.
Namun ada yang terakhir, yang ketiga, yang mungkin tidak kita temukan dengan mudah. Coba lihat mata kedua sahabat ini: Yesus dan Mena. Mata mereka simetris atau tidak? Juling, bukan? Kedua-duanya juling dan sengaja dibuat demikian untuk mengatakan bahwa mata yang satu melihat kepada sahabatnya. dan mata yang lain melihat ke dunia, ke luar. Inilah pengajaran tentang persahabatan kristiani yang selalu berdimensi dua. Persahabatan kita selalu membuat kita terpusat pada sahabat kita—Kristus—tapi juga membuat kita mau menyahabati dunia, di luar. Sebab tanpa itu, persahabatan kristiani akan menjadi persahabatan yang tertutup, close friendship. Christian friendship is an open friendship. Persahabatan yang terbuka.
Hari ini saya memulai dengan 1 ayat dari 3 Yohanes, yaitu 3 Yohanes 15. Kita tahu bahwa Yohanes menulis 5 kitab: Injil Yohanes, 1-3 Yohanes, dan Wahyu. Kalau mau dirangkum, kelima kitab ini sebenarnya adalah kitab-kitab persahabatan, karena kata philia, philos atau sahabat, merupakan kata yang sangat dominan dalam tulisan Yohanes. Secara khusus, saya ingin membahas ayat 15 ini. Ayat ini sangat unik, karena biasanya, setiap kali salam disampaikan oleh seorang rasul—Paulus misalnya—ia tidak pernah menyebut ‘sahabat’, tapi biasanya ‘saudara seiman’, ‘para pelayan Tuhan’, ‘anak-anakku’, dst. Hanya ayat inilah yang menyebutkan salam dari sahabat-sahabat. Dari dan kepada sahabat-sahabat. Dengan kata lain, Yohanes mengimajinasikan, membayangkan, mengalami, dan mengimani bahwa gereja,—persekutuan itu—adalah komunitas para sahabat.
Hal ini penting. Imajinasi Anda tentang gereja akan menentukan bagaimana kita membuat dan membangun gereja ini. Kalau imajinasi Anda adalah bahwa gereja merupakan tempat berkumpul para murid, maka seluruh programnya untuk pemuridan: belajar, pemahaman Alkitab, bertumbuh terus. Jadi fokusnya thinking. Kalau kita membayangkan gereja sebagai persekutuan para pelayan, maka fokusnya adalah doing, melayani, aktif ini dan itu. Namun kalau Anda membayangkan gereja ini sebagai komunitas para sahabat, maka fokusnya tidak lagi thinking atau doing, tapi being. Our being is friendship. Persahabatan adalah identitas kita. Hal ini juga menentukan relasi kita dengan Allah.
Kalau kita murid, kita membahasakan diri sebagai murid, dan Yesus sebagai guru. Kalau kita membahasakan diri kita sebagai pelayan—dan itu benar—maka Yesus adalah Tuan yang terus kita layani. Namun kalau kita membayangkan, “saya ini sahabat”, Yesus juga adalah sahabat. Jadi Anda lihat betapa uniknya tema persahabatan ini, dan itulah yang dipahami oleh Yohanes ketika ia menyapa komunitasnya, “Hai sahabat-sahabat.” Berkenaan dengan hal itu ada satu ayat menarik di dalam surat yang sama, yaitu 3 Yohanes 5. Dalam konteks persahabatan itu, ia berkata, “Saudaraku yang kekasih, engkau bertindak sebagai orang percaya, di mana engkau berbuat segala sesuatu untuk saudara-saudara, sekalipun mereka adalah orang-orang asing.” Jadi definisi orang percaya—menurut Yohanes—adalah kalau orang itu melihat orang asing tapi memperlakukannya sebagai saudara. Ini berbeda kalau imajinasi kita, “Saya ini murid, maka orang percaya adalah orang yang tahu apa yang dipercayainya, tahu bahwa Yesus adalah Juru Selamat.” Kalau definisi kita adalah kita ini pelayan, maka orang percaya adalah orang yang aktif melayani. Namun kalau kita melihat definisi ‘sahabat’, lain lagi. Sahabat adalah orang-orang percaya yang memperlakukan orang asing sebagai saudara.
Jadi ada dua kategori di sini: adelphos = saudara, dan xenos, xenia = orang asing. Jadi kalau Anda punya mobil Xenia, itu mobil orang asing. Dan boleh saya bandingkan dengan satu ayat lain di Ibrani 13 yang punya kata yang sama: saudara dan orang asing. Di Ibrani 13:1-2 dikatakan begini: ayat 1, “Peliharalah kasih persaudaraan!” Di sini kata ‘sahabat’ muncul (philadelphia). Lalu ayat 2, “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang (philoxenia), sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat.” Coba perhatikan pemunculan kedua kata ini. Di 3 Yoh.:5, adelphos (saudara) dan xenos (orang asing). Di Ibrani 13:1, muncul lagi tapi dengan imbuhan ‘sahabat’ (philadelphia = philia + adelphos), menyahabati saudara. Lalu di ayat 2: philoxenia, menyahabati orang asing. Kalau kita dalami kedua kata ini, “menyahabati saudara” dan “menyahabati orang asing”, kita membayangkan dua jenis orang. Ada orang-orang yang menjadi saudara kita—dan kita sahabati—dan ada orang asing yang kita sahabati. Namun mungkin pemahamannya lebih dari itu, yaitu ini bukan jenis orang yang berbeda, tapi orang yang sama, yang sekaligus saudara dan orang asing. Sebab dalam kenyataannya, orang yang kita anggap saudara ini tetap orang asing!
Saya dan istri saya sudah menikah 24 tahun tapi dia tetap asing buat saya sekalipun ia makin akrab dengan saya. Ada misteri yang tidak pernah bisa saya ketahui sepenuhnya. Celakanya, terhadap saudara, kita sering taken for granted. “Ah, sudahlah, cincai!”. Kita tidak sadar bahwa orang yang paling sering kita sakiti adalah orang yang kita anggap saudara. Kita kehilangan ‘asing’ dari saudara kita. Karena itu saya ingin menafsirkan kedua ayat ini dari perspektif persahabatan, dengan contoh pelayanan ushering.
Tahukah Anda apa usher itu? Ketika Anda masuk ke ruangan ini, ada orang yang menyambut Anda dan memberi salam kepada Anda. Kata ‘usher’ itu berasal dari kata Latin ‘ostium’ yang berarti pintu. Jadi kalau ada usher di kamar mandi, itu bukan usher. Dia harus berada di pintu, pelayanan pintu. Pintu menjadi simbol penolakan atau penerimaan. Anda ingat kisah Mahatma Gandhi ketika studi di Inggris? Ia tertarik dengan kekristenan dan mau masuk ke sebuah gereja. Di pintu gereja, seorang usher berkata kepadanya, “Sori, ini gereja kulit putih. Kamu orang berwarna, di sana tempatnya.” Hari itu Mahatma Gandhi berkata, “Sejak hari ini saya tidak pernah mau menginjak gereja.”
Ostium atau usher, pintu, menjadi simbol penolakan. Nah, yang menarik adalah bahwa dalam Ibrani 13:1 dan 2 itu, menyahabati orang asing dan menyahabati saudara, harus kita lihat pada satu orang yang sama. Bagaimana caranya? Lihatlah orang itu dengan kaca mata Kristus, sahabat kita. Pahamilah orang lain, dan pintu Anda ada di mana-mana, di kantor, di rumah… Kalau Anda berjumpa dengan seseorang, lihatlah dia dengan kaca mata yang bernama Kristus, sehingga ketika melihat “Ini saudara saya”, saya melihatnya melalui Kristus. Saudara ini tetap menjadi orang asing dan karena itu saya hargai. Saya tidak mau take it for granted. Sebaliknya, ketika saya berjumpa dengan orang asing, saya melihatnya dengan kaca mata Kristus sebagai sahabat, sebagai saudara, maka saya mau bersahabat dengan orang asing itu. Begitu juga lensa persahabatan ini membantu kita untuk sekaligus melihat orang asing sebagai saudara, dan melihat saudara sebagai orang asing, melalui Kristus, sang Sahabat itu.
Betapa dalam konsep persahabatan itu. Singkatnya, pelayanan ushering sebenarnya adalah making the stranger familiar, and making the familiar, strange. Anda berjumpa dengan yang asing, dan Anda mengakrabinya sebagai sahabat. Anda berjumpa dengan yang akrab, dan Anda harus tetap melihatnya sebagai orang asing yang harus Anda perhatikan. Sebab tanpa itu, kita akan melukai orang yang kita anggap saudara. Kita katakan, “Ya, sudahlah.” Tahukah Anda orang yang paling suka jengkel kepada Anda? Istri Anda atau suami Anda. Orang yang paling dekat.
Mengapa philia, philos, kasih persahabatan itu sangat menarik? Sebab kita sudah terlanjur belajar dari para pendeta—yang belajar dari dosen-dosen mereka—bahwa philia itu tidak terlalu penting. Yang penting itu agape. Anda tahu, ada 3 jenis cinta. Yang pertama agape, yang paling tinggi. Yang kedua philia, kasih persahabatan, dan yang ketiga eros, kasih erotik, seksual. Padahal pandangan yang membagi hierarki ini tidak alkitabiah. Pandangan ini dipelajari para dosen pendeta Anda dari seorang teolog bernama Anders Nygren dari Swedia pada awal abad ke-20. Nygren berkata bahwa agape itu cinta yang paling luhur, cinta Allah. Cinta persahabatan itu baik, tapi nomor 2. Eros itu buruk. Padahal pandangan ini sudah ditolak. Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa agape lebih tinggi dari philia. Kalau kita membaca Alkitab, maka sebenarnya ketiga jenis cinta ini adalah tiga dimensi dari satu cinta yang sama. Berbeda, tapi sama nilainya.
Agape itu kasih tanpa syarat. Kita berdosa, tapi bagaimanapun Allah tetap mengasihi kita tanpa syarat. Sebab kalau dengan syarat, tidak mungkin kita dikasihi. Eros sama baiknya, tapi bentuknya lain. Eros adalah cinta yang menubuh, kasih yang konkret. Kasih yang ada sosoknya dan dinikmati. Tidak ada hubungannya dengan seks. Pandangan itu salah kaprah. Namun philia adalah kasih yang bersahabat. Seperti Yesus yang memberi tangan-Nya, lalu kita melihat ke depan dan berjalan ke depan. Kita merayakan kebersamaan kehidupan menuju masa depan bersama. Itulah inti persahabatan.
Itulah sebabnya kata ‘sahabat’ dalam bahasa Inggris bukan hanya ‘friend’, tapi juga ‘companion’, dari kata com = bersama, dan panis = roti. Roti bersama. Sahabat adalah orang yang berjalan bersama kita dan berbagi roti dengan kita untuk menuju masa depan dan merayakan kehidupan. Kapan gereja berbagi roti? Dalam peristiwa Perjamuan Kudus. Dengan kata lain, Perjamuan Kudus adalah perjamuan sakramen persahabatan. Yesus memberikan diri-Nya, memberikan roti kepada kita untuk berjalan sebagai para sahabat-Nya. Seperti Yesus yang berjalan dengan dua murid ke Emaus. Karena itu, setiap kali kita merayakan Perjamuan Kudus, kita merayakan persahabatan kita dengan Kristus, dan satu dengan yang lain. Jadi tidak ada yang lebih tinggi satu dengan yang lain.
Bahkan agape bisa negatif. Di banyak ayat Alkitab, agape itu buruk. Yoh. 3:19 misalnya mengatakan, “Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat.” LAI menerjemahkan ‘menyukai’, tapi sebenarnya ‘mencintai, mengasihi’ kegelapan. Kata yang dipakai di sini adalah agape. Kalau Anda melihat 2 Tim. 4:10, ‘mencintai’ itu agape juga. Jadi agape ini bisa buruk. Sebaliknya philia bisa sangat luhur. Coba perhatikan dalam Yoh. 3:35, Allah Bapa mengasihi sang Anak, dengan memakai kata agape. Namun di Yoh. 5:20, “Sebab Bapa mengasihi Anak”, memakai kata philia, persahabatan. Apa lagi kalau kita melihat Yoh. 15. Dalam Yoh. 15:13, philia itu kasih yang paling besar. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih dari seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Jadi ciri dari persahabatan adalah jika seorang mau memberikan nyawa untuk sahabat-sahabatnya. Itu sebabnya Yesus berkata dalam Yoh. 10:11, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.” Jadi kata ‘gembala’ dan ‘sahabat’ itu sama. Cirinya adalah memberikan nyawa. Segera sesudah itu, Yesus melanjutkan pada Yoh. 15:15—yang merupakan ayat kesukaan saya—“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat.”
Kita sudah mendevaluasi kata ‘hamba’, ‘pelayan’, ‘pelayanan’, ‘melayani’. Bapak melayani di mana? Kalau saya melayani di paduan suara.” Namun apa kata Yesus? “Aku tidak lagi menyebutmu pelayan.” Stop using ‘servant’. No longer servant. I call you my friends, sahabat-sahabat-Ku. Mari kita renungkan, Betapa indah ketika ada seorang yang kemudian menyebut kita ‘sahabat’, dan orang itu adalah Yesus. Dan Yesus mengatakannya kepada murid-murid-Nya. Salah satu di antaranya adalah Petrus. Itulah yang membuat Petrus paling getol, paling ingin mati untuk Yesus. Berkali-kali Petrus berkata, “Aku mau mati,” karena ia tahu bahwa Yesus adalah sahabatnya, hanya ia tidak berani. Ia tahu bahwa Yesus berkata, “Kasih sahabat adalah kasih yang mau mati untuk sahabatnya.” Karena itu ia menyangkali Yesus. Ia gagal menjadi sahabat. Sampai akhirnya, kita melihat percakapan Yesus sesudah Dia bangkit.
Dalam Yoh. 21:15-17, Yesus berkata kepada Simon Petrus, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” Ingat, bahwa ada dua pandangan tentang agape dan philia. Dalam percakapan pertama, Yesus berkata, “Simon, apakah engkau agapas (agape) Aku atau tidak?” Para pendeta sering berkata bahwa Simon tidak mampu mengasihi dengan kasih agape. Simon menjawab, “Sori Tuhan, aku hanya bisa philia.” KW (kualitas) 2, level 2. Yesus bertanya lagi di ayat 16 dengan kata agapas. Jawaban Simon sama. Karena itu di ayat 17, Yesus mengubah pertanyaan-Nya. “Simon, apakah engkau philos (philia) Aku?” Simon menjawab, “Aku mengasihi-Mu dengan kasih philia.” Apakah agape lebih tinggi dari philia? Coba Anda pahami bahwa Petrus pasti ingat bahwa Yesus pernah berkata bahwa philia adalah kasih yang paling besar, karena rela mati untuk sahabat. Jadi ketika Yesus bertanya, “Simon, apakah engkau mau agape Aku?” Simon tidak berkata, “Tuhan, sori, aku tidak bisa agape,” karena ia mau philia. Ia mau mati untuk sahabatnya. Jadi bukan Yesus yang menurunkan standar dari agape ke philia, tapi Petrus yang memaksa Yesus menaikkan standar dari agape ke philia. Petrus ingat definisi dari persahabatan itu.
Yang menarik adalah, bahwa setiap kali percakapan Simon dengan Yesus itu diakhiri dengan perintah Yesus kepadanya, “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Ini luar biasa! Bagi Simon yang mau philia, yang mau mati untuk sahabatnya, Yesus mati sekali untuk selamanya. Ini seperti orang yang datang ke pemimpin agama, “Pak, saya mau mati demi Allah. Tolong pasangi saya bom. Saya mau jihad.” Lalu pemimpin agama itu berkata, “Oh, kamu mau mati untuk Allah? Bersihkan WC itu!” Begitulah juga yang dikatakan Yesus kepada Simon. Ketika Simon datang dan berkata, “Aku mau mati untuk sahabatku, untuk Engkau, Yesus,” maka Yesus berkata, “Kamu mau mati untuk-Ku? Gembalakanlah domba-domba-Ku!” Lo, kok sepele? Namun ingatlah bahwa di Yoh. 10 dikatakan bahwa “Gembala yang baik mau mati untuk domba-dombanya.” Yesus memutar cara berpikir Simon. Simon yang mau mati sekali untuk Yesus, sekarang dialihkan ke domba-domba dan menjadi gembala bagi mereka.
Kalau Anda melihat gembala bekerja pada zaman itu, yang pertama, ia tidak dikenali orang. Jika yang lain tidur malam, gembala sibuk menggembalakan domba-dombanya sendirian. Unrecognized, tanpa acknowledgement. Kalau Anda bikin kegiatan lalu viral, diunggah di facebook, instagram. Orang kemudian memuji Anda, itu gampang dan nyaman. Namun kalau kita menggembalakan di malam yang gelap, ketika orang lain tidur dan tidak ada yang tahu, itu berat.
Yang kedua, tugas gembala atau sahabat itu mengurusi hal-hal yang sepele, yang remeh dan kotor. Membersihkan kotoran domba, kandangnya. Kalau pendeta mengunjungi anggota jemaat yang kaya, enak. Pulangnya dapat banyak makanan. Namun mengunjungi anggota jemaat yang tidak terlalu punya, dan terkadang tidak dikenali, kecil… itulah tugas gembala.
Yang ketiga, gembala itu melakukan tugasnya on daily basis. Tidak seperti banyak gereja yang melakukan aksi sosial sekali setahun, seperti festival. Namun ini sekali-sekali, terus setiap hari. Dengan kata lain, Yesus berkata kepada Petrus, “Engkau mau mati untuk-Ku? Matilah setiap hari untuk domba-domba-Ku.” Demikian juga kalau Anda mau menjadi sahabat Kristus, sahabatilah sahabat-sahabat Kristus dengan cara mati setiap hari bagi mereka. Hiduplah seolah-olah Anda mati setiap hari. Itulah sahabat.
Hari ini kita belajar menjadi gereja yang bersahabat. Saya berharap bahwa setiap orang di sini memiliki mata iman yang juling. Yang satu terfokus pada Kristus, dan yang lain terfokus pada dunia, sahabat Kristus itu sendiri. Mari kita menjalin persahabatan di dalam. Kita saling melukai, kita tidak saling kenal. Banyak orang asing di sini, yang satu dengan yang lain, tapi mari kita bersahabat, makin bersahabat, dan menyahabati orang asing di luar gereja sana. Dan sesungguhnya filosofi inilah yang melandasi mengapa kemudian bangunan di sebelah (GKI Pondok Indah) ini disebut Grha Persahabatan. Kita tidak pintar menjadi sahabat. Kita sedang belajar menyahabati dunia, kekasih Allah, tapi kita mau terus belajar ke arah itu. Kiranya Tuhan memberkati kita.
>> Pdt. Dr. Joas Adiprasetya
Ibadah Pengajaran di GKI PI, Minggu 21 Juli 2019.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.